Tuesday, January 14, 2020

16 Tahun Kemudian


16 tahun kemudian. Aku tidak yakin bisa berada di antara 1556 juta orang di salah kota terbesar di Indonesia. Berbaur bersama orang-orang kota,  belajar bersama mereka di salah satu universitas terbaik, belajar tentang budaya, bahasa, dan semua hal yang berbeda, bagaimana aku memacu motor dengan kecepatan 80 km/jam setiap kali ke kampus atau saat bekerja---meskipun itu bukan motorku. Bekerja di pusat kota dengan kemacetan parah, polusi, dan asap knalpot yang menyulap wajah menjadi berjerawat.

Aku hampir saja melupakannya. 16 tahun lalu. Ya, 16 tahun lalu, aku hanyalah anak manusia tentunya, yang lahir di kota kecil di Sulawesi Tenggara, bernama Kolaka. 16 tahun lalu aku suka sekali menangkap ikan di got-got kecil di depan rumahku. Itulah alasan kenapa aku memiliki kulit gelap dibandingkan saudaraku yang berkulit kuning langsat. Got-got kecil di rumahku sangat berbeda di kotaku tempatku bekerja. Berwarna hitam dan bau. Tentunya ikan pun enggan hidup di sana. Aku suka menangkap ikan, tapi terkadang yang kutangkap bukan ikan tapi kecebong, dan aku merasa payah. Alasannya karena aku tidak menyukai kodok. Kata Mama saat air seni kodok mengenai kulit, akan tumbuh benjolan aneh yang menyedihkan. Entahlah itu mungkin hanya mitos orang dulu.

Kenapa kita jadi membahas kodok? Oh, ya. Anak-anak di kota sangat berbeda. Mereka hanya tinggal di rumah dengan mainan modernnya yang begitu lengkap, bahkan untuk bersepeda, dilakukannya di dalam rumah, dan bermain bersama asisten rumah tangganya. Jika hujan, mereka tidak sebahagia saat aku kecil. Mereka seperti terperangkap, tidak bisa keluar rumah untuk membeli es krim. Padahal waktu aku kecil, inilah waktu terbaik membuat perahu kertas lalu kulabuhkan di sisi rumahku yang diselimuti air. Aku pun riang mengikuti arusnya. Anak sekarang bahkan tidak tahu membuat perahu kertas.

Orang kota menggunakan waktunya untuk bersantai di cafe cantik atau menghabiskan uangnya di mall, sebenarnya aku tidak cocok untuk melakukan ini, kalau saja jurusanku bukan jurusan arsitektur yang notabenenya tertarik dengan bangunan berseni, aku cukup malas untuk mengikuti tren anak millenial, aku lebih suka menghabiskan liburanku dengan menikmati alam, ke gunung, pantai, atau ke hutan, meskipun bertemu biawak sekalipun.

          Sejak kecil, hari liburku kuhabiskan ke kebun, membantu Ayah dan kakak laki-lakiku untuk memetik cengkeh, sebenarnya aku tidak cukup membantu, aku hanya asyik menangkap belalang, lalu memberinya makan dengan ujung rumput yang berbentuk runcing. 

"Kamu sama sekali tidak membantu kalau ke kebun, mending ke pasar saja bantu Mama."

"Ah, tidak! Aku mau ke kebun petik cengkeh!" Aku berdalih meyakinkan kakak. Dan akhirnya aku hanya sebentar saja memetik cengkeh, lalu bosan, dan kemudian mencari belalang, dan memberinya makan. Entah itu membuatku menjadi salah satu anak bahagia di dunia. Mengajak belalang bermain dan mengobrol.

Hingga suatu hari, waktu aku SMA, guru biologiku menyuruh kami menangkap belalang untuk melakukan penelitian, bahwa belalang mampu bertahan hidup ketika kepalanya dipisahkan oleh badannya. Aku pun membawakan belalang yang berhasil kutangkap ke depan guruku. 

"Aku tidak bisa mencabut kepalanya, Pak. Aku tidak tega membunuhnya," jelasku.

"Tapi teorinya harus dibuktikan."

Aku terdiam. Menghela napas. "Aku percaya, Pak. Aku percaya. Aku tidak harus membunuh belalang untuk membuktikan teori ini."

Guruku tertawa. Entah aku pengecut atau rasa sayangku pada belalang begitu besar, tidak hanya belalang, semut, kucing, burung, ayam, anjing, aku bisa menangis karenanya. Dulu, kucing hitam putihku, Lei, ditabrak motor saat aku bersantai di atas pohon gersen. Kakinya patah. Aku dengan berlinang air mata, membawa kucingku sambil menuntut orang-orang dewasa itu. Ada yang tertawa, heran, dan mungkin juga ikut terharu. Entahlah.

Ada banyak sekali kisah yang begitu berbeda saat aku menjadi anak kecil kampung dengan aku yang sekarang di kota, aku begitu mengingatnya. Bagaimana aku mengejar kuda lalu melompat dan akhirnya jatuh di got yang dalamnya dua kali dari tubuh kecilku, berakhir dengan luka di daguku, masih ada hingga sekarang. Saat aku bermain layang-layang di pasar RB dekat laut, menangkap ikan Nemo menggunakan benang, sekarang tempat itu sudah berubah menjadi hotel dan mall Sutan Raja. Ketika aku bersepeda, satu sepeda dengan aku dan dua temanku begitu berani melaju kencang di jalan aspal panjang yang menurun hingga hampir tertabrak mobil, lalu kami terjatuh, saat hendak ditolong kami melarikan diri. 

Saat aku dan sepupu-sepupuku berakting menjadi siluman, aku selalu mengambil peran siluman ular, lalu beraksi laga seperti film Kera Sakti, memakai selendang lalu bertempur dengan sepupu-sepupuku yang berubah menjadi siluman laba-laba dan kelabang. Asyik memang. Dewasa ini aku menyadari, anak-anak itu begitu mudahnya meniru apa yang dilihatnya lalu menciptakannya menjadi sebuah kebahagiaan.

Aku tak pernah lagi melihat anak-anak yang menghabiskan liburannya dengan bermain bersama karet, bola bekel, batu, kapur, atau dengan biji asam. Bahkan anak kampung sekalipun sudah jarang sekali. Hampir tak pernah lagi. Mereka telah menemukan dunia baru yang ada di tangannya, dunia gadget. Mungkin memori 16 tahun itu akan menjadi sejarah. Kita lihat saja.