16 tahun kemudian. Aku tidak yakin bisa berada di antara 1556 juta orang
di salah kota terbesar di Indonesia. Berbaur bersama orang-orang kota, belajar bersama mereka di salah satu
universitas terbaik, belajar tentang budaya, bahasa, dan semua hal yang berbeda,
bagaimana aku memacu motor dengan kecepatan 80 km/jam setiap kali ke kampus atau
saat bekerja---meskipun itu bukan motorku. Bekerja di pusat kota dengan kemacetan
parah, polusi, dan asap knalpot yang menyulap wajah menjadi berjerawat.
Aku hampir saja melupakannya. 16 tahun lalu. Ya, 16 tahun lalu, aku
hanyalah anak manusia tentunya, yang lahir di kota kecil di Sulawesi Tenggara,
bernama Kolaka. 16 tahun lalu aku suka sekali menangkap ikan di got-got kecil
di depan rumahku. Itulah alasan kenapa aku memiliki kulit gelap dibandingkan
saudaraku yang berkulit kuning langsat. Got-got kecil di rumahku sangat berbeda
di kotaku tempatku bekerja. Berwarna hitam dan bau. Tentunya ikan pun enggan hidup
di sana. Aku suka menangkap ikan, tapi terkadang yang kutangkap bukan ikan tapi
kecebong, dan aku merasa payah. Alasannya karena aku tidak menyukai kodok. Kata
Mama saat air seni kodok mengenai kulit, akan tumbuh benjolan aneh yang
menyedihkan. Entahlah itu mungkin hanya mitos orang dulu.
Kenapa kita jadi membahas kodok? Oh, ya. Anak-anak di kota sangat
berbeda. Mereka hanya tinggal di rumah dengan mainan modernnya yang begitu
lengkap, bahkan untuk bersepeda, dilakukannya di dalam rumah, dan bermain
bersama asisten rumah tangganya. Jika hujan, mereka tidak sebahagia saat aku
kecil. Mereka seperti terperangkap, tidak bisa keluar rumah untuk membeli es
krim. Padahal waktu aku kecil, inilah waktu terbaik membuat perahu kertas lalu
kulabuhkan di sisi rumahku yang diselimuti air. Aku pun riang mengikuti arusnya.
Anak sekarang bahkan tidak tahu membuat perahu kertas.
Orang kota menggunakan waktunya untuk bersantai di cafe cantik atau menghabiskan
uangnya di mall, sebenarnya aku tidak cocok untuk melakukan ini, kalau saja
jurusanku bukan jurusan arsitektur yang notabenenya tertarik dengan bangunan berseni,
aku cukup malas untuk mengikuti tren anak millenial, aku lebih suka
menghabiskan liburanku dengan menikmati alam, ke gunung, pantai, atau ke hutan,
meskipun bertemu biawak sekalipun.
Sejak kecil, hari
liburku kuhabiskan ke kebun, membantu Ayah dan kakak laki-lakiku untuk memetik
cengkeh, sebenarnya aku tidak cukup membantu, aku hanya asyik menangkap
belalang, lalu memberinya makan dengan ujung rumput yang berbentuk runcing.
"Kamu sama sekali tidak membantu kalau ke kebun, mending ke pasar
saja bantu Mama."
"Ah, tidak! Aku mau ke kebun petik cengkeh!" Aku berdalih
meyakinkan kakak. Dan akhirnya aku hanya sebentar saja memetik cengkeh, lalu
bosan, dan kemudian mencari belalang, dan memberinya makan. Entah itu membuatku
menjadi salah satu anak bahagia di dunia. Mengajak belalang bermain dan
mengobrol.
Hingga suatu hari, waktu aku SMA, guru biologiku menyuruh kami menangkap
belalang untuk melakukan penelitian, bahwa belalang mampu bertahan hidup ketika
kepalanya dipisahkan oleh badannya. Aku pun membawakan belalang yang berhasil
kutangkap ke depan guruku.
"Aku tidak bisa mencabut kepalanya, Pak. Aku tidak tega membunuhnya,"
jelasku.
"Tapi teorinya harus dibuktikan."
Aku terdiam. Menghela napas. "Aku percaya, Pak. Aku percaya. Aku
tidak harus membunuh belalang untuk membuktikan teori ini."
Guruku tertawa. Entah aku pengecut atau rasa sayangku pada belalang
begitu besar, tidak hanya belalang, semut, kucing, burung, ayam, anjing, aku
bisa menangis karenanya. Dulu, kucing hitam putihku, Lei, ditabrak motor saat
aku bersantai di atas pohon gersen. Kakinya patah. Aku dengan berlinang air mata,
membawa kucingku sambil menuntut orang-orang dewasa itu. Ada yang tertawa,
heran, dan mungkin juga ikut terharu. Entahlah.
Ada banyak sekali kisah yang begitu berbeda saat aku menjadi anak kecil
kampung dengan aku yang sekarang di kota, aku begitu mengingatnya. Bagaimana
aku mengejar kuda lalu melompat dan akhirnya jatuh di got yang dalamnya dua
kali dari tubuh kecilku, berakhir dengan luka di daguku, masih ada hingga
sekarang. Saat aku bermain layang-layang di pasar RB dekat laut, menangkap ikan Nemo
menggunakan benang, sekarang tempat itu sudah berubah menjadi hotel dan mall Sutan Raja. Ketika
aku bersepeda, satu sepeda dengan aku dan dua temanku begitu berani melaju kencang
di jalan aspal panjang yang menurun hingga hampir tertabrak mobil, lalu kami
terjatuh, saat hendak ditolong kami melarikan diri.
Saat aku dan sepupu-sepupuku berakting menjadi siluman, aku selalu
mengambil peran siluman ular, lalu beraksi laga seperti film Kera Sakti, memakai
selendang lalu bertempur dengan sepupu-sepupuku yang berubah menjadi siluman
laba-laba dan kelabang. Asyik memang. Dewasa ini aku menyadari, anak-anak itu
begitu mudahnya meniru apa yang dilihatnya lalu menciptakannya menjadi sebuah
kebahagiaan.
Aku tak pernah lagi melihat anak-anak yang menghabiskan liburannya dengan
bermain bersama karet, bola bekel, batu, kapur, atau dengan biji asam. Bahkan
anak kampung sekalipun sudah jarang sekali. Hampir tak pernah lagi. Mereka
telah menemukan dunia baru yang ada di tangannya, dunia gadget. Mungkin memori 16
tahun itu akan menjadi sejarah. Kita lihat saja.
