Mataku berkaca-kaca, berembus lirih, seperti inikah
potret realitanya? Katanya perusahaan ini hendak menyemangatkan syariat? Hampir
setiap hari diberi motivasi, manajemen jam kerja, shalat tepat waktu, dan
mengarahkan anak PKL untuk taat ibadah! Tapi, cacat! Ketika kontraktor itu
datang, menawarkan pembagiaan fee, jika
tim kami, selaku pengawas pekerjaan untuk proyek pembangunan kolam ikan, PROKER
Pemerintah, mampu kongkalikong mengelabui RAB lapangan dengan RAB yang
dikeluarkan Negara. Saat itu bosku menerimanya. Di akhir, ia mengatakan telah
berhutang banyak pada sang kontraktor, sehingga ia mendapat banyak paket
pekerjaan dan hasilnya, menyetujuinya.
Scene
itu tetiba hadir, mempertontonkan aku saat masuk di perusahaan itu, betapa
gegap gembitanya, apalagi saat atasan hendak menerapkan syariat islam, yang
bahkan tidak kutemukan di tempat kerjaku dahulu, di Perusahaan Kontraktor Interior.
Jiwaku layu dan loyo, mengerjakan back up data yang harus diakali RABnya.
Kontroversi hati! Di hari-hariku, berminggu-minggu selalu dihantui.
“Masak
guru ngaji kongkalikong korupsi?”
“Masak
orang yang ngajakin sholat tepat waktu dan berjamaah, kongkalikong korupsi?”
“Masa
orang yang sering berbagi ilmu, menasihati untuk teman-temannya, kongkalikong
korupsi?” Pertanyaan seputar itu yang berkerumun di kepalaku,
bahkan saat aku sedang mencuci piring sekalipun.
Kok begini? Meski, saat itu aku
menolak fee hasil pembagian sisa dana proyek yang harusnya dikembalikan pada
Negara, tapi dinikmati mereka, para pelaku konstruksi, dan aku hanya mendapat fee untuk back up data. Tapi, tetap saja ikut andil! Apalagi akulah yang
mengotak-ngatik angka-angka itu. Aduh, padahal aku bersikeras menabung untuk
biaya kuliah sarjana tahun depan, kalaulah tidak berkah, dan pasti tidak!
Karena ini? Maka, berakhirlah sudah!
***
Aku berada di lantai dua gedung
sekolah yang didominasi warna hijau, bangunannya berkarakter struktural, dengan
kolom-kolom lurus dan menonjol. Ya,
seperti bangunan-bangunan pada umumnya di kotaku. Saat itu, kelasku berada
paling pojok lantai dua. Kelas IX1. Kelas pilihan. Kelas anak-anak pintar dan
sombong bersarang. Sayang, aku tak masuk dalam nominasi, hanya masuk tingkat
kategori standar saja, tak pernah masuk peringkat 10 besar. Selalu terlempar
dari angka keramat itu!
Ya,
setidaknya aku punya cita-cita, selepas tamat MTSN 1 Kolaka, aku akan
melanjutkan ke SMAN 1 Kolaka, yang saat itu berpredikat pertama di kota, lantas
lanjut ke Universitas dambaanku, UNDIP Semarang.
Sayang, kisahku tidak setokcer anak-anak lainnya dengan segudang
mantra semisal man jadda wa jadda. Jaman
itu, aku belum berkenalan dengan yang begituan! Ya, hidupku seperti remaja bau kencur lainnya, yang dimabuk cinta
monyet dan menghunter jati diri.
Meski begitu, aku tetap belajar untuk ujian kelulusan dan masuk SMA. Alhamdulillah lulus!
Kini seragam yang kukenakan telah
berganti warna, aku masuk kelas X6. Di saat itu juga, aku menuntut balas!
Karena tak pernah juara saat di MTS, padahal saat SD, prestasiku cukup
gemilang. Tiap malam belajar, teman-teman sering ke rumah untuk belajar
bersama, aktif di kelas, menjadi pejabat kelas, sehingga para guru mengenaliku,
nilaiku juga tinggi, aku selalu lulus ujian harian dan menjadi ketua kelompok. Alhasil,
aku mendapat posisi ke-3 di kelas. Dan berbesar hati dan tampak meremehkan
teman-teman yang sering gagal ujian.
Adalah
kebengkokan niat, berujung pada kepuasan diri dan kecacatan adab!
Pasca lulus SMA, aku terbang ke
Jawa. Lalu belajar untuk ujian masuk PTN, belajar dan belajar lagi! Hasilnya.
Aku GAGAL! Gagal di ujian SMNPTN, SBMPTN, UM S1 sebanyak 2x di UNDIP dan di
UNNES. Aku adalah anak Kolaka tergagal masuk PTN di Jawa. Sisa 1 ujian lagi,
yakni UM D3. Kalau gagal lagi, sungguh payah aku. Padahal telah berusaha.
Tetiba teringat sosok guru di kelompok lingkar kecilku, saat di kelas
XII-sedikit cerita, sebenarnya aku dipaksa oleh kakak untuk ikut kelompok
belajar kehidupan.
Beliau menyarankan aku setelah tekun
belajar, maka sholat hajatlah dan intinya, beribadah berserah diri. Aku pun
mengikuti alurnya. Mengazamkan diri.
“Ya Allah, jika aku masuk UNDIP, maka aku akan bersungguh-sungguh.” Itulah
doaku kala itu terus berputar.
Berlinang bening di mataku ketika
aku LULUS! Lalu sujud syukur, lantas memberitahukan penghuni rumah di bumi
Sulawesi.
Maka, duduklah aku di sebuah kursi
yang berjejer rapi. Pemilik kursi masih sangat sedikit. Saat itu, baru jam
07.00 WIB, sedang kami masuk 1 jam kemudian. Aku sangat bersemangat dan bangga
pada almamater. Aku rajin mencatat dan bertanya, meski bahasa belepotan karena belum bisa fasih
berbahasa Indonesia sesuai EYD. Semua organisasi kulahap, mulai dari Teater
DIPO, Perisai Diri, KAMMI FT, Pengurus Masjid Kampus-bukan marbot ya! Rohis Jurusan dan Senat Fakultas
Teknik. Yang akhirnya membuatku meleleh dibuatnya, apalagi sebagai anak Teknik
Arsitektur, terkenal tugas-tugasnya yang maha killer.
Akhirnya,
IPKku anjlok hanya < 3.00, walaupun
angka itu mungkin efek dari menyontek, aku terbiasa menyontek saat SMA-diajari
teman-teman. Kebiasaan itu mendarah daging sampai di Perguruan Tinggi.
Untungnya, tak lama. Akar-akar koruptor masa depan bertumbuh dari kebiasaan tak
jujur. Aku pun bermuhasabah.
“Aku
anak Rohis, pakainnya rapi, masa
menyontek? Bagaimana pendapat teman-teman dan wajah islam nantinya?” Aku
berhenti! TITIK! Dan mengandalkan kemampuanku sendiri yang pas-pasan, meski tak
begitu pintar dalam dunia arsitektur. Aku pun mengakalinya dengan menonjolkan
nilai-nilai MATKUL umum dan menyeleksi organisasiku.
Kala itu, organisasiku sisa SMFT dan
KAMMI FT. Aku tertarik akan dunia politik, setelah berbekal pemahaman agama, ya biar tidak diayun-ayun dari berbagai
sisi.
“Tidak sempurna keislamanan
seseorang jika ia belum menjadi politikus, yang memikirkan nasib bangsanya, Hasan
Al-banna.” Itulah sepotong kalimat yang membuatku jatuh hati pada politik. Aku
aktif di kegiatan sosial berbaur dengan masyarakat meski kaku, ya setidaknya ingin bermanfaat bagi
semua orang. Di SMFT, aku mengenal seni berdiplomasi, pemikiran arah kiri dan
kanan, Senat juga membuat kikuk, karena di Rohis aku terbiasa terhijab.
2
tahun 6 bulan, aku menyelesaikan studiku dengan IPK > 3.00. Alhamdulillah. Ya, setidaknya angka itu
standar lolosnya administrasi untuk mendaftar kerja.
Sekitar 3-4 bulan menganggur.
Hari-hari itu kuisi dengan ibadah, belajar, ikut majelis di Masjid Kampus,
apalagi waktu itu bulan ramadhan, dan menulis buku yang berending ditolak dan diPHP. Setelah itu, diterima kerja di Plamongan,
luar biasa jauh dari kontrakan, butuh 1 jam untuk naik trans semarang dan ½ jam
untuk berjalan kaki, apalagi jam pulang kerja, bisa sampai 3 jam karena macet.
Kerjaku sebagai admin bergaji rendah jauh dari UMR, Alhamdulillah aku masih bisa kerja, meski senantiasa berlegowo.
Aku adalah admin di perusahaan
desain grafis, melayani dan kadang mendesain permintaan konsumen mulai dari
desain iklan, brosur, banner, MMT, dan sejenisnya. Sedang bosku, ambil ahli jika
ada job besar tentang pembuatan
jaringan atau web seputar IT.
Aku
juga sempat mendaftarkan diri menjadi tenaga administrasi di Rektorat, sayang,
gugur, tapi aku bersyukur lulus seleksi pertama dan bisa mengikuti tes sampai
akhir. Menjadi pengalaman untukku. Dua bulan bertahan di perusahan desain
grafis, hingga diterima kerja di perusahaan Telkom, bersamaan aku diterima
kerja untuk proyek pembangunan Hotel di pusat kota, dan memilih bergabung di
Kontraktor Interior. Saat wawancara, aku gregetan,
karena PM dan SMnya berperawakan oriental, juga rekan-rekan kerja. Aku kikuk
kalau mereka tak menerimaku karena aku kerudungan. Dan saat-saat itu juga
adalah masa panas-panasnya 2 kubu.
Untuk
mengatasi kegalauan ini, tiap hari aku membawakan jajanan pasar, karena aku
tahu kata ustad Salim a Fillah, karakter orang Indonesia bisa mencair dan
bertumbuh cinta dengan makan-makan. Eh,
ternyata betul! Di perjalanan waktu, kami pun bagai keluarga, karena
menghabiskan waktu bersama lebih banyak, daripada di rumah. Mereka juga begitu
toleran, melihatku naik turun 4 lantai untuk sholat 4 waktu di proyek dan 1
waktu di kontrakan, yakni subuh. SMku pun mengusulkan untuk menyiapkan mushola
di direksi keet. Aku begitu bahagia bisa
shalat tepat waktu, berjamaah dan bisa mengaji.
Karakter
mereka sungguh pekerja keras, aku pun rajin dan bersemangat, bahkan menjadi paling
rajin untuk bersih-bersih, karena kebersihan adalah sebagian dari iman, juga
belajar rajin berbagi, meski aku tak lebih kaya alias kere untuk ukuran anak rantau. Tak penting kaya harta, yang penting
kaya hati, dan yang sering memberi adalah hakikat sejatinya kaya. Itulah yang coba
kulakukan, dan dari kebiasaan ini menjadi naskah buku nonfiksiku. Mereka secara
tidak langsung mengajarkanku untuk meninggalkan kemalasan, sebab aku malu
menjadi muslimah yang bodoh! Kami saling menyayangi, hingga saatnya tiba,
proyek selesai dan kembali ke Sulawesi karena mamak sakit.
Setelah
bulan puasa dan lebaran berlalu, aku diterima kerja di Konsultan dekat area
rumahku. Hanya berlangsung 2 bulan, pasca lebaran kurban, aku pun resign dengan cara yang baik,
sebagaimana saat melamar pekerjaan di sana. Adalah sebuah harga diri dan
kenyamanan hati, yang membuatku harus melepaskan job-job yang membagikan khazanah dunia arsitektur.
Kini,
aku bekerja serabutan di rumah, tak pernah menyesali keputusan itu! Aku merasa
lebih bermanfaat dari sebelumnya, mulai dari bisnis online, mengajar, belajar, menginput data dari dinas perikanan,
membantu pekerjaan rumah, mengikuti segala event
seputar kepenulisan, mengirim karya ke redaksi, dan menulis sebuah buku, buku
dengan semangat mantra man jadda wa jadda,
yang AKAN menjadi best seller bermanfaat dunia
akhirat. In shaa Allah. Aamiin.
Dari
sebuah buku itu, aku hendak berbagi atas dasar kita, cinta dan cita, melanjutkan
kuliah, karena kehausanku akan dunia arsitektur, dan in shaa Allah membangun perusahaan dengan pondasi kejujuran,
toleran, persaudaraan, dan mengutamakan ibadah-kayak kampanye, ya? Heheh
.