Monday, December 10, 2018

Dua Pemuda dari Kota

Gambar terkait
Dua Pemuda dari Kota

"Siapa itu?" tanya Mei terpukau.

"Itu Yusril," jawab Ara tersenyum, mereka memperhatikan sosok yang baru bergabung di pesta, dari cara berjalan pria itu, Mei yakin sosok itu pastilah bukan orang miskin yang menyamar, caranya menyambut senyum, gaya pakaiannya khas orang kota dengan setelan jas, juga bau parfumnya. "Kata orang-orang, Yusril itu pengusaha muda, penghasilannya bisa nyampe ratusan juta lebih," lanjut Ara. Mei tersenyum kagum.

"Kalau yang di sampingnya itu?" tanya Mei penasaran. Sesekali ia tertawa.

"Yang mana?" Ara fokus melirik. "Oh yang itu!" Ara melihat pemuda berambut tebal, bergaya elegan.

"Yang mukanya kayak orang lagi nahan kentut."

"Hei, jangan begitu!" Ara tersenyum. "Barusan aku dengar dari kepala desa. Namanya Jaya, yang kamu bilang lagi nahan kentut itu pengusaha muda juga, loh, penghasilannya setahun bisa nyampe M."

"M beneran? Bukan ember?"

"Iya, Maimanah sayang." Ara lagi-lagi tersenyum tipis, membuatnya tampil semakin mempesona, sedang Mei tak bisa menahan diri untuk tertawa. Ia melirik dua pemuda dari ibu kota itu. Menurutnya Yusril berperangai menyenangkan, laki-laki kaya, tampan, baik hati dan tidak sombong. Sungguh mangsa menarik bagi calon mertua yang sudah menetapkan buruannya, sedang Jaya, adalah pemuda yang lebih tampan dan kaya dari Yusril, ia juga merupakan sasaran yang paling empuk, tapi sayang, saat gadis-gadis mencuri perhatiannya, bahkan para orangtua mereka, Jaya bersikap congkak. Dan mereka langsung bubar jalan lalu membenci Jaya, menjadikannya topik hangat, meski tetap bermuka dua di depannya.

"Mei, kamu ngapain di situ? Sana ajak Yusril kenalan! Barangkali dia jodohmu!" seru perempuan tua yang masih memperlihatkan keelokkannya.

"Malu, Ma!"

Maimanah pun langsung ditarik Mamaknya mendekati dua pemuda kota itu, mereka sedang menonton tarian lulo acara pesta botting mewah. Ara, sahabat Mei pun juga ikut. Mamaknya dengan mulut keibuannya yang khas mampu mensukseskan rencananya. Sudah lama ia bercita-cita untuk menikahkan segera si perawan ting-ting ini yang tidak kunjung laku, apalagi Mei mempunyai enam adik perempuan, beliau begitu berhajat anaknya berjodoh dengan pria kaya, hampir 24 jam beliau berdoa nonstop untuk hajatnya. Dan saat pesta pernikahan bagi orang bugis adalah waktu yang tepat untuk mencari jodoh. Apalagi dengan kedatangan tetangga baru mereka yang maskulin.

Mei dan Ara bisa mencium minyak wangi mereka, sungguh berbeda sekali aromanya dengan bau lelaki di kampung yang selera parfumnya tidak bermerek dan murahan. Mei cukup terpikat dengan Yusril yang begitu sopan dan ramah, sangat berbanding terbalik dengan Jaya yang sok keren dengan tatapan tajam dan sombong.

"Kenapa Yusril malah dekat sama Munawara? Kenapa bukan sama kamu?" tanya Mamak galak.

"Lha, gimana, Ma? Wajarlah, Ara, kan, cantik dan baik hati, meski sering dengar gosip." Mei tertawa kecut.

"Ya Allah, jangan-jangan anakku ini nanti jadi perawan tua? Padahal umur 18 kayak kamu, Mamak sudah punya 2 anak!" Mamak melotot. Mei bergaya tampak iba, untuk menghormati Mamaknya yang cerewet.

Dari jauh Mei bisa melihat Ara menari bersama Yusril. "Ah, Ara memang orangnya baik, cantik lagi, pantas saja dia cepat dapat jodoh." Mei tertawa. Ia tak sengaja melirik teman Yusril yang berdiri mematung di dekatnya menonton tarian lulo. Tak sengaja Jaya menangkap ekor mata gadis bermata bulat itu, untuk bersopan santun, dengan terpaksa Mei pun ramah menyapa Jaya. "Gak ikut menari?"

Laki-laki itu menatap tajam sejenak lalu menggeleng tegas. "Tidak!"

Mei mengangguk dan tertawa akan sikap aneh pemuda dari ibu kota itu. Ia pun beranjak. Sementara Jaya sangat tersinggung atas sikap lancang Mei yang tampak jelas mengejeknya. Gadis ramping yang bergerak gesit itu menabrak tubuh di depannya. Sosok itu kaget dan berbalik. 

"Mau menari?" ajak laki-laki itu ramah.

Mei mengangguk mantap menyambut tangan sosok yang baru ditemuinya, tidak pernah ia melihat pemuda setampan Arsyil di desa. Mereka pun bergabung dalam tarian, berputar ke kanan, mengayunkan kaki ke depan belakang, lalu berputar lagi ke kiri. 

Arsyil pandai menari, perangainya pun menyenangkan, bahkan bisa dibilang begitu amat menyenangkan dan juga baik hati nan sopan.

"Kenapa kamu tidak ikut menari, Jay?" tanya Yusril sumringah, di sampingnya berdiri si cantik Ara.

"Aku tidak bisa menari!"

"Ya Belajarlah!"

Mereka berbalik, Mei yang tiba-tiba bergabung langsung menghakimi. Ia pun gugup dan malu karena sikapnya kurang adab. Diliriknya Jaya tampak begitu jengkel. 

Tak lama kemudian. Jaya dan Yusril pun hendak pamit. Mei juga pergi mencari adik-adiknya yang tentu sibuk cari jodoh dan memenuhi perut mereka.

"Seperti biasa, kalau keramaian begini, kamu suka tersiksa." Yusril tersenyum mengejek Jaya.

"Sebaliknya dengan kamu!"

"Iya, Jay, aku happy banget."

"Bagaimana tidak, kamu menari dengan satu-satunya gadis cantik di desa ini!" Jaya berkomentar.

"Wah, selera kita sama. Bukannya, sahabatnya juga cantik, kenapa tidak ajak menari?" tanya Yusril penasaran.

"Mukanya pas-pasan." Jaya serius komentar. Yusril tertawa. Mereka pun menaiki mobil silver yang terpakir tak jauh dari sarapo. Tersedak, Mei segera mencari dan meminum air. Hampir saja ia mati kehabisan napas. Gadis itu begitu kesal dengan sikap congkak Jaya yang menjudge wajahnya pas-pasan. Kalau saja boleh, Mei hendak menyumpahi Jaya agar menelan kata-katanya, atau setidaknya laki-laki sombong itu yang meskipun gagah dan kayanya minta ampun itu tidak mampu menikah dengan gadis cantik di seluruh jagat raya. 

***

Saat Mei menjemur coklat di halaman samping rumahnya yang luas, Ara segera menghampirinya, sembari membantu meratakan biji coklat yang akan dijemur, sesekali Mei terperanjat kaget ketika ia mendapati biji coklatnya bercampur dengan kotoran kambing. Tapi bukan itu yang Munawara ingin bahas, melainkan tentang Yusril, pemuda flamboyan itu akan ke rumahnya, berkenalan dengan keluarganya.

"Wah, secepat itu?" Mei girang erat memegang tangan gadis cantik di depannya, ia lupa kalau Mei habis bersentuhan dengan kotoran kambing. Maimanah berseru semangat. Baginya kebahagiaan sahabat baiknya adalah kebahagiaannya juga, ditambah pertemuannya dengan Arsyil, pemuda tampan yang pernah ditemuinya seumur hidup di desa kecil. Satu-satunya hal buruk sepanjang ia bernapas adalah, jika dia harus bertemu dengan sahabat Yusril, yakni Jaya, si pemuda kaya yang bertampang susah, kayak sedang menahan kentut.

Malam itu tiba, mobil angkuh memaksa masuk ke jejalan berbatu dengan latar pematang sawah di sisi kiri, sedang di sampingnya diisi pepohonan coklat. Ara dan Mei mengintip dari balik jendela. Merona seketika wajah Ara melihat sosok berwibawa itu. Mei tertawa bahagia, lalu seketika kebahagiaannya terhenti melihat sahabat Yusril serta merta ikut.

Keluarga Ara begitu kikuk menyambut tamu mereka, rasanya mereka seperti mimpi, untungnya putrinya mempesona dan baik hati, sehingga mimpi itu nyata, bukan fiksi. Yusril tampak sangat ramah, ia cepat berbaur, sementara Jaya seperti biasa, berlagak congkak dan dingin. Menjawab seperlunya jika ditanya.

Setelah acara makan malam seadanya--yang cukup mewah bagi orang desa, mereka pun bercengkrama ditemani pisang goreng, teh pekat, dan permainan domino. Yusril pun larut dalam aktivitas bersama Ara dan keluarganya. Tinggallah Jaya mematung dikerumuni nyamuk. Mei melirik dan menahan tawa.

Mei lalu beranjak mengambil teko yang berisi teh pekat manis di atas meja. Kini ia persis di dekat laki-laki sombong itu. Mei meliriknya kesal, tidak percaya bahwa di rumah sahabatnya pernah duduk bahkan tertidur pemuda berpenghasilan M yang Meski gagah tapi congkak!

"Kamu suka ketawain orang!"

Mei hampir menjatuhkan teko itu, lalu segera menguasai diri, gadis itu memandang bulat, menertawakan sikapnya. "Kamu sendiri? Somb ... eh, maksudku pendiam.” Mei masih mengingat jelas ketika Jaya mengatakan wajahnya pas-pasan, ia seperti ingin menyeduh air teh ke kepala pemuda kaya di depannya itu biar botak. 

"Kamu juga merasa hebat sendiri!" Mei berdesis.

"Jadi begitu pendapatmu?" Jaya menatap dingin.

"Iya," jawab Mei berwajah ketus, tapi ia sengaja menyembunyikannya. Jaya berpaling darinya.

"Seumur hidup baru kali ini aku bertemu makhluk sesombong itu." Mei datang menaruh teko lalu berbisik ke Ara. Gadis cantik itu mengelus tangan di pundaknya lalu tersenyum menghibur.

***

"Di sini tempat kerjaku dulu!" Laki-laki kampung itu menunjuk pabrik besar berdiri gagah yang jauh dari jalan beraspal. Mei terpukau. Arsyil hanya bisa menatap pasrah. Saat itu, Mei berjalan kaki pulang dari rumah keluarganya yang sakit, melewati pabrik, ia penasaran dan akhirnya bertemu Arsyil setelah beberapa bulan lamanya.

Mobil silver berjalan lambat kemudian berhenti di depan, turunlah pemuda dengan kardigan gelap dipadu baju kaos, dan celana jeans, baunya mewangi elegan, membuat ingin betah berlama-lama bersamanya. Ia melirik mereka. Arsyil terkejut, lalu melempar senyum. Mei menatap mereka bergantian. Gadis bugis itu pun penasaran. Jaya memandang dingin, lebih dingin dari biasanya.

"Ada apa?" tanya Mei penasaran, sembari memperhatikan langkah cepat Jaya yang masuk ke dalam pabrik pengolahan coklat.

"Dia pemilik pabrik ini."

"Hah? Pemilik Pabrik ini?"

"Pak Jaya membelinya beberapa bulan lalu, sebelum kedatangannya, aku sudah lebih dulu kerja. Dan aku dipecat." Arsyil menunduk dalam-dalam, "karena aku tidak dapat dipercaya katanya, kesalahan kecil pun tidak akan dimaafkannya."

"Kesalahan apa itu?" tanya Mei iba.

"Aku meminjam uang Pak Jaya, mamakku sakit, tiba-tiba dia minta kembali, uangnya sudah kupake, dan aku dipecat."

Mei begitu sedih mendapati penuturan Arsyil, ia melihat kejujuran yang tulus dari tatapannya, dan itu membuatnya semakin memupuk kebencian mendalam pada si sombong Jaya.

***

Undangan itu tiba, ternyata Yusril begitu serius, keluarga dan tetangga pun diundang ke rumah mewah Yusril untuk acara pertunangan. Bagi masyarakat desa, mereka tidak terbiasa dengan istilah itu, tapi karena sang calon adalah pemuda langka, dan ada acara makan-makan, semuanya tampak antusias. Mei juga begitu, meski Mamak selalu merongrong untuk mengikuti jejak sahabatnya yang beruntung.

"Tuh! Semua laki-laki sudah laku semua, habislah bagianmu!"

Mei cuman tertawa seperti biasanya, saat itu ia mengingat Arsyil. Tak sengaja kerlingan matanya menangkap sosok yang berdiri menjauh dari keramaian, sosok itu diapit dua perempuan yang dari tampilannya sudah pasti bukan orang kampung. Jaya meliriknya dingin. Mei kaget, dan menghindar dari pandangan menyebalkan itu. Mei gesit mencari Arsyil. Sayang, Arsyil tentu tak datang.

Mengikuti budaya di desa, iringan musik pun dimainkan, orang-orang di sana pun berpegangan hendak menari. Mei bertepuk tangan, daridulu ia sebenarnya lebih senang menonton dan tertawa melihat pemandangan menyenangkan di depannya.

"Mau menari?" tangan itu terulur.

"Iya." Mei menyambutnya gegap gembita. Dan ia baru sadar, nyatanya tangan itu milik Jaya, pemuda yang dibencinya. Mereka pun bergabung dalam lingkaran tarian lulo itu. Syok Mei dibuatnya, ia telah bersumpah untuk menghindari sosok itu selama dia hidup di dunia, kini Mei harus menari bersamanya dan pura-pura bahagia.

Patah-patah Jaya mengikuti tarian lincah orang-orang desa. Mei melirik para tamu yang menatap heran nan takjub ke arahnya, seperti melihat seorang ratu, dengan pasangan raja yang gagah.

"Aku sudah memikirkan ini dengan keras, bahkan sampai berbulan-bulan, keputusan ini lebih berat dari persoalan bisnis. Aku kini tidak mempermasalahkan kamu yang hanya orang desa, juga statusmu. Apalagi sikapmu yang sembrono. Sekarang juga aku tidak mau berlama-lama menderita. Aku suka lihat kamu ketawa meskipun gigimu jarang-jarang! Aku... aku... ingin kamu jadi pasanganku, maksudku menikah, kamu tentu mau, kan?" tanya Jaya dengan percaya diri.

Mei terbatuk karenanya, seperti tersedak. Menatap Jaya yang meminta padanya. Gadis berambut ikal itu hampir kehabisan napas. Tiba-tiba selepas menari, Mei pamit lalu berlari keluar, dan Jaya diam-diam mengikutinya. Lantas bersaksi atas kemustahilan yang pernah ada di muka bumi.

"Maaf karena membuatmu menderita, aku... aku... ehm, sebenarnya kita itu pasangan yang buruk!"

"Jadi ini jawabanmu?" tanya Jaya getir. Mei mengangguk mantap. "Kamu menolakku?" Jaya tak percaya, ia begitu yakin bahwa dirinya akan diterima, bahkan menurutnya, gadis itu pasti telah lama menantikan perasaannya. "Kamu marah karena aku menghinamu?"

Mei tertawa kecut. "Ada banyak hal Jaya, banyak sekali! Pertama, kamu telah mendzolimi banyak orang dengan sikap sombongmu, yang kedua kamu menghinaku dengan mengatakan wajahku pas-pasan dan sikapku buruk, yang ketiga kamu mendzolimi pekerja setiamu!"

"Maksudmu Arsyil?" Jaya melotot dingin. "Dia pantas mendapatkannya!"

Jaya pun menghilang dan tak pernah muncul dari permukaan. Andai Mamak Mei tahu kalau ia menghancurkan mimpi 24 jam beliau, mungkin Mei sudah diusir dari rumah, meratapi calon menantu berpenghasilan miliaran itu. 

***

"Apa jawabanmu masih tetap sama?" Laki-laki itu harap-harap cemas. Ia tampak ragu. Berpaling muka.

Mei syok dibuatnya. Ia tak percaya. Kesempatan yang maha mustahil itu akan datang. Banyak yang terjadi setengah tahun lalu, tentang Mei begitu lancang menolak lamaran pemuda berpenghasilan M karena tabiat buruknya, tentang si ganteng Arsyil yang nyatanya tukang tipu berakhir di penjara kabupaten, dengan dalih meminjam uang untuk mamaknya tapi dipakai buat minum ballo pahit dan pasang lotere, dan tentang pernikahan Yusril dan Ara kini sedang berlangsung.

Jaya mengusap tangannya. Mengangkat wajah. Laki-laki berumur 25 tahun itu tersenyum tipis. Menggadai malu dan kehormatannya hanya untuk meminang gadis kampung yang suka menertawakan, bahkan mengolok di depannya--yang tak pernah dilakukan oleh gadis normal manapun. Tapi Mei gadis baik, dia begitu sayang sahabatnya, juga rela berjalan kaki berkilo-kilo untuk menjenguk keluarga yang sakit. Soal wajahnya yang pas-pasan, nyatanya setelah mengatakan itu, ia menjadi gadis tercantik yang pernah ditemukan Jaya dengan wajah ceria bahagia dan tawa manisnya.

Mei hanya bisa tertawa. Ia tertunduk merona. Untuk pertanyaan mustahil yang pernah ada menurutnya, tapi itu ternyata hanya fatamorgana! Ia terbangun dari khayalannya. Jaya masih mengabaikannya. 

Kenapa cinta tiba di saat telah dielaknya?



(Cerita ini diadaptasi dari novel Pride and Prejudice yang diangkat ke layar lebar dengan judul yang sama)

Monday, December 3, 2018

09.30 WITA

Gambar terkait
09.30 WITA

09.30 WITA. Aku menunggu untuk menemuimu di depan rumah. Seperti biasa, kau selalu tepat waktu. Berdiri gagah di sana, berpakaian rapi dan mewangi.

"Daeng, tabe, ini uang ta." Aku menyerahkan uang sepuluh ribuan untuk ikan lure yang dibeli Mamak. Beliau memang sering menyuruhku membayar apa yang diambilnya dari penjual yang lewat depan rumah.

"Iya makasih di'," jawabmu tersenyum kecil, "gak sekolah ki?"

Aku terhenti. Baru kali ini kamu mengajak aku bicara selain ucapan terima kasih. Aku menggeleng. "Sudah lulus mi!" Kamu pun mengangguk tersenyum kikuk. Beranjak pergi menggunakan motor terkentut-kentut dengan sekeranjang ikan amis. 

Kenapa, sih, kamu harus jadi penjual ikan?

***

"Sebenarnya toh... saya suka mbe' sama itu orang Raha, tapi...."

"Tapi apa, Ris?"

"Saya tidak mau diajak menderita, sa bayangkan kalo sama dia, kayak film Mr. Bones mbe', yang hidup kolot primitif." Aku mengeluh, mengadu nasib.

"Ulala, begitulah cinta!" Ecce komentar.

"Iya, tapi saya itu orang bugis, Ce! Orang bugis itu selera tinggi, tidak bisa hidup kere, dan makan seadanya, saya nda bisa makan jagung kering keriting yang digantung di atas kuda-kuda rumah, atau ubi yang menghitam, lalu dijemur dan dimakan. Tidak bisa kasihan!"

"Belagunya dirimu ededeh!" Ecce menghakimi.

"Biar belagu, yang penting sombong!" Aku berlipat tangan.

***

Aku menemani kakak--yang bekerja di dinas perikanan dan kelautan. Ia mengunjungi perkampungan Bajo, sementara kakak memberikan penyuluhan, aku keluar dari rumah panggung di atas air laut ini. 

Rumah-rumah suku Bajo bermaterialkan kayu bakau bersusun-susun di atas air, juga ada jembatan penghubung yang panjang.

Aku tertarik melirik kapal-kapal pencari ikan melewati jembatan yang aku berpijak di atasnya, topi bundar merah pun kuturunkan, di atas perahu itu, ada dua orang nelayan, seorang tua hitam dan beruban, dan di belakang ada--

Kamu?!

"Sakit kepalaku lihat kita di atas." Laki-laki itu mengeluh pegal mendapatiku berdiri di atas jembatan saat ia melintas dengan katintingnya. Lalu segera merapatkan perahu. Kamu pun menemuiku.

"Iye, bagaimana tidak? Perahu jalan terus, kita masih lihat saya ke jembatan." Aku tersenyum.

"Saya memastikan itu benar kita," jawabmu malu-malu.

Usiamu ternyata lebih muda dariku, kalau kamu sekolah, mungkin kamu sudah kelas 3 SMA, sedang, aku baru lulus kuliah, dan kini mencari kerja alias pengangguran. 

Dia berondong ternyata! 

"Apa kita bikin di sini?" Kamu bertanya kenapa aku di sini. Aku menggaruk kepala.

"Saya lagi temani kakakku kerja." Aku tersenyum simpul. "Eh, bukannya kita orang Raha, toh? Terus tinggal di perkampungan Bajo?"

"Iye, sa tinggal sama kakek, dia suku Bajo, kalo saya sebenarnya tinggal di gunung, lalu sa tinggal di laut, dan bantu kakek juga!"

Aku mengangguk melirik, tampak urat di tanganmu membuktikan bahwa kamu hidup keras dan susah, juga kulit yang menghitam disiram matahari. Otot-otot kekar tidak menandakan kalau kamu ternyata seumuran siswa SMA, aku mulai membayangkan teman cowok SMAku yang ringkih krempeng.

"Jam setengah sepuluh, kita sering datang tepat waktu di depan rumahku." Aku berkomentar penasaran.

Kamu tersenyum kikuk, lalu terdiam lama. "Kayaknya, saya tidak bisa lagi jualan ikan di rumah ta."

"Kenapa?" Aku memandang sendu.

"Da bilang kakekku terlalu jauh, nanti langsung dijual saja sama penjual ikan yang juga akan jualan di kota ta." Laki-laki itu lirih berkomentar. Aku tertunduk kecewa. Lalu dia mengatakan sesuatu yang membuatku hampir meledak, "Saya... sa-saya... sebenarnya mau dijodohkan sama sepupuku, saya tidak punya pilihan lain...."

"Hah?" Aku melongo. Kenapa dia malah curhat?! Kenapa juga secepat itu? Aku tahu, budaya di sini adalah menikah dini. Dan bodohnya... kenapa aku sesak? dia, kan, hanya pabbalu bale. Penjual ikan. Pabbalu bale lure. Penjual ikan teri kesukaanku ....

"Tapi kalau kita mau." Dia mulai bertanya padaku. Lalu berembus berat, mengambil napas macam orang kehabisan napas. "Sebenarnya kalau kita ada rasa, mungkin saja... tidak akan terjadi itu ...."

***

Aku menuangkan teh pekat manis ke gelas mug Ecce. "Begitu awal ceritanya, Ce. Ternyata, toh, itu pabbalu bale, dia naksir juga saya."

"Percuma! Kamu itu, selera tinggi ekonomi lemah! Terima saja dia apa adanya!"

"Malu! Apa kata tetangga?"

"Halah! Dongo! Apa urusannya sama tetangga, memangnya itu tetangga yang mau ngasih makan kamu? Atau bayarkan listrik sama air? Enak mbe' hidup sama La Pili, entar kamu punya perahu pribadi, tidak usah beli ikan lagi, punya rumah di atas air, memasak pake tungku, makan kambose, kabuto dan kawan-kawan." Ecce tertawa memperlihatkan giginya yang kuning.

"Kamu mengejek, toh?"

Ecce menggeleng. "Temanku Risda, yang baik hati dan tidak ompong, bahagia itu, toh, bukan karena materi, tapi karena kamu mau bersyukur atau tidak? Bahagia itu, toh, kamu damai bisa hidup dengan orang yang kamu cinta dan mencintaimu, terus mengacuhkan orang-orang yang memicingkan mata atau bergunjing tentang kamu!"

"Huh, sok bijak!" Aku menjentik jidat lebar Ecce. Ia tak peduli, dia malah asyik menghabiskan doko-doko lima buah yang daun pisangnya dia buat tercecer di atas keramik. Aku pun diam. Ada benarnya juga apa yang dikatakan Ecce, meski dia orangnya plin plan.

***

Kini aku berdiri di pelelangan ikan, kulirik android yang menunjukkan jam 09.30 WITA, aktivitas di pagi hari ini cukup sepi, para penjual ikan mulai berteriak memanggil pembeli, mereka mengipas-ngipas lalat yang mengerumuni jualannya, bau amis bertebaran, anak-anak penjual ikan berlarian tanpa baju celana juga alas kaki, ingusnya melorot, tapi mereka gembira memainkan kucing yang dipencet-pencetnya di tanah yang berlumpur.

"Assalamu'alaikum." 

"Wa'alaikumsalam." Aku memandang haru, kulihat kamu tampil beda, untuk pertama kalinya kamu tidak memakai kaos oblong penuh keringat dan lombeng, atau kainnya pun macam sering digerogoti tikus, kini kamu mengenakan kemeja kotak-kotak, dan mewangi minyak wangi, bukan lagi bau amis yang keluar dari tubuhmu. Semuanya oke. Tapi, kenapa bertemunya harus di pelelangan ikan?!

"Jadi bagaimana mi?"

Aku berembus napas. "Sudah kuputuskan!" Lalu menelan ludah. Kamu memandang cemas, penuh harap, aku memberimu senyum penuh makna, kulempar pandanganku ke arah penjual ikan dan sayur yang sibuk, juga anak-anak mereka yang bermain ala kadarnya. "Saya mau kita menikah saja sama sepupu ta."

"Hah?"

"Maaf... sa-saya... tidak bisa melihat anak-anakku nanti hidup kayak mereka." Aku lagi-lagi melirik beberapa penjual ikan dan sayur. "Atau bekerja jadi penjual ikan, membuka sisik-sisik ikan, dan kena bau ikan...."

"Saya pikir kita berbeda, Ris...." bisikmu getir, lalu menelan ludah pahit. "Saya sudah berani mi, membuang malu biar bisa jujur, tapi ternyata... mana mungkin juga cinta penjual ikan miskin diterima sama sarjana muda yang cerah masa depannya, bodohnya saya!"

"Maaf... tujuan menikah itu, toh, kan, untuk bahagia!"

"Kalau kita pikir bahagia itu dilihat dari status berarti kita harus belajar baik-baik, Ris, bahkan kami penjual ikan itu tahu, arti bahagia itu." Ia menatap sendu. Aku mendengus, sebagai mahasiswa dengan IPK tiga koma, kenapa aku bisa digurui sama penjual ikan brondong yang belum tentu tahu arti baca tulis? Dia berembus berat. "Padahal saya baru mau bilang, kalau saya baru diangkat jadi tenaga kerja di tambang dengan gaji yang cukup untuk kita hidup, tapi sudah mi saja pale!" Kamu pun patah-patah beranjak, dan mengucapkan salam. 

Astaga! Apa yang kulakukan? Kulirik anak-anak yang hidup prihatin, tergelak tawa, dan bahagia menyambut gendongan orangtua mereka.

Kembali! Tolong! 

Dan Sampai sekarang, aku masih suka melirik jam 09.30 di mana pun aku berada. Sialnya, aku juga mengingatmu!