![]() |
09.30 WITA |
09.30 WITA. Aku menunggu untuk menemuimu di depan rumah. Seperti biasa, kau selalu tepat waktu. Berdiri gagah di sana, berpakaian rapi dan mewangi.
"Daeng, tabe, ini uang ta." Aku menyerahkan uang sepuluh ribuan untuk ikan lure yang dibeli Mamak. Beliau memang sering menyuruhku membayar apa yang diambilnya dari penjual yang lewat depan rumah.
"Iya makasih di'," jawabmu tersenyum kecil, "gak sekolah ki?"
Aku terhenti. Baru kali ini kamu mengajak aku bicara selain ucapan terima kasih. Aku menggeleng. "Sudah lulus mi!" Kamu pun mengangguk tersenyum kikuk. Beranjak pergi menggunakan motor terkentut-kentut dengan sekeranjang ikan amis.
Kenapa, sih, kamu harus jadi penjual ikan?
***
"Sebenarnya toh... saya suka mbe' sama itu orang Raha, tapi...."
"Tapi apa, Ris?"
"Saya tidak mau diajak menderita, sa bayangkan kalo sama dia, kayak film Mr. Bones mbe', yang hidup kolot primitif." Aku mengeluh, mengadu nasib.
"Ulala, begitulah cinta!" Ecce komentar.
"Iya, tapi saya itu orang bugis, Ce! Orang bugis itu selera tinggi, tidak bisa hidup kere, dan makan seadanya, saya nda bisa makan jagung kering keriting yang digantung di atas kuda-kuda rumah, atau ubi yang menghitam, lalu dijemur dan dimakan. Tidak bisa kasihan!"
"Belagunya dirimu ededeh!" Ecce menghakimi.
"Biar belagu, yang penting sombong!" Aku berlipat tangan.
***
Aku menemani kakak--yang bekerja di dinas perikanan dan kelautan. Ia mengunjungi perkampungan Bajo, sementara kakak memberikan penyuluhan, aku keluar dari rumah panggung di atas air laut ini.
Rumah-rumah suku Bajo bermaterialkan kayu bakau bersusun-susun di atas air, juga ada jembatan penghubung yang panjang.
Aku tertarik melirik kapal-kapal pencari ikan melewati jembatan yang aku berpijak di atasnya, topi bundar merah pun kuturunkan, di atas perahu itu, ada dua orang nelayan, seorang tua hitam dan beruban, dan di belakang ada--
Kamu?!
"Sakit kepalaku lihat kita di atas." Laki-laki itu mengeluh pegal mendapatiku berdiri di atas jembatan saat ia melintas dengan katintingnya. Lalu segera merapatkan perahu. Kamu pun menemuiku.
"Iye, bagaimana tidak? Perahu jalan terus, kita masih lihat saya ke jembatan." Aku tersenyum.
"Saya memastikan itu benar kita," jawabmu malu-malu.
Usiamu ternyata lebih muda dariku, kalau kamu sekolah, mungkin kamu sudah kelas 3 SMA, sedang, aku baru lulus kuliah, dan kini mencari kerja alias pengangguran.
Usiamu ternyata lebih muda dariku, kalau kamu sekolah, mungkin kamu sudah kelas 3 SMA, sedang, aku baru lulus kuliah, dan kini mencari kerja alias pengangguran.
Dia berondong ternyata!
"Apa kita bikin di sini?" Kamu bertanya kenapa aku di sini. Aku menggaruk kepala.
"Saya lagi temani kakakku kerja." Aku tersenyum simpul. "Eh, bukannya kita orang Raha, toh? Terus tinggal di perkampungan Bajo?"
"Iye, sa tinggal sama kakek, dia suku Bajo, kalo saya sebenarnya tinggal di gunung, lalu sa tinggal di laut, dan bantu kakek juga!"
Aku mengangguk melirik, tampak urat di tanganmu membuktikan bahwa kamu hidup keras dan susah, juga kulit yang menghitam disiram matahari. Otot-otot kekar tidak menandakan kalau kamu ternyata seumuran siswa SMA, aku mulai membayangkan teman cowok SMAku yang ringkih krempeng.
"Jam setengah sepuluh, kita sering datang tepat waktu di depan rumahku." Aku berkomentar penasaran.
Kamu tersenyum kikuk, lalu terdiam lama. "Kayaknya, saya tidak bisa lagi jualan ikan di rumah ta."
"Kenapa?" Aku memandang sendu.
"Da bilang kakekku terlalu jauh, nanti langsung dijual saja sama penjual ikan yang juga akan jualan di kota ta." Laki-laki itu lirih berkomentar. Aku tertunduk kecewa. Lalu dia mengatakan sesuatu yang membuatku hampir meledak, "Saya... sa-saya... sebenarnya mau dijodohkan sama sepupuku, saya tidak punya pilihan lain...."
"Hah?" Aku melongo. Kenapa dia malah curhat?! Kenapa juga secepat itu? Aku tahu, budaya di sini adalah menikah dini. Dan bodohnya... kenapa aku sesak? dia, kan, hanya pabbalu bale. Penjual ikan. Pabbalu bale lure. Penjual ikan teri kesukaanku ....
"Tapi kalau kita mau." Dia mulai bertanya padaku. Lalu berembus berat, mengambil napas macam orang kehabisan napas. "Sebenarnya kalau kita ada rasa, mungkin saja... tidak akan terjadi itu ...."
***
Aku menuangkan teh pekat manis ke gelas mug Ecce. "Begitu awal ceritanya, Ce. Ternyata, toh, itu pabbalu bale, dia naksir juga saya."
"Percuma! Kamu itu, selera tinggi ekonomi lemah! Terima saja dia apa adanya!"
"Malu! Apa kata tetangga?"
"Halah! Dongo! Apa urusannya sama tetangga, memangnya itu tetangga yang mau ngasih makan kamu? Atau bayarkan listrik sama air? Enak mbe' hidup sama La Pili, entar kamu punya perahu pribadi, tidak usah beli ikan lagi, punya rumah di atas air, memasak pake tungku, makan kambose, kabuto dan kawan-kawan." Ecce tertawa memperlihatkan giginya yang kuning.
"Kamu mengejek, toh?"
Ecce menggeleng. "Temanku Risda, yang baik hati dan tidak ompong, bahagia itu, toh, bukan karena materi, tapi karena kamu mau bersyukur atau tidak? Bahagia itu, toh, kamu damai bisa hidup dengan orang yang kamu cinta dan mencintaimu, terus mengacuhkan orang-orang yang memicingkan mata atau bergunjing tentang kamu!"
"Huh, sok bijak!" Aku menjentik jidat lebar Ecce. Ia tak peduli, dia malah asyik menghabiskan doko-doko lima buah yang daun pisangnya dia buat tercecer di atas keramik. Aku pun diam. Ada benarnya juga apa yang dikatakan Ecce, meski dia orangnya plin plan.
***
Kini aku berdiri di pelelangan ikan, kulirik android yang menunjukkan jam 09.30 WITA, aktivitas di pagi hari ini cukup sepi, para penjual ikan mulai berteriak memanggil pembeli, mereka mengipas-ngipas lalat yang mengerumuni jualannya, bau amis bertebaran, anak-anak penjual ikan berlarian tanpa baju celana juga alas kaki, ingusnya melorot, tapi mereka gembira memainkan kucing yang dipencet-pencetnya di tanah yang berlumpur.
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam." Aku memandang haru, kulihat kamu tampil beda, untuk pertama kalinya kamu tidak memakai kaos oblong penuh keringat dan lombeng, atau kainnya pun macam sering digerogoti tikus, kini kamu mengenakan kemeja kotak-kotak, dan mewangi minyak wangi, bukan lagi bau amis yang keluar dari tubuhmu. Semuanya oke. Tapi, kenapa bertemunya harus di pelelangan ikan?!
"Jadi bagaimana mi?"
Aku berembus napas. "Sudah kuputuskan!" Lalu menelan ludah. Kamu memandang cemas, penuh harap, aku memberimu senyum penuh makna, kulempar pandanganku ke arah penjual ikan dan sayur yang sibuk, juga anak-anak mereka yang bermain ala kadarnya. "Saya mau kita menikah saja sama sepupu ta."
"Hah?"
"Maaf... sa-saya... tidak bisa melihat anak-anakku nanti hidup kayak mereka." Aku lagi-lagi melirik beberapa penjual ikan dan sayur. "Atau bekerja jadi penjual ikan, membuka sisik-sisik ikan, dan kena bau ikan...."
"Saya pikir kita berbeda, Ris...." bisikmu getir, lalu menelan ludah pahit. "Saya sudah berani mi, membuang malu biar bisa jujur, tapi ternyata... mana mungkin juga cinta penjual ikan miskin diterima sama sarjana muda yang cerah masa depannya, bodohnya saya!"
"Maaf... tujuan menikah itu, toh, kan, untuk bahagia!"
"Kalau kita pikir bahagia itu dilihat dari status berarti kita harus belajar baik-baik, Ris, bahkan kami penjual ikan itu tahu, arti bahagia itu." Ia menatap sendu. Aku mendengus, sebagai mahasiswa dengan IPK tiga koma, kenapa aku bisa digurui sama penjual ikan brondong yang belum tentu tahu arti baca tulis? Dia berembus berat. "Padahal saya baru mau bilang, kalau saya baru diangkat jadi tenaga kerja di tambang dengan gaji yang cukup untuk kita hidup, tapi sudah mi saja pale!" Kamu pun patah-patah beranjak, dan mengucapkan salam.
Astaga! Apa yang kulakukan? Kulirik anak-anak yang hidup prihatin, tergelak tawa, dan bahagia menyambut gendongan orangtua mereka.
Kembali! Tolong!
Kembali! Tolong!
Dan Sampai sekarang, aku masih suka melirik jam 09.30 di mana pun aku berada. Sialnya, aku juga mengingatmu!
No comments:
Post a Comment