Sunday, November 25, 2018

Filosofi IPK

Filosofi IPK

"Bu, cepet! Aku mau masuk, nih!" Langit begitu cemas menyerahkan beberapa lembar kertas tugas.

"Sabar, Nduk, ini juga masih fotokopi punya orang."

"Bu ini urgent!"

"Iya-iya." Bu warung pun mengambil kertas Langit. Langit tersenyum puas, tidak peduli beberapa mahasiswa melirik gemes pengen menggigit dirinya karena asal nyerobot. Sebelum beranjak, Langit membeli beberapa wafer coklat dengan bungkus merah menggiurkan. Lalu segera kabur.

"Teman saya tadi kenapa, Bu, kayak kebelet gitu?" tanya seorang mahasiswi berwajah bulat sepeninggal Langit.

"Dia minta difotokopiin duluan, katanya mau masuk."

"Masuk gimana, Bu? Aku sama dia, kan, sekelas, Bu, hari ini dosennya gak masuk. Ibu kena jebakan batman lagi, loh, Bu!"

TWEWEWENGGG....
***

Embun membeli dua gelas air mineral. Lalu duduk di samping mahasiswa yang bertampang malas, di bawah pohon beringin, belakang open theater kampus.

"Ini buat kamu satu!" Langit menyodorkan sebungkus wafer, "kok lama sih? Haus, nih!" Mahasiswa yang tampak urakan itu segera mengambil air mineral Embun.

"Padahal aku belum ngasih, loh! Sudah kamu serobot aja!" Embun menggigit wafer coklat, yang coklatnya luar dalam, "tadi tuh ngantri, jadi lama! Memang kamu yang suka nipu Bu warung karena malas antri!"

Langit menggaruk kepala karena ketombean, ia pun membuang bungkus coklat itu di depan Embun, setelah menelan bulat-bulat wafer nikmat itu, macam tanpa dikunyah.

"Ih buang sampah sembarangan!"

"Cerewet banget, sih! Hidup-hidup aku, lagipula aku gak usah diceramahi pun sudah tahu."

"Mentang-mentang IPK cumlaude!"

Langit pun mencair, "Syirik lu! Itu kamu juga tahu!"

"Kasihan."

"Loh kok kasihan? IPKku itu murni karena kepintaranku, ya kadang aku memang sedikit nyontek, sih. Daripada kamu? Stagnan diangka 2.75 terus! Gak pernah naik!"

Mahasiswi itu pun menghela napas berat, "Memangnya IPK tinggi buat apa, sih?"

Bodoh! Masak gitu aja gak tahu. Batin Langit. Langit tersenyum mengejek, "Ya banyaklah, itu, tuh buat kita kerja, jadi dosen, dapat beasiswa, dikenal dosen, digelari, jadi kebanggaan, dihormati, kamu, sih, gak pernah jadi mahasiswa berprestasi jadi gak pernah ngerasain, kan?"

"Iya-iya." Embun mengembus lirih, gadis itu bangkit mengambil sampah plastik Langit, "kalau kamu pintar kenapa buang sampah sembarangan?"

"Kan, gak ada aturannya? Memang ini Singapura, Jepang, Inggris? Atau luar negeri lainnya? Lagipula biar Pak Dun ada kerjaan, kalau bersih, kan, dia bakal nganggur. "

"Kalau 44.932 mahasiswa berpikir hal yang sama, kita sudah gak kuliah Ngit, kita ditelan sampah."

"Kamu kenapa,sih? Mentang-mentang habis training jadi sok bijak gitu, aku aja yang biasa ikut, biasa aja tuh."

Embun tidak peduli sikap sok Langit, ia pun melanjutkan pembahasannya, "Kelihatannya, itu memang persoalan kecil, belum lagi soal antri, percuma, kan, wajib sekolah 12 tahun tapi gak tahu yang namanya antri atau buang sampah pada tempatnya! Antri itu bagaimana kita juga menghargai orang-orang, dan belajar sabar."

"Iya-iya." Langit tampak malas. Embun memperlihatkan androidnya, diliriknya smartphone sahabatnya itu, rupanya Embun sibuk membaca berita korupsi terbaru di sosmed, "heh, korupsi lagi, bisa miskin nih negara kita!"

"Kamu aja enek, kan, baca berita korupsi lagi?" Embun melirik, Langit menggaruk malas, "mereka yang korupsi ini orang pintar, loh, pendidikannya tinggi, di luar negeri lagi, IPKnya juga selangit."

"Terus?"

"Aku akui, mereka berhasil mendapat nilai tinggi, dan banyak guru berhasil mencetak murid berprestasi, tapi lupa mengajarkan kebiasaan kecil, yang bila tidak dilakukan akan menulis sejarah yang telah berulangkali, seperti menciptakan koruptor macam mereka."

"Ini karena mereka, pas seumuran kita bahkan sedari kecil, mengabaikan hal kecil, semisal nyontek, antri, buang sampah sembarangan, meminta izin mengambil atau memakai barang teman, tidak hormat pada orangtua dan teman-teman, hal kecil saja diabaikan, apalagi hal besar seperti korupsi, mengambil hak orang."

JLEB! Langit terbatuk karenanya, "Ehm gimana, ya? Emang, sih, ada benarnya juga, tapi aku gak yakin kalau kamu yang sampein." Mahasiswa berambut kusut itu tertawa.

"Dengarkanlah apa yang disampaikan bukan siapa yang menyampaikan, itu hanya pikiranku." Embun mengutip kalimat cerdas seorang cendekiawan, "tidak semua orang memiliki kebenaran, tapi kebenaran itu hanya dimiliki orang-orang yang mencarinya."

Dan aku tidak ingin kamu, Langit. menjadi salah satu di antara orang-orang pintar itu! Embun berdesis.

No comments:

Post a Comment