Saturday, December 7, 2019

Pacar Bayangan

Pacar Bayangan

"Tuhan aku ingin MATI!"
Dunia menghitam saat ia menghilang, rasanya baru kemarin aku merapikan bajunya yang kusut. Wajah itu teduh membelaiku, seperti seribu pesan yang hendak dimuntahkan tapi ditelannya kembali. 
Aku rela mati untuk menemuimu. Tidak ada siapa pun yang paling menyayangi sebaik aku mencintaimu. 
MAMA!
Setelah acara pemakaman, aku bingung akan kelanjutan hidupku. Mimpi yang aku tulis bersamamu hanya ada di masa lalu.
Bagiku, dunia nyata kini tak penting, aku lebih suka mencari pelipur lara di dunia maya. Memuntahkan semua kesakitanku. Aku pun abai pada Ayah dan kedua adikku. Dalam dunia ini, aku bisa belajar bernapas meski udara penat hanya sampai di tenggorokan.
Beberapa minggu kemudian, salah seorang teman di Facebook mengirim pesan dan siap menjadi telinga untukku. Aku kepo dan lansung mengsearch tentangnya. Ia bernama Rangga, mahasiswa jurusan sastra yang keren dan baik.
Laki-laki itu memberiku kenyamanan dan rasa sayang setiap harinya. Meski kami hanya terhubung melalui satu media yang aku syukuri. 'Ayahmu pasti khawatir, ayok keluar dari kamar. Bantuin ayahmu, pasti dia sibuk di dapur, tiap pagi harus memasakkan kalian buat ke sekolah, lalu ngantar adikmu, pergi ke pasar terus belanja dan jualan' katanya di via messanger. Aku mengangguk. Rangga begitu perhatian dan dewasa, mirip Ayah. Kubalas siap. Tapi, kenyataannya aku lebih suka menyendiri di kamar.
Entah kenapa laki-laki itu begitu peduli, ia selalu menanyakan kabarku, apa aku sudah makan? Jangankan makan, hidup saja aku malas, jika tidak ada ia yang mulai mengingatkan untuk mengisi perut. 
Aku mengadu padanya, kalau Ayah juga sibuk dengan hpnya, takut kalau-kalau ia hendak mencari pengganti Mama. Jika itu sampai terjadi, dia tak boleh tinggal di rumah ini!
'Ah jangan zuuzon... aku yakin gak gitu kok. Aku sendiri yakin ayahmu pasti peduli dan sayang sama kamu. Btw, mau gak nemuin aku? Di Muara.'
***
Untuk pertama kali bermake-up setelah hari kelabu itu. Aku telah memunggungi laki-laki yang duduk keren di depan muara. Muara tempat Ayah menghabiskan harinya untuk memancing. Aku berdoa semoga tidak bertemu Ayah di sini.
Aku tidak bisa menutupi muka yang merona ini, masih dengan menatap sosok itu, aku pun berdeham. Jantungku berpacu, menyingkap sosok hangat yang hanya ada dalam bayang-bayang, kini menjadi hidup. Pacar bayanganku. Begitu aku memanggilmu, Rangga.
Ia pun berbalik. Mataku bulat menatapnya. Dia laki-laki yang gagah, tapi bukan dia! Aku tercekik napas. Dia....
Dia ayahku!
"Lagi ngapain kamu di sini?"
Aku menggeleng kecut, "Ayah sendiri ngapain?" untuk pertama kali, setelah sekian lama, aku duduk di samping laki-laki berumur 40 tahun itu. Aku mulai mengirim pesan ke Rangga, 'Jangan bertemu di sini, ada Ayah'. Sedang Ayah masih bercerita.
Rangga langsung membalas, 'Aku sudah di sini'.
'Di mana? Aku gak lihat kamu'.
'Di sampingmu, selalu'. 
Aku mulai menengok ke kiri, tidak ada siapa pun. Kupandangi sekeliling, aku tak menemukannya, bahkan bayangan dirinya tak nampak. Aku mulai membasuh keringat di pelipis. Tetiba di sini terasa begitu dingin dan kaku. Apakah dia nyata? Atau hanya halusinasi?
'Ria, aku cinta kamu seperti Ayahmu sayang sama kamu. Erlangga'. Rangga mengirimkanku pesan lagi.
Erlangga? 
Ayahku berbalik, lalu membelaiku.
"Maafkan Ayah, ya, Ria.... Rasa-rasanya Ayah gagal jadi seorang Ayah," ujar beliau lirih. Tidak pernah kulihat Ayah menitik bening bahkan saat pemakaman Mama. "Ayah janji apa yang Ria mau, jika itu baik, Ayah akan kasih." Tiba-tiba Ayah mulai menyebutkan satu persatu apa yang aku inginkan. Yang aku bingung, entah Ayah tahu semua itu dari mana?
***
Episode itu mengingatkanku pada sosok Rangga. Apakah Rangga itu sebenarnya Ayah? Ataukah tidak pernah ada Rangga di dunia ini?

No comments:

Post a Comment