Sunday, March 22, 2020

Anak Kecil Yang Mirip Bapak



Ati selalu mengeluhkan nilai mata pelajaran matematikanya yang selalu dibubuhi tinta merah. Tampaknya Pak Sun-nama lengkap Sunarto, sudah ciut harapan mengajarinya. Pelajaran ini sungguh payah dibuatnya. Tapi, jangan tanya pelajaran lain. Juga sama payahnya! Akhirnya ia mengobarkan aksi politik terselubung, bahasa sederhananya konspirasi nyontek. Alhasil, tinta maha agung, tinta hitam diberikan dengan khidmat. 

Ketipak ketipuk pantofel hitam mulai membangunkan kucing yang berserakan di teras rumah. Delapan kucing sedang menggeliat malas bergantian, bayangkan binatang kumisan itu bisa molor dari pagi sampai magrib. Daun pintu menganga terbuka. Ati nyelonong masuk. Tetiba langsung disemprot sama Mamaknya karena masuk kayak ular, tidak salam, ditambah dia menyontek di kelas. Memang Pak Sun adalah intel yang luar biasa selalu melapor gerak-gerik Ati. 

“Ma, buah itu toh tak jauh jatuh dari pohonnya. Kalau Bapak pintar, berarti Mama yang…” belum selesai spekulasi. Ati sudah kabur ke kamar ketika melihat alis Mamanya kayak Mamak Sinchan. Dalam hening, ia mendengar sayup suara dari luar kamar. Tampak, Mama lagi memulai debat kusir dengan Bapak.

Gulita layar mewarnai ruang kamar. Hening menyambangi jarum jam yang tetiba berhenti. Lantas, sedetik melaju tegang berporos kiri. Menantang arah semula. 

***

Semilir angin mendayu-dayu, pepohonan meliuk berpisah dengan daun kering, gemericik air yang terhalang bebatuan memaksa melaju. Kicauan burung berdendang merdu. Remaja ABG terbangun dari tidur singkatnya. Ia limpung kebingungan. Ini film? Mana kameranya? Ati mulai mengelilingi belukar hutan. Di depan sungai, berdiri seekor anak sapi dengan tanduk gagah. Ati jail mulai mengendap hendak mengagetkan sapi itu, seperti yang biasa ia lakukan pada kucing-kucing malasnya. 

Sapi itu kaget, kakinya sampai terperosok ke dangkal sungai. Anak sapi sontak berbalik, matanya biru kemerahan, fokus pada tubuh ringkih di depan. Kakinya menggosok kuat tanah siap menerjang. Alarm emergency tetiba on di otak kecil gadis itu. Ia terkentut-kentut memanjat pohon terdekat. Sapi itu mengejar hendak menyeruduk. Sapi apa segalak banteng ini? Tingginya 1 m1, dengan tanduk panjang. Anak sapi itu setia menunggunya. Sesal sudah, ia sering pura-pura mules saat pelajaran biologi bab animalia. Alhasil, tak tahu nama hewan ini dan solusi tokcer untuk menghadapinya!

Orange langit mulai tampak. Kira-kira tak jauh dari TKP. Suara langkah gesit membelah rumput sayup-sayup terdengar, “Itu jejaknya! Tangkap!” remaja tambun itu berseru. Kalau tidak salah jumlah mereka sebanyak 3 orang. Remaja pelacak lebih dahulu sampai, disusul laki-laki dewasa dengan bilah bambu runcing dan parang. Mereka memojokkan anak sapi ngamuk

“KEPUNGGG!” Salah seorang mengalihkan pandangan, selebihnya merobohkan dengan sigap. Dua pemuda kekar menggotong sapi. Mulut gadis SMP yang bertengger menganga bisu. Remaja gesit tak sengaja melirik jejak kaki selain bekas pijak mereka, berakhir di pojok pohon. Ia memandang ke atas. 

Zul mendapati remaja berwajah seri di atas pohon. Ia berisyarat meminta Ati turun. Ati menatap penuh selidik. Lihatlah orang-orang yang tampak kolot ini! Kulit mereka sawo terpanggang terik, baju mereka lusuh dan gede, alas kaki seadanya-padahal Ati juga hanya beralaskan kos kaki kendor dengan seragam.

“Itu namanya anoa. Mau dimakan. Tanduknya dijual atau dikoleksi” Zul greget menjelaskan.

Hamma? Anoa ini? Hewan langka ini heh!” Ati gesit mengecek sakunya. Ia ternyata lupa bawa androidnya. Bagaimana mau saya kasih lihat teman gankku, guru sama orang rumah kalau saya pernah selfie sama anoa? Ati dongkol.

Rumah-rumah panggung bermaterial papan yang sebagiannya digrogoti rayap berdiri tegak menghadap timur, tiap rumah memiliki pekarangan luas. Di lantai atas terdiri dari ruang tamu, di kolong rumah berselimutkan tanah, banyak yang menaruh ternak atau tempat jamban instan dari papan-papan yang di bawahnya lubang tanah, tempat itu dibatasi karung panjang sebagai sekat. Warga biasanya beraktivitas di kali kalau ingin buang hajat, mandi, nyuci, dan menangkap ikan. 

Ati bertolak pinggang. Di mana ini? Pakaian mereka nuansa jadoel, tidak ada tv, satu-satunya kendaraan mewah yakni sepeda ontel, itu pun bisa dihitung jari, radio transistor menjadi mesin tercanggih, jangankan android, internet, listrik saja ampun tidak ada! Seperti menonton di layar hitam-putih. Hari mulai gelap. Ia hening menjerit. Jam segini, biasanya dia sudah menguasai TV, memantengin sinetron dambaan, yang ada Aliandonya main filem.

Gadis millennial itu tinggal di rumah kepala desa. Daeng Andi Sultan. Beliau begitu baik hati dan paham agama. Zul, anak kepala desa ba’da subuh selepas sholat, mengaji, sarapan langsung tancap pedal, ia mengayuh sepeda ontel gede milik bapaknya menuju ke sekolah yang jaraknya 3 kilo. Jalan yang luar biasa menanjak dan berbatu, bahkan dari sayap kiri bisa langsung melihat jurang, sedang di sisi kanan kokoh tertancap tebing-tebing. Ati memegangi erat kaos oblong Zul. Zul gagah mengayuh. Sesekali mengusap pelu yang kebanjiran. Ati sampai minder dibuatnya, mengingat ia, minta ampun susah dibangunkan untuk subuhan dan siap ke sekolah, padahal biasanya ia tinggal duduk manis di angkot. Itu pun masih luar biasa mager. Efek begadang! Lihatlah perjuangan bocah ini! Jalanan berbatu dan curam, tetap semangat 45! 

Di Sekolah Rakyat ada 15 siswa untuk kelas 5, mayoritas laki-laki. Mereka semua semangat bersekolah, karena belajar adalah sebuah perjuangan. Perjuangan menguji adrenalin.

Malulah Ati lagi-lagi, ketika anak-anak kelas 5 sama kemampuannya dengan ia, yang sebenarnya sudah kelas 3 SMP. Bahkan ada yang lebih pandai, seperti Zul. Betapa perihnya kebodohan itu! Ati tetiba teringat bapaknya di rumah, ketika nama lengkap Zul dipanggil Pak Guru. Zulkifli. 

Sesekali mereka menantang bebatuan. Zul berpaling arah. Terpisahkan oleh bukit, berdiri sebuah desa yang dikepalai oleh Daeng Amri. Khas beliau berkumis lebat, memiliki 2 istri yang berkilau. Beranak 10 kepala totalnya. Masing-masing istri memiliki 5 anak. Si bungsu dari istri kedua berumur 6 tahun. Ia rajin, imut, matanya bening agak sipit bernama Jumranah. Ia adalah teman main Zul. Orangtua mereka sohib, sehingga Zul dan Jumranah telah dijodohkan sejak kecil. Zul dengan takzim nan sopan membawakan bagea. Kue sagu. Titipan dari mamaknya. Ati menatap Jumranah, saat itu, anak kepala desa itu tidak sendirian, ia bersama temannya. Hasni, anak pelaut. Si tubuh mungil, kulit kuning, mata bulat bening, dan rambut keriting. Ati tiba-tiba memegangi pipi Hasni, sontak anak pelaut itu menggigit jari Ati lantas mengajak lari Jumranah. Ati memaki. Sumpah… anak itu mirip saya! 

***

Di bawah temaram lampu sulo-lampu yang diberi sumbu kain dengan wadah balsem, yang diisi minyak tanah. Zul membolak-balikkan lembar bukunya. Ia belajar dan mengerjakan PR yang akan dikumpulkan 2 minggu kemudian. Sedang, Ati baru saja dari jamban, ditemani mamaknya Zul. Ia nimbrung membolak-balikkan buku. Gadis keriting itu diam. Fokus pada tulisan Zul di pojok kanan tertera: 10/08/1965.
 
Ia menarik napas. Syok! Ternyata ia berada di masa demokrasi terpimpin. Mungkin bapaknya masih bocah. Tetiba dia rindu sangat pada beliau. Tidak ada lagi deretan sejarah yang dikisahkan bapaknya. Ati selalu bohong! Seolah-olah ia mengerti akan kisah-kisah beliau. Mending masuk telinga kanan keluar telinga kiri, berarti masih sempat masuk. Tapi ini beda! Malah terpantul! Setidaknya, ia selalu berpura-pura menyimak untuk menghormati beliau. Ia lebih suka dan paham dengan segala macam sinetron seperti mamak.

Zul biasanya mengaji di Masigi’-Masjid yang diajar olah bapaknya sendiri. Ia juga menjadi asisten bapaknya. Makhrajal hurufnya mantap bagi orang-orang asli bugis-makassar. Daeng Sultan, mirip bapaknya Ati, kalau beliau gendut dan botak. Untuk bulan ini. Daeng Sultan lebih sering digantikan oleh Kak Sun didampingi Zul. Beliau sering ada syuro dengan para ulama dan tokoh masyarakat, menyikapi berita di radio transistor yang sedang beredar. Ati yang tak begitu peduli, tidak mengerti timing. Mengajak Zul masuk ke hutan. Tempat ia kali pertama datang dan bertemu anoa. Tapi si bocah berkulit ranum itu menolak. Mengingat amanah bapaknya. Ati pun peccu. ABG itu berlari. Ia kebingungan. 

Dua setengah bulan sejak kedatangannya, ia begitu rindu rumah. Dalam kesendirian, Ati merenung. Kenapa ini bisa terjadi? Ini bukan mimpi! Ini nyata! Melihat semangat belajar dan perjuangan hidup di desa ini. Ia jadi ingin pulang dan melakukan hal yang sama. Bagaimana cara untuk kembali? Ia bahkan sangat rindu pada bapak, mamak dan ke-empat kakaknya. Ati mulai melukiskan wajah mereka. Bapak bertubuh gempal, kulit ranum, perut buncit, mata bulat, cukup botak, meski bapak sudah berumur, tapi beliau tampak perkasa. Ati pernah melihat album efek monokrom milik beliau. Bapaknya sangat berbeda, waktu beliau masih sekolah, tampak ringkih bertenaga, mata bulat, kulit ranum, rambut banyak. Cakep. Tampak mirip… bukan bahkan sangat mirip dengan Zul? Zulkifli? Sedang, mamak Ati bernama Hasni, bocah nakal yang mirip ia, teman Jumranah. Nama yang sama! Jangan-jangan! Ia tetiba teringat Daeng Andi Sultan. Ati jadi ingin memeluknya. Belum pernah ia melihat kakeknya. Mamanya Zul? Nenek Ati? Terus si jawa Kak Sun? Pak Sunarto?
 
Ati menghapus beningnya. Baru saja ia akan berlari ke desa. Suara gemuruh langkah membelah kasar belukar hutan. Ati langsung bersembunyi di atas pohon. Menyelamatkkan diri. Instingnya berbisik, mereka membawa aroma misterius.

Penghuni hutan berlarian kabur, menyisakan bau amis yang menerbangkan gagak untuk mendekat, “Masih ada 4 desa yang mau ditaklukan. Lumayan berdekatan semua itu desa. Sudah ada orang dalam semua di sana. Ada 3 kelompok kita yang akan turun!” Seorang bertubuh perkasa memulai percakapan. Massa mengangguk menggebu. Apa maksudnya? Siapa sekumpulan massa yang jumlahnya sekitar lebih dari 50 orang dengan senjata? Terlebih lagi, masih ada 3 kelompok. Takut. Ati menggigil layu bersembunyi. Jiwa pengecut tetiba bersemayam. Cukup lama. Tercampur aduk dengan rasa bersalah. Bapak? Mamak? Kakek? Nenek? Ati tahu betul mereka dalam bahaya. Ia mulai bersikeras mengubur takutnya dan memutar otak. Siapa mereka? Mulai menelisik sisa-sisa ingatan saat belajar bersama Bapaknya dan Pak Sunarto. Tetiba teringat tulisan Zul di bukunya tertera: 10/08/1965. Sekarang tahun 1965. Seingatnya ini tahun penting dalam sejarah Indonesia. Sekarang bulan September tahun 1965. Oh iya? Ia tahu! Ini adalah masa di mana terjadi pemberontakan PKI. Ia pun turun dari pohon, semoga ingatan yang sangat sedikit bisa berguna dan menyelamatkan keluarganya dan warga desa. 

Lautan api telah berkobar menelan Masigi’. Beberapa tubuh-tubuh besar tumbang di jejalanan. Banyak rumah yang ambruk. Ternak berlarian. Anak-anak menjerit, sebagian bersembunyi. Bapak mereka dikepung. Sedang ulama, tokoh masyarakat dan orang kaya ditangkap, diserang dengan membabibuta. Untuk revolusi selalu ada pengorbanan. Siapa yang menghalang, saat itu juga denyut jantung dikoyak. Mereka membawa persenjataan yang diimpor dari tanah Jawa. Pemasok utamanya dari kota Surabaya dan Jakarta. PKI menenggelamkan kapal-kapal yang dikirim pemerintah untuk membawa bantuan beras. Salah satu intel dari desa yang dipimpin Daeng Andi adalah seorang guru Sekolah Rakyat. Berasal dari Selatan. Sebelum bekerja di Perpustakaan Negara Ujung Pandang. Dari situ ia mulai mengenal buku-buku kiri dan mengidolakan buku revolusi karya Lenin dan Marxisme. Bertemu PKI yang menawarkan program kapitalis yang lebih baik. Maka dimulailah kudeta. Pecah sudah. Puncaknya di bulan September 1965 ketika 2 partai, Masyumi dan PNI tidak melegalkan karena tak sesuai ideologi pancasila, para petinggi perwira TNI-AD juga berlaku serupa. PKI se-indonesia mulai bergejolak.

Tubuh Ati diseret kasar di buang ke dalam gudang, ia didapati mengintip dibalik pohon. Ada puluhan anak kecil sampai remaja. Mereka shock ketakutan. Mata bulatnya menelisik mencari sosok Zul dan Hasni. Sebelum ia menemukannya. 3 orang laki-laki bersenjata masuk ke dalam gudang. Bertanya usia dan siapa anak dari kepala desa, anak ulama dan anak tokoh masyarakat? Jika bohong, ancamannya langsung ditembak. Lagi-lagi mereka membentak, tidak ada yang mengaku. Salah seorang dari mereka mengambil anak berusia 6 tahun. Ia akan menembak anak di depan mereka jika tidak mengaku. Anak itu ialah Hasni. Patah-patah majulah Zul. Mengaku ia adalah anak kepala desa. Sebelumnya, kloter pertama anak-anak yang di atas 11 tahun akan diajak keluar dari gudang menakutkan ini. Di saat itu, Ati beraksi berbisik pararel ke anak di sampingnya. 

“Kamu harus mengaku, umurmu toh di bawah 11 tahun, bohong saja! Bilang kamu anak buruh tani atau pelaut,” bisikan itu berhasil sampai di 6 anak, selebihnya ketahuan. Pentolan PKI itu memaksa mengaku siapa yang mempengaruhi mereka untuk berbohong. Semua melirik ke Ati. Si pemberontak itu berjalan menyeret Ati ke depan.

“Kalian sengaja toh Tanya umur, karena di atas 11 tahun mau kalian bunuh atau jadikan anggota toh? Kalian tanya Bapak kami, karena mau dijadikan sandera toh?” Zul sigap berteriak. Seakan melayang, ia mendapat tamparan. Tubuhnya terhempas sampai di depan Ati. Zul memang anak cerdas dan pemberani. Tapi, bukan ia yang memegang kendali.

“Kalian! Kalian ini! Kita itu satu suku! Kenapa kalian membunuhi suku kalian sendiri? Tidak malu di depan anak-anak?” ABG itu tajam berteriak. Anak-anak mulai diam. Memberikan sedikit cahaya semangat. Dua dari mereka berpandangan. Anak kecil kampung ini sudah banyak tahu. Tanpa basa-basi, pentolan PKI yang dari tadi diam dan duduk, kini berdiri dan menarik pelatuknya.

Anak-anak berlarian mundur menjauh. Zul berbalik menangkap tubuh Ati. Panas, rembesan cairan pekat mengguyur bagian dada anak perempuan itu. Bersamaan, warga kampung dipimpin para ulama yang selamat telah balas menyerang, untuk menyelamatkan anak-anak dan wanita yang ditahan. Kak Sunlah yang memberi informasi gudang tempat anak-anak ditawan. Saat itu Kak Sun merupakan kloter pertama anak-anak di atas 11 tahun yang keluar dari gudang. Nasib baik. Ia melarikan diri, dengan banyak luka. Para pentolan PKI itu kabur melewati pintu belakang gudang, Zul masih memegangi Ati. Sesak. Semua nampak buram. Sisa tenaga Ati mencengkeram kuat tangan Zul. 

”Zul, kamu adalah bapak terbaik yang pernah saya temui.”

 Anak laki-laki itu menghapus titik bening matanya. Ia sama sekali tak mengerti. Yang ia tahu teman yang disayanginya sekarat. Hasni maju, duduk di samping Ati. Patah-patah Ati mengangkat tangannya hendak memegangi pipi temben Hasni. Tak sampai. Tangan itu jatuh lemah terkulai.

***

Jarum jam di kamar kembali memutari poros. Gadis itu membuka mata, kaget. Tersengal memegangi dadanya. Ia mengatur napas. Lantas berhamburan keluar dari kamar menuju ruang utama rumah. Bapaknya duduk menyeruput kopi hangat sebelum ke masjid, sedang mamaknya lagi menonton tv. Apa kabar ke-empat kakaknya? Sibuk belajar di kamar masing-masing. Ati sontak memeluk mamaknya sambil menangis. Sampai kelimpungan dibuatnya. Ati bak kerasukan. Baru bangun menjelang magrib. Ayam saja sudah bersiap tidur. Ia tidur bak kucing dari siang sampai magrib. Ia berlari kepelukan bapaknya. Ia pikir tidak akan bisa melihat dan bertemu Zul lagi.

***

“Gunakan imajinasi, feel, dan logika seolah-olah kalian mengalami atau menyaksikan secara live terukirnya episode sebuah sejarah. Maka, esok hari takkan ada lagi kesia-siaan hidup ini, takkan ada lagi sesal! Yang hanya ada, proses pembenahan dan ungkapan rasa syukur terima kasih atas semua ketetapanNya. Untuk maju, lihatlah ke belakang. Bagaimana perjuangan mereka. Para Pahlawan. Sehingga kita mampu berpijak dengan jiwa dan raga yang merdeka.”

“Jadilah Pemuda-pemudi aset berharga untuk Indonesia ini. Adek-adek, jadilah penggerak bangsa tidak untuk membebani bangsa. Maka, berikan aku 1 pemuda, akan aku goncangkan seluruh dunia. Jika tak tahan letihnya belajar, maka suatu saat akan merasakan perihnya kebodohan. Pemuda-pemudi yang cerdas adalah yang lebih baik dari hari sebelumnya. Selalulah berbenah diri!”

Gemuruh tepuk tangan membanjiri Aula Gedung di Universitas Negeri di Surabaya. Hari ini adalah hari penyambutan mahasiswa baru dari segala fakultas, berjumlah 3.546 mahasiswa. Aset bangsa yang berharga. Ketua Senat KM, menyampaikan pidatonya. Dengan jilbab merah putihnya yang berkibar, yang gagah almamaternya, Hayati semangat berproklamasi.

Bapak, kau adalah inspirasi dan sebaik-baik kisah. Terima kasih! Ati berbisik.




Friday, March 20, 2020

Juni Sebelum Mei





Mobil mercedes berwarna lux silver berhenti di tepi jalan. Di kiri jalan berdiri reyot toko kelontong, maka turunlah laki-laki paruh baya menuju toko. Sedang di sayap kanan, sebuah pemandangan elok khas pedesaan menyuguhi pelupuk. Tampaknya pemuda di kursi depan mobil tidak begitu tertarik. Semenit berlalu, sekilas melirik. Akhirnya, ia menurunkan kaca ruben mobil. 20 meter dari sana, nampak ibu-ibu sedang mencebur diri ke laut sembari membawa jaring panjang. Trik udik menangkap ikan. Mereka riuh tertawa. Mobil pun kembali melaju, laki-laki kota itu lagi-lagi melirik sekilas. Kali ini tak sengaja. Di tengah ibu-ibu itu, nampak seorang gadis energik melakukan hal serupa. Jun menarik pandangannya tak peduli. 

Adalah Jun, mahasiswa Teknik Kimia Universitas Swasta di Ibukota. Laki-laki dengan prestasi di bidang riset dan teknologi. seorang yang berperawakan sedap dipandang, rajin dan riang. Itu dulu, sebelum ia bertemu dengan dunia hitam. Dunia yang dapat menyulap malaikat menjadi setan, dari manusia menjadi binatang dan menyeburkan diri dari surga ke neraka. Prestasi terakhirnya ialah meneliti obat-obatan berbau heroin, tertarik dan haus rasa penasaran membawanya menjadi pecandu. Untuk membiayai ketergantungannya, ia sering jalan dengan tante-tante jablai. Pecandu sakau ini ketahuan oleh keluarga, langsung dibopong, diisolasi jauh dari metropolitan kota, sampailah ia ke desa kecil di kepulauan Sulawesi.

Hidung meler, mata merah, tubuh sempoyongan. Jun menyembunyikan wajah payahnya di balik topi jaket gelapnya. Ia berjalan menyusuri setapak berlubang dan berbatu. Sesekali ia menepuk debu yang menempel di jeans hitamnya. Di sakunya tertenteng 2 bungkus kretek yang baru dibelinya di toko kelontong. Suara bel sepeda ontel berhenti di belakang laki-laki yang sedang berjalan lunglai macam hidup segan mati tak mau. Jun berbalik. Di depannya, gadis cupu bersepeda hampir menabraknya. 

“Hei! Cowok kulit putih mata sipit! Naik kamu cepat! Anak-anak korban sinetron yang tak berguna itu sedang tawuran!” Jun mengacuhkannya. Barulah ia sigap naik, ketika sebuah kerikil melayang di jidatnya. Jun memaki. 

Di sepanjang perjalanan, gadis itu tak henti-hentinya berkicau, “Lihatlah mereka! Mau jadi apa dan bagaimana nasib bangsa ini ke depan kalau generasi muda mayoritas seperti itu? Padahal, kita semua adalah calon pemimpin yang kelak menggantikan pejabat pemerintah. Anak-anak SMP itu pandai berkelahi. Sok jago! Kalau saja skillnya dialihkan menjadi pejuang, jadi relawan di palestina, suriah, Somalia, rohingya dan kawan-kawan. Pasti kebermanfaatannya melimpah. Btw, namaku toh Maimanah. Panggil saja Mei!” Laki-laki dalam boncengan itu hanya limpung terdiam. Ia meminta Mei untuk berhenti. Déjà vu. Mei ialah gadis yang dilihatnya dua hari yang lalu di laut.
 
***

Beberapa penonton bersemangat mengitari ring berbahan jaring-jaring. Dua orang laki-laki saling berhadapan. Di depannya, si jantan-jantan berkokok sedang disabung. Mei menghentikan sepedanya. Ayam jantan berwarna hitam kecoklatan berhasil dengan mudah dirobohkan oleh ayam jantan pekat. Uang judi dikumpulkan. Penonton pun bubar jalan. Mei segera menemui satu-satunya remaja berseragam putih-biru yang sedang mengapit ayam jago pekatnya.

 “Andi, kenapa kamu tidak sekolah?” Mei menarik remaja lusuh itu. “Saya sering lewat sini baru saya lihat kamu. Bisa-bisanya ikut sabung ayam sama orang besar. Ayok!”

Mei mengayuh sepedanya. Jarak 7 rumah dari mereka. Terdengar lantunan tembang dangdut bugis yang disuguhkan para tamu undangan. Kabarnya, mempelai pria memberi uang panai yang bejibun. Prinsip orangtua Bugis-Makassar, anak gadis adalah aset berharga. Dibesarkan dengan baik, dipoles hingga elok. Biar pas, ada yang datang melamar, meski usia gadis sangat belia ya tetap dinikahkan. Sekalipun yang melamar adalah om-om, yang penting ada pulus semua mulus. Begitulah nasib gadis Bugis-Makassar yang membudaya. Tidak butuh pendidikan tinggi, kelak mereka berakhir di dapur. Cukup jadi pedagang, kumpulkan uang banyak, naik haji, bangun rumah dan beli mobil. Tapi, tidak semua seperti itu. Hanya sebagian besar. Kampung ini dulunya penuh adab, sebelum arus westernisasi mewabah. Bayangkan, anak-anak gadis sekarang tak malu keluar mengenakan baju can see, you can see my ketek! Pacaran gelap-gelapan sampai perut buncit berisi janin, berakhir di Sarapo, tenda biru, dengan senyum lebar, lupa akan malu. 

“Tidak usah pikirkan sekolah saya, kakak sendiri? Memang sekolah? Tidak toh? Tinggal tunggu om-om kasih naik uang panai!” Andi garang macam kucing bunting.

“Enak saja! Tidak semua seperti itu, gadis bugis juga punya mimpi. Mimpi bukan hanya dimiliki anak-anak. Impian itu modal pertama dan utama. Bagaimana mewujudkannya? Usaha dan doa. Kamu mau tahu? Impianku adalah membawa perubahan untuk kampung kita. Lihat saja!” Mei lagi-lagi berproklamasi.

***

Bebiruan laut beranjak surut. Dini hari, ada sosok gadis berpakaian gelap sibuk melotot ke arah pasir-pasir. Ia bersenandung mendapati hewan-hewan bercangkang, dimasukkannya ke dalam kresek, tidak hanya itu. Ia juga memunguti sampah plastik yang dikumpulkannya dalam karung putih. Adalah Mei, tinggal di daerah pesisir bersama neneknya. Ia tamatan STM. Jurusan Teknik Menggambar. Yang ada di kepalanya, bagaimana menyadarkan penduduk lokal untuk tidak membuang sampah anorganik di lautan? Ia sedih membayangkan nasib biota laut yang tercemari bahan kimia sampah, proses penguraian sampah juga memakan waktu ribuan tahun. Bahkan usia manusia tak cukup lama untuk menebus kesalahan membuang sampah sembarangan. Ia mengusap pelu. Lalu berjalan sampai ke ujung pantai. 

Matahari mulai tampak. Berdiri gagah karang-karang tertimpa semburan cahaya. Di atas karang, duduk lesu pemuda dengan kepulan asap di mulutnya. Ia sigap meloncat ketika melihat gadis pribumi kemarin mendekat. Dilihatnya Mei memunguti sampah. Jun pun illfeel, ternyata gadis sok macam proklamator itu pemulung. Ia langsung mengambil androidnya. Merekam. Skill Jun dulunya selain di bidang RISTEK, ia juga jago membuat video amatir buat lucu-lucuan di sosmed. 

“Kamu lagi? Kemarin banyak cerita, lupa saya tanya nama,” Mei polos bertanya. Menemukan tubuh Jun bersembunyi di balik karang.

“Jun,” jawab singkat pemuda oriental.

“Junaidi?” Mei menebak lugu. 

Jun melirik sinis, “JUNI! Lu itu pemulung, ya?” 

Mei menggeleng, “Oh, ini yang kamu maksud? Ini toh sampah milik penduduk. Saya cuma pungut. Beh, belum diterapkan larangan buang sampah sembarangan, apalagi di laut. Tidak hanya itu yang mengganggu ekosistem, cara berburu ikan juga kadang pakai bom, cantrang, dan racun. Saya bingung harus cerita ke siapa, ke penduduk juga cuman bilang tidak usah pikirkan itu, tidak usah urus begituan. Yang penting perut kenyang!” Jun terdiam. Gadis kampung ini ternyata visioner. Kalau ia kuliah mungkin ia menjadi mahasiswa teladan karena kepeduliannya. Sebenarnya, jun malas menanggapi, efek drugs membuat pikirannya terselubung. Tapi, dasarnya Jun mahasiswa aktivis, akhirnya komentar. 

“Laporkan saja pada petinggi desa atau orang yang berpengaruh di desa!”

***

Andi sambil mengapit ayam Bangkok di ketek kirinya, menatap nanar papan yang tertancap. Tertulis “Di larang membuang sampah di laut dan memakai alat tangkap ikan yang membahayakan ekosistem laut!”. Mei berdiri di samping ABG tukang sabung ayam itu, bersorak girang. Ternyata kepala desa menyetujui usulannya. Berhasil! Andi melirik sinis, padahal karena pengumuman ini, membuat murung semua penduduk termasuk dirinya. Ia mulai mendorong ketinting. Si Baco, jago hitamnya dinaikkan. Sedetik, sosok gesit melompat naik. “Kenapa kakak ganggu terus saya punya hidup? Jangan banyak Tanya! Saya bosan sekolah. Mending, cari uang. Nyabung ayam di kampung sebelah,” Kali ini mei tersenyum. Wajah anak Indonesia memang tergantung dari kekisah sejarah atau dongeng yang diceritakan oleh orangtua mereka. Apa yang sering ia lihat dan dengar, itulah yang menjadi wajah mereka. Di desa ini, anak-anak dikisahkan dongeng “Lakupa dan 7 bidadari” pencuri selendang mengintip bidadari mandi. Mindset anak, ya berarti itu baik, ketika mengintip, dapat bonus kawin bidadari, atau dongeng disegala penjuru nusantara, kancil dan kura-kura lomba lari, akhirnya kura-kura menang karena cerdik menipu kancil, Panji Laras, dongeng kesukaan Andi, anak kecil yang jago nyabung.

“Andi, kamu toh anak yang beruntung, karena masih bisa sekolah. Coba kamu lihat teman-temanmu. Boneng misalnya, bantu bapaknya ma’dare di kebun, si Zainuddin menjual ikan, si Ateng yang masangking padi, si Becce memarut dan peras kelapa dan yang lainnya, yang kalau saya sebut sampai besok tidak selesai-selesai. Tidak ada itu yang sekolah. Coba pikir-pikir, sampai kapan mau nyabung? Sampai besar? Itukah yang mau kamu kasih makan anak-istrimu nanti? Apalagi uang panai semakin mahal! Tidak halal itu nyabung! Tidak berkah! Allah itu maha baik dan akan menerima yang baik juga. Kamu tidak kasihan lihat itu ayam? Coba kamu jadi ayam, bagaimana perasaanmu? Dulu di Jawa, ada laki-laki meninggal tragis karena disayat ayamnya sendiri waktu menyabung. Manusia akan mati di atas perkara yang sering dilakukannya.” Perahu telah sampai di bibir dermaga. Andi masih bungkam.

***

Seulas senyum tipis menyulam di bibir Jun yang berasap. Menatap papan peringatan. Berhasil! Gadis cupu itu berhasil. Tapi sayang. Hanya beberapa waktu kemudian, kembali seperti semula. Warga ternyata tak pandai membaca papan pengumuman alias tak peduli karena telah mendarah daging. Inilah yang membuat Mei sedih. Di tengah ibu-ibu ia mulai melahap ikan caria hasil tangkapan mereka, “Ini buat kamu, terima kasih untuk sarannya. Tapi, beginilah desaku. Butuh waktu memang!” Mei yang melihat Jun, lalu memberinya ikan caria bakar yang dibumbuhi jeruk nipis, cabe, tomat dan garam penyedap.

“Berhentilah makan daging amis itu!” Jun menyeringai, memberinya bungkusan bermerek yang berisi roti isi daging. Mei dibuatnya menelan ludah. Sayang mei menolak. Meski daging itu halal. 

“Mau dengar cerita, kenapa saya tolak? Tapi jangan marah nah!” Jun dongkol, biasanya Mei tak pernah minta izin. Langsung ngerocos. Mei mulai menceritakan tentang krisis kemanusiaan di bumi palestina. Anak-anak menjadi yatim, wanita menjadi janda, lelaki menjadi duda. Karena ulah para zionis yang mencaplok tanah milik warga palestina. Nah, dari mana dana untuk membiayai militer pemerintah zionis? Ya, salah satunya dari produk mereka yang mereka pasok di tanah Indonesia ini. Jika memakan atau membeli, secara tidak langsung mendukung aksi yang bahkan hewan buas saja lebih menyanyangi mereka.”

 Jun tak banyak komentar, ia mengalihkan topik. Memberikan usulan tentang pemanfaatan sampah plastik yang bernilai ekonomis. Ia membuka web. Mei antusias belajar. Jika kalian pernah mendengar, di sebuah desa kecil kepulauan Sulawesi, para anak muda berkreasi membuat karangan bunga, pohon, tas plastik, taplak meja, dompet, tempat pensil, jas hujan, boneka dan kreasi lainnya. Maka, itu ialah desa kumuh yang ditinggali Mei.

***

Deru ombak kerap menghantam badan perahu. Perahu mengayun naik-turun. Adalah keberhasilan mereka, sejak berkreasi sampah. Mei, Andi dan Jun berperahu menjelajah lelautan. Baco, ayam Andi juga ikut. Sinar-sinar wajah kedua laki-laki itu berseri, sedang Mei tampak layu, “Mungkin ini toh, traveling pertama dan terakhir kita. Mungkin saja, dalam waktu dekat ini saya akan menikah.” Perahu mereka hampir terbalik saking syoknya.

“Apa yang datang melamar itu juragan kepiting? Om Amri? Saya kadang lihat dia menemui nenek. Kalau betul, mengerikan sekali! Perasaan Kakak itu lumayan cant… maksudnya, tidak terlalu jelek untuk menikahi Om-om botak dengan perut berlipat 3 yang mungkin kepiting jualannya lebih gagah. Kak Mei punya impian toh? Masa cuman sampai di sini?” Andi menyeringai. Sedang Jun menduga Mei terlilit hutang seperti cerita khas orang kampung.

Mei membuang muka, menatap gulungan ombak, “Kaya itu om. Saya bisa kecipratan kaya, sehingga bisa berbagi dengan banyak orang yang kurang beruntung.” Andi gesit meminjam android Jun. Untung masih ada sinyal meski lemah. Ketemu! Sambil membaca smartphone Jun. 

Andi berteriak, “Menikah itu untuk menyempurnakan separuh agama, untuk ibadah! Bersama juragan kepiting apa kakak yakin bisa? Setidaknya pikirkan kebaikan Kak Mei dulu! Tidak hanya pas kaya bisa berbagi, sekarang pun Kakak melakukannya dengan sangat baik!” 

“Sebenernya, gua mau nyampein satu hal. Gua akan balik ke Jakarta. Masa cuti satu semester udah abis. Untuk Mei pikirkan lagi baik-baik. Salah langkah lo bisa nyesel sepanjang hidup lo. Btw, kalian bisa hubungi gua di sosmed. Idnya JUNI. Gua tunggu add-tan kalian kalo kalian udah pada punya android.” Jun gugup komentar. Sedang, Andi juga pamit akan lanjut SMA di kota.

***

Sepasang sepatu hitam mengkilap berkali-kali dihentakkan ke lantai secara bergantian. Terkadang duduk dan berdiri, begitu seterusnya. Ini adalah hari mendebarkan. Sidang skripsi. Jun mengecek smartphonenya hendak membuka aplikasi mirror. Sebuah pesan nyangkut di androidnya. Senyumnya mengambang. Setelah bertahun-tahun, Mei mengiriminya pesan melalui salah satu akun di sosmednya. 

Bagaimana kabarmu Jun? Saya diterima kerja di proyek pembangunan masjid di desa. Program pemerintah. Saya dibagian multifungsi, pokoknya yang bisa saya kerja. Ya saya kerjakan. Mulai dari bagian administrasi, drafter, pengawas, estimator. Saya suka pekerjaannya.
 
Sayang, tidak lanjut untuk proyek selanjutnya meski ditawari ;’( Ternyata di dunia konstruksi itu. Membudaya aktivitas KKN, mulai dari pejabat dinas yang meminta 10% nilai fisik(anggaran) atau tergantung RAB. Nah, dari pihak kontraktor kongkalikong dengan pengawas, memanipulasi anggaran Negara seolah-olah pekerjaan telah cukup RAB (Padahal, realisasi lapangan, anggaran yang diberi lebih&harus dikembalikan ke pemerintah, dari sini mereka mengambil keuntungan). Ketika PHO/Serah Terima Pertama Pekerjaan dilakukan pengawas akan bersaksi sudah cek RAB kontraktor, hasilnya sesuai lapangan. Padahal tak sesuai! Dinas juga mengeceknya tidak detail. Seperti cukup mendukung aktivitas KKN. Awalnya, saya pikir bisa merubahnya. Tapi, diluar kemampuan saya. Saya pun resign, yakin, Allah akan menggantinya dengan yang lebih baik. 

Jun menggeser layar. Ada 6 foto, Foto Mei saat menggambar, mengawas, menghitung, saat PHO, mengurus dokumen dan terakhir saat mengurus pencairan dana. Jun lanjut membaca. 

Saya kembali mencari kerang laut, makan ikan segar hasil tangkapan ikan bersama ibu-ibu desa. Senangnya. Saya mulai membuka kembali usaha kreasi sampah plastik, saya pekerjakan teman-teman Andi&gadis-gadis yang tidak bersekolah. Kamu tahu Jun, akhirnya warga lebih sering mengumpulkan sampah plastiknya&menjualnya ke saya. Sekarang tidak kumuh lagi! Saya juga giat men-ckrek para nelayan nakal kemudian melaporkannya ke kepala desa. Akhirnya mereka malu karena diceramahi. Anak-anak korban sinetron yang ikut tawuran, sudah menengah atas. Saya tiap hari jumat dipanggil mengisi mentoring untuk mereka. Ternyata, saya berhenti di dunia konstruksi. Hikmahnya, bisa sedikit bermanfaat di desa. Ini fotonya hehe

Ada foto Mei saat berkreasi bersama remaja dan para gadis, foto before-after sekeliling desa, foto saat Mei melaut, foto nelayan nakal, foto Mei saat isi acara. Jun kembali menaruh androidnya di saku. Ia mantap berdiri, tampil untuk sidang. 

Di hari yang sama, Mei mengirim pesan pada Andi. Ia mengirim foto-foto Baco yang kini memiliki pasangan betina dengan banyak telur. Andi pun mereply, mengirimi Mei foto selfienya memegang rapor. Lihat anak kepala desa dengan prestasi meningkat! Rangking 24 dari 30 siswa, menjadi rangking 14 dari 30 siswa. Hehehe :p 
 
***

Hiruk pikuk pekarangan gedung metropolitan diisi oleh para tamu undangan, wanita berpakaian kebaya, dengan rias wajah elok, para pria memakai kemeja berdasi berbalut jas. Hari ini, hari wisuda Fakultas. Para tamu yang baru keluar atau datang menyiapkan hadiah untuk para wisudawan dan bersuka riah berfoto. Tubuh Jun tak habis-habisnya ditarik ke sana-sini untuk diajak salaman dan berfoto. Banyak yang memberikan hadiah bahkan cari kesempatan untuk cipika-cipiki. Jun hanya tertawa. Laki-laki oriental itu berbalik ketika ada yang menepuknya dengan sebatang bunga dari belakang. Gadis berkerudung peach dengan wajah seri memberinya bunga. Karangan bunga dari limbah plastik. Jun terperanjat. Tidak pernah ia sebahagia ini. 

“Selamat dan terima kasih untuk semuanya, Juni .…”

Juni menjadi salah satu mahasiswa terbaik dengan prestasi akan risetnya mengenai obat-obatan, yang dihasilkan oleh senyawa kimia dari biota laut. Diperuntukan bagi pecandu sakau yang direhabilitasi. Obat yang begitu efektif dan efisien, tanpa efek samping selama dosis tepat. Penelitiannya mendapat aspresiasi dari Universitas dan Pemerintah. Ditambah IPK Jun Cumlaude. Jun juga berprestasi dalam hal penggunaan teknologi. Ia begitu bijak. Karena partisipasinya, pemerintah tanggap memberi bantuan ke desa-desa kecil yang belum terjamah. Kicauannya di dunia maya banyak mendapatkan simpati follower dan netizen yang bejibun. Bahkan, Mei yang sekarang akan kuliah di Universitas Negeri di Yogyakarta berkat partisipasinya. Jun mengupload semua bakti sosial Mei pada negaranya, secuil pun tak terlewat, sehingga mendapat aspresiasi media pers dan pemerintah. Dapatlah Mei beasiswa berprestasi. Mimpi Mei menjadi nyata. 

Teruslah melakukan kebaikan, meskipun di mata kita tampak kecil. Kita tak pernah tahu, kebaikan mana yang akan menginspirasi orang-orang di sekitar untuk melakukan hal yang sama. Mei berhasil menunjukkan pada dunia, bahwa gadis Bugis-Makassar dari desa kecil dan kumuh juga mampu berbakti untuk tanah air.