Mobil
mercedes berwarna lux silver berhenti di tepi jalan. Di
kiri jalan berdiri reyot toko kelontong, maka turunlah laki-laki paruh baya
menuju toko. Sedang di sayap kanan, sebuah pemandangan elok khas pedesaan
menyuguhi pelupuk. Tampaknya pemuda di kursi depan mobil tidak begitu tertarik.
Semenit berlalu, sekilas melirik. Akhirnya, ia menurunkan kaca ruben mobil. 20
meter dari sana, nampak ibu-ibu sedang mencebur diri ke laut sembari membawa jaring panjang. Trik udik menangkap ikan. Mereka
riuh tertawa. Mobil pun kembali melaju, laki-laki kota itu lagi-lagi melirik
sekilas. Kali ini tak sengaja. Di tengah ibu-ibu itu, nampak seorang gadis energik
melakukan hal serupa. Jun menarik pandangannya tak peduli.
Adalah
Jun, mahasiswa Teknik Kimia Universitas Swasta di Ibukota. Laki-laki dengan prestasi
di bidang riset dan teknologi. seorang yang berperawakan sedap dipandang, rajin
dan riang. Itu dulu, sebelum ia bertemu dengan dunia hitam. Dunia yang dapat menyulap
malaikat menjadi setan, dari manusia menjadi binatang dan menyeburkan diri dari
surga ke neraka. Prestasi terakhirnya ialah meneliti obat-obatan berbau heroin,
tertarik dan haus rasa penasaran membawanya menjadi pecandu. Untuk membiayai
ketergantungannya, ia sering jalan dengan tante-tante jablai. Pecandu sakau ini ketahuan oleh keluarga, langsung dibopong,
diisolasi jauh dari metropolitan kota, sampailah ia ke desa kecil di kepulauan
Sulawesi.
Hidung meler, mata merah, tubuh sempoyongan.
Jun menyembunyikan wajah payahnya di balik topi jaket gelapnya. Ia berjalan
menyusuri setapak berlubang dan berbatu. Sesekali ia menepuk debu yang menempel
di jeans hitamnya. Di sakunya
tertenteng 2 bungkus kretek yang baru dibelinya di toko kelontong. Suara bel
sepeda ontel berhenti di belakang laki-laki yang sedang berjalan lunglai macam
hidup segan mati tak mau. Jun berbalik. Di depannya, gadis cupu bersepeda hampir menabraknya.
“Hei!
Cowok kulit putih mata sipit! Naik kamu cepat! Anak-anak korban sinetron yang
tak berguna itu sedang tawuran!” Jun mengacuhkannya. Barulah ia sigap naik,
ketika sebuah kerikil melayang di jidatnya. Jun memaki.
Di
sepanjang perjalanan, gadis itu tak henti-hentinya berkicau, “Lihatlah mereka!
Mau jadi apa dan bagaimana nasib bangsa ini ke depan kalau generasi muda
mayoritas seperti itu? Padahal, kita semua adalah calon pemimpin yang kelak menggantikan
pejabat pemerintah. Anak-anak SMP itu pandai berkelahi. Sok jago! Kalau saja skillnya
dialihkan menjadi pejuang, jadi relawan di palestina, suriah, Somalia, rohingya
dan kawan-kawan. Pasti kebermanfaatannya melimpah. Btw, namaku toh Maimanah.
Panggil saja Mei!” Laki-laki dalam boncengan itu hanya limpung terdiam. Ia
meminta Mei untuk berhenti. Déjà vu. Mei
ialah gadis yang dilihatnya dua hari yang lalu di laut.
***
Beberapa
penonton bersemangat mengitari ring berbahan jaring-jaring. Dua orang laki-laki
saling berhadapan. Di depannya, si jantan-jantan berkokok sedang disabung. Mei
menghentikan sepedanya. Ayam jantan berwarna hitam kecoklatan berhasil dengan
mudah dirobohkan oleh ayam jantan pekat. Uang judi dikumpulkan. Penonton pun
bubar jalan. Mei segera menemui satu-satunya remaja berseragam putih-biru yang
sedang mengapit ayam jago pekatnya.
“Andi, kenapa kamu tidak sekolah?” Mei menarik
remaja lusuh itu. “Saya sering lewat sini baru saya lihat kamu. Bisa-bisanya
ikut sabung ayam sama orang besar. Ayok!”
Mei
mengayuh sepedanya. Jarak 7 rumah dari mereka. Terdengar lantunan tembang
dangdut bugis yang disuguhkan para tamu undangan. Kabarnya, mempelai pria memberi
uang panai yang bejibun. Prinsip
orangtua Bugis-Makassar, anak gadis adalah aset berharga. Dibesarkan dengan
baik, dipoles hingga elok. Biar pas, ada
yang datang melamar, meski usia gadis sangat belia ya tetap dinikahkan. Sekalipun
yang melamar adalah om-om, yang penting ada pulus semua mulus. Begitulah nasib
gadis Bugis-Makassar yang membudaya. Tidak butuh pendidikan tinggi, kelak
mereka berakhir di dapur. Cukup jadi pedagang, kumpulkan uang banyak, naik
haji, bangun rumah dan beli mobil. Tapi, tidak semua seperti itu. Hanya
sebagian besar. Kampung ini dulunya penuh adab, sebelum arus westernisasi
mewabah. Bayangkan, anak-anak gadis sekarang tak malu keluar mengenakan baju can see, you can see my ketek! Pacaran
gelap-gelapan sampai perut buncit berisi janin, berakhir di Sarapo, tenda biru, dengan senyum lebar,
lupa akan malu.
“Tidak
usah pikirkan sekolah saya, kakak sendiri? Memang sekolah? Tidak toh? Tinggal tunggu om-om kasih naik
uang panai!” Andi garang macam kucing bunting.
“Enak
saja! Tidak semua seperti itu, gadis bugis juga punya mimpi. Mimpi bukan hanya
dimiliki anak-anak. Impian itu modal pertama dan utama. Bagaimana
mewujudkannya? Usaha dan doa. Kamu mau tahu? Impianku adalah membawa perubahan
untuk kampung kita. Lihat saja!” Mei lagi-lagi berproklamasi.
***
Bebiruan
laut beranjak surut. Dini hari, ada sosok gadis berpakaian gelap sibuk melotot
ke arah pasir-pasir. Ia bersenandung mendapati hewan-hewan bercangkang,
dimasukkannya ke dalam kresek, tidak hanya itu. Ia juga memunguti sampah
plastik yang dikumpulkannya dalam karung putih. Adalah Mei, tinggal di daerah
pesisir bersama neneknya. Ia tamatan STM. Jurusan Teknik Menggambar. Yang ada di
kepalanya, bagaimana menyadarkan penduduk lokal untuk tidak membuang sampah anorganik
di lautan? Ia sedih membayangkan nasib biota laut yang tercemari bahan kimia
sampah, proses penguraian sampah juga memakan waktu ribuan tahun. Bahkan usia
manusia tak cukup lama untuk menebus kesalahan membuang sampah sembarangan. Ia
mengusap pelu. Lalu berjalan sampai ke ujung pantai.
Matahari
mulai tampak. Berdiri gagah karang-karang tertimpa semburan cahaya. Di atas
karang, duduk lesu pemuda dengan kepulan asap di mulutnya. Ia sigap meloncat
ketika melihat gadis pribumi kemarin mendekat. Dilihatnya Mei memunguti sampah.
Jun pun illfeel, ternyata gadis sok macam proklamator itu pemulung. Ia
langsung mengambil androidnya.
Merekam. Skill Jun dulunya selain di bidang
RISTEK, ia juga jago membuat video amatir buat lucu-lucuan di sosmed.
“Kamu
lagi? Kemarin banyak cerita, lupa saya tanya nama,” Mei polos bertanya.
Menemukan tubuh Jun bersembunyi di balik karang.
“Jun,”
jawab singkat pemuda oriental.
“Junaidi?”
Mei menebak lugu.
Jun
melirik sinis, “JUNI! Lu itu pemulung,
ya?”
Mei
menggeleng, “Oh, ini yang kamu maksud? Ini toh
sampah milik penduduk. Saya cuma pungut. Beh, belum diterapkan larangan buang sampah sembarangan, apalagi di
laut. Tidak hanya itu yang mengganggu ekosistem, cara berburu ikan juga kadang
pakai bom, cantrang, dan racun. Saya
bingung harus cerita ke siapa, ke penduduk juga cuman bilang tidak usah pikirkan
itu, tidak usah urus begituan. Yang penting perut kenyang!” Jun terdiam. Gadis
kampung ini ternyata visioner. Kalau ia kuliah mungkin ia menjadi mahasiswa
teladan karena kepeduliannya. Sebenarnya, jun malas menanggapi, efek drugs membuat pikirannya terselubung.
Tapi, dasarnya Jun mahasiswa aktivis, akhirnya komentar.
“Laporkan
saja pada petinggi desa atau orang yang berpengaruh di desa!”
***
Andi
sambil mengapit ayam Bangkok di ketek kirinya, menatap nanar papan yang
tertancap. Tertulis “Di larang membuang sampah di laut dan memakai alat tangkap
ikan yang membahayakan ekosistem laut!”. Mei berdiri di samping ABG tukang
sabung ayam itu, bersorak girang. Ternyata kepala desa menyetujui usulannya. Berhasil! Andi melirik sinis, padahal
karena pengumuman ini, membuat murung semua penduduk termasuk dirinya. Ia mulai
mendorong ketinting. Si Baco, jago
hitamnya dinaikkan. Sedetik, sosok gesit melompat naik. “Kenapa kakak ganggu terus saya punya hidup? Jangan
banyak Tanya! Saya bosan sekolah. Mending, cari uang. Nyabung ayam di kampung sebelah,” Kali ini mei tersenyum. Wajah
anak Indonesia memang tergantung dari kekisah sejarah atau dongeng yang
diceritakan oleh orangtua mereka. Apa yang sering ia lihat dan dengar, itulah
yang menjadi wajah mereka. Di desa ini, anak-anak dikisahkan dongeng “Lakupa
dan 7 bidadari” pencuri selendang mengintip bidadari mandi. Mindset anak, ya berarti itu baik, ketika mengintip, dapat bonus kawin bidadari,
atau dongeng disegala penjuru nusantara, kancil dan kura-kura lomba lari,
akhirnya kura-kura menang karena cerdik menipu kancil, Panji Laras, dongeng
kesukaan Andi, anak kecil yang jago nyabung.
“Andi,
kamu toh anak yang beruntung, karena
masih bisa sekolah. Coba kamu lihat teman-temanmu. Boneng misalnya, bantu
bapaknya ma’dare di kebun, si
Zainuddin menjual ikan, si Ateng yang masangking
padi, si Becce memarut dan peras kelapa dan yang lainnya, yang kalau saya sebut
sampai besok tidak selesai-selesai. Tidak ada itu yang sekolah. Coba
pikir-pikir, sampai kapan mau nyabung?
Sampai besar? Itukah yang mau kamu kasih makan anak-istrimu nanti? Apalagi uang
panai semakin mahal! Tidak halal itu nyabung!
Tidak berkah! Allah itu maha baik dan
akan menerima yang baik juga. Kamu tidak kasihan lihat itu ayam? Coba kamu jadi
ayam, bagaimana perasaanmu? Dulu di Jawa, ada laki-laki meninggal tragis karena
disayat ayamnya sendiri waktu menyabung. Manusia akan mati di atas perkara yang
sering dilakukannya.” Perahu telah sampai di bibir dermaga. Andi masih bungkam.
***
Seulas
senyum tipis menyulam di bibir Jun yang berasap. Menatap papan peringatan. Berhasil! Gadis cupu itu berhasil. Tapi sayang. Hanya beberapa waktu kemudian,
kembali seperti semula. Warga ternyata tak pandai membaca papan pengumuman
alias tak peduli karena telah mendarah daging. Inilah yang membuat Mei sedih.
Di tengah ibu-ibu ia mulai melahap ikan caria hasil tangkapan mereka, “Ini buat
kamu, terima kasih untuk sarannya. Tapi, beginilah desaku. Butuh waktu memang!”
Mei yang melihat Jun, lalu memberinya ikan caria bakar yang dibumbuhi jeruk
nipis, cabe, tomat dan garam penyedap.
“Berhentilah
makan daging amis itu!” Jun menyeringai, memberinya bungkusan bermerek yang berisi
roti isi daging. Mei dibuatnya menelan ludah. Sayang mei menolak. Meski daging
itu halal.
“Mau
dengar cerita, kenapa saya tolak? Tapi jangan marah nah!” Jun dongkol, biasanya Mei tak pernah minta izin. Langsung ngerocos. Mei mulai menceritakan tentang
krisis kemanusiaan di bumi palestina. Anak-anak menjadi yatim, wanita menjadi
janda, lelaki menjadi duda. Karena ulah para zionis yang mencaplok tanah milik warga palestina. Nah, dari mana dana untuk membiayai militer
pemerintah zionis? Ya, salah satunya dari produk mereka
yang mereka pasok di tanah Indonesia ini. Jika memakan atau membeli, secara
tidak langsung mendukung aksi yang bahkan hewan buas saja lebih menyanyangi
mereka.”
Jun tak banyak komentar, ia mengalihkan topik.
Memberikan usulan tentang pemanfaatan sampah plastik yang bernilai ekonomis. Ia
membuka web. Mei antusias belajar. Jika
kalian pernah mendengar, di sebuah desa kecil kepulauan Sulawesi, para anak
muda berkreasi membuat karangan bunga, pohon, tas plastik, taplak meja, dompet,
tempat pensil, jas hujan, boneka dan kreasi lainnya. Maka, itu ialah desa kumuh
yang ditinggali Mei.
***
Deru
ombak kerap menghantam badan perahu. Perahu mengayun naik-turun. Adalah
keberhasilan mereka, sejak berkreasi sampah. Mei, Andi dan Jun berperahu menjelajah
lelautan. Baco, ayam Andi juga ikut. Sinar-sinar wajah kedua laki-laki itu berseri,
sedang Mei tampak layu, “Mungkin ini toh,
traveling pertama dan terakhir kita.
Mungkin saja, dalam waktu dekat ini saya akan menikah.” Perahu mereka hampir
terbalik saking syoknya.
“Apa
yang datang melamar itu juragan kepiting? Om Amri? Saya kadang lihat dia
menemui nenek. Kalau betul, mengerikan sekali! Perasaan Kakak itu lumayan cant…
maksudnya, tidak terlalu jelek untuk menikahi Om-om botak dengan perut berlipat
3 yang mungkin kepiting jualannya lebih gagah. Kak Mei punya impian toh? Masa cuman sampai di sini?” Andi
menyeringai. Sedang Jun menduga Mei terlilit hutang seperti cerita khas orang
kampung.
Mei
membuang muka, menatap gulungan ombak, “Kaya itu om. Saya bisa kecipratan kaya, sehingga bisa berbagi
dengan banyak orang yang kurang beruntung.” Andi gesit meminjam android Jun. Untung masih ada sinyal
meski lemah. Ketemu! Sambil membaca smartphone Jun.
Andi
berteriak, “Menikah itu untuk menyempurnakan separuh agama, untuk ibadah!
Bersama juragan kepiting apa kakak yakin bisa? Setidaknya pikirkan kebaikan Kak
Mei dulu! Tidak hanya pas kaya bisa
berbagi, sekarang pun Kakak melakukannya dengan sangat baik!”
“Sebenernya,
gua mau nyampein satu hal. Gua
akan balik ke Jakarta. Masa cuti satu
semester udah abis. Untuk Mei
pikirkan lagi baik-baik. Salah langkah lo
bisa nyesel sepanjang hidup lo. Btw, kalian bisa hubungi gua di sosmed. Idnya JUNI. Gua tunggu add-tan kalian kalo kalian udah pada punya
android.” Jun gugup komentar. Sedang,
Andi juga pamit akan lanjut SMA di kota.
***
Sepasang
sepatu hitam mengkilap berkali-kali dihentakkan ke lantai secara bergantian.
Terkadang duduk dan berdiri, begitu seterusnya. Ini adalah hari mendebarkan.
Sidang skripsi. Jun mengecek smartphonenya
hendak membuka aplikasi mirror. Sebuah
pesan nyangkut di androidnya. Senyumnya mengambang.
Setelah bertahun-tahun, Mei mengiriminya pesan melalui salah satu akun di
sosmednya.
Bagaimana kabarmu Jun? Saya
diterima kerja di proyek pembangunan masjid di desa. Program pemerintah. Saya
dibagian multifungsi, pokoknya yang bisa saya kerja. Ya saya kerjakan. Mulai
dari bagian administrasi, drafter, pengawas, estimator. Saya suka pekerjaannya.
Sayang, tidak lanjut untuk
proyek selanjutnya meski ditawari ;’( Ternyata di dunia konstruksi itu.
Membudaya aktivitas KKN, mulai dari pejabat dinas yang meminta 10% nilai
fisik(anggaran) atau tergantung RAB. Nah, dari pihak kontraktor kongkalikong
dengan pengawas, memanipulasi anggaran Negara seolah-olah pekerjaan telah cukup
RAB (Padahal, realisasi lapangan, anggaran yang diberi lebih&harus
dikembalikan ke pemerintah, dari sini mereka mengambil keuntungan). Ketika
PHO/Serah Terima Pertama Pekerjaan dilakukan pengawas akan bersaksi sudah cek RAB
kontraktor, hasilnya sesuai lapangan. Padahal tak sesuai! Dinas juga
mengeceknya tidak detail. Seperti cukup mendukung aktivitas KKN. Awalnya, saya
pikir bisa merubahnya. Tapi, diluar kemampuan saya. Saya pun resign, yakin,
Allah akan menggantinya dengan yang lebih baik.
Jun menggeser layar. Ada 6 foto, Foto Mei saat menggambar, mengawas,
menghitung, saat PHO, mengurus dokumen dan terakhir saat mengurus pencairan
dana. Jun lanjut membaca.
Saya kembali
mencari kerang laut, makan ikan segar hasil tangkapan ikan bersama ibu-ibu
desa. Senangnya. Saya mulai membuka kembali usaha kreasi sampah plastik, saya
pekerjakan teman-teman Andi&gadis-gadis yang tidak bersekolah. Kamu tahu
Jun, akhirnya warga lebih sering mengumpulkan sampah plastiknya&menjualnya
ke saya. Sekarang tidak kumuh lagi! Saya juga giat men-ckrek para nelayan nakal
kemudian melaporkannya ke kepala desa. Akhirnya mereka malu karena diceramahi.
Anak-anak korban sinetron yang ikut tawuran, sudah menengah atas. Saya tiap
hari jumat dipanggil mengisi mentoring untuk mereka. Ternyata, saya berhenti di
dunia konstruksi. Hikmahnya, bisa sedikit bermanfaat di desa. Ini fotonya hehe
Ada
foto Mei saat berkreasi bersama remaja dan para gadis, foto before-after sekeliling desa, foto saat
Mei melaut, foto nelayan nakal, foto Mei saat isi acara. Jun kembali menaruh androidnya di saku. Ia mantap berdiri,
tampil untuk sidang.
Di
hari yang sama, Mei mengirim pesan pada Andi. Ia mengirim foto-foto Baco yang
kini memiliki pasangan betina dengan banyak telur. Andi pun mereply, mengirimi Mei foto selfienya memegang rapor. Lihat anak kepala desa dengan prestasi
meningkat! Rangking 24 dari 30 siswa, menjadi rangking 14 dari 30 siswa. Hehehe
:p
***
Hiruk
pikuk pekarangan gedung metropolitan diisi oleh para tamu undangan, wanita berpakaian
kebaya, dengan rias wajah elok, para pria memakai kemeja berdasi berbalut jas. Hari
ini, hari wisuda Fakultas. Para tamu yang baru keluar atau datang menyiapkan hadiah
untuk para wisudawan dan bersuka riah berfoto. Tubuh Jun tak habis-habisnya
ditarik ke sana-sini untuk diajak salaman dan berfoto. Banyak yang memberikan
hadiah bahkan cari kesempatan untuk cipika-cipiki.
Jun hanya tertawa. Laki-laki oriental itu berbalik ketika ada yang
menepuknya dengan sebatang bunga dari belakang. Gadis berkerudung peach dengan wajah seri memberinya bunga.
Karangan bunga dari limbah plastik. Jun terperanjat. Tidak pernah ia sebahagia
ini.
“Selamat
dan terima kasih untuk semuanya, Juni .…”
Juni
menjadi salah satu mahasiswa terbaik dengan prestasi akan risetnya mengenai
obat-obatan, yang dihasilkan oleh senyawa kimia dari biota laut. Diperuntukan
bagi pecandu sakau yang direhabilitasi. Obat yang begitu efektif dan efisien,
tanpa efek samping selama dosis tepat. Penelitiannya mendapat aspresiasi dari
Universitas dan Pemerintah. Ditambah IPK Jun Cumlaude. Jun juga berprestasi dalam hal penggunaan teknologi. Ia
begitu bijak. Karena partisipasinya, pemerintah tanggap memberi bantuan ke
desa-desa kecil yang belum terjamah. Kicauannya di dunia maya banyak
mendapatkan simpati follower dan netizen yang bejibun. Bahkan, Mei yang sekarang akan kuliah di Universitas
Negeri di Yogyakarta berkat partisipasinya. Jun mengupload semua bakti sosial Mei pada negaranya, secuil pun tak
terlewat, sehingga mendapat aspresiasi media pers dan pemerintah. Dapatlah Mei
beasiswa berprestasi. Mimpi Mei menjadi nyata.
Teruslah
melakukan kebaikan, meskipun di mata kita tampak kecil. Kita tak pernah tahu,
kebaikan mana yang akan menginspirasi orang-orang di sekitar untuk melakukan
hal yang sama. Mei berhasil menunjukkan pada dunia, bahwa gadis Bugis-Makassar
dari desa kecil dan kumuh juga mampu berbakti untuk tanah air.
No comments:
Post a Comment