Sunday, March 22, 2020

Anak Kecil Yang Mirip Bapak



Ati selalu mengeluhkan nilai mata pelajaran matematikanya yang selalu dibubuhi tinta merah. Tampaknya Pak Sun-nama lengkap Sunarto, sudah ciut harapan mengajarinya. Pelajaran ini sungguh payah dibuatnya. Tapi, jangan tanya pelajaran lain. Juga sama payahnya! Akhirnya ia mengobarkan aksi politik terselubung, bahasa sederhananya konspirasi nyontek. Alhasil, tinta maha agung, tinta hitam diberikan dengan khidmat. 

Ketipak ketipuk pantofel hitam mulai membangunkan kucing yang berserakan di teras rumah. Delapan kucing sedang menggeliat malas bergantian, bayangkan binatang kumisan itu bisa molor dari pagi sampai magrib. Daun pintu menganga terbuka. Ati nyelonong masuk. Tetiba langsung disemprot sama Mamaknya karena masuk kayak ular, tidak salam, ditambah dia menyontek di kelas. Memang Pak Sun adalah intel yang luar biasa selalu melapor gerak-gerik Ati. 

“Ma, buah itu toh tak jauh jatuh dari pohonnya. Kalau Bapak pintar, berarti Mama yang…” belum selesai spekulasi. Ati sudah kabur ke kamar ketika melihat alis Mamanya kayak Mamak Sinchan. Dalam hening, ia mendengar sayup suara dari luar kamar. Tampak, Mama lagi memulai debat kusir dengan Bapak.

Gulita layar mewarnai ruang kamar. Hening menyambangi jarum jam yang tetiba berhenti. Lantas, sedetik melaju tegang berporos kiri. Menantang arah semula. 

***

Semilir angin mendayu-dayu, pepohonan meliuk berpisah dengan daun kering, gemericik air yang terhalang bebatuan memaksa melaju. Kicauan burung berdendang merdu. Remaja ABG terbangun dari tidur singkatnya. Ia limpung kebingungan. Ini film? Mana kameranya? Ati mulai mengelilingi belukar hutan. Di depan sungai, berdiri seekor anak sapi dengan tanduk gagah. Ati jail mulai mengendap hendak mengagetkan sapi itu, seperti yang biasa ia lakukan pada kucing-kucing malasnya. 

Sapi itu kaget, kakinya sampai terperosok ke dangkal sungai. Anak sapi sontak berbalik, matanya biru kemerahan, fokus pada tubuh ringkih di depan. Kakinya menggosok kuat tanah siap menerjang. Alarm emergency tetiba on di otak kecil gadis itu. Ia terkentut-kentut memanjat pohon terdekat. Sapi itu mengejar hendak menyeruduk. Sapi apa segalak banteng ini? Tingginya 1 m1, dengan tanduk panjang. Anak sapi itu setia menunggunya. Sesal sudah, ia sering pura-pura mules saat pelajaran biologi bab animalia. Alhasil, tak tahu nama hewan ini dan solusi tokcer untuk menghadapinya!

Orange langit mulai tampak. Kira-kira tak jauh dari TKP. Suara langkah gesit membelah rumput sayup-sayup terdengar, “Itu jejaknya! Tangkap!” remaja tambun itu berseru. Kalau tidak salah jumlah mereka sebanyak 3 orang. Remaja pelacak lebih dahulu sampai, disusul laki-laki dewasa dengan bilah bambu runcing dan parang. Mereka memojokkan anak sapi ngamuk

“KEPUNGGG!” Salah seorang mengalihkan pandangan, selebihnya merobohkan dengan sigap. Dua pemuda kekar menggotong sapi. Mulut gadis SMP yang bertengger menganga bisu. Remaja gesit tak sengaja melirik jejak kaki selain bekas pijak mereka, berakhir di pojok pohon. Ia memandang ke atas. 

Zul mendapati remaja berwajah seri di atas pohon. Ia berisyarat meminta Ati turun. Ati menatap penuh selidik. Lihatlah orang-orang yang tampak kolot ini! Kulit mereka sawo terpanggang terik, baju mereka lusuh dan gede, alas kaki seadanya-padahal Ati juga hanya beralaskan kos kaki kendor dengan seragam.

“Itu namanya anoa. Mau dimakan. Tanduknya dijual atau dikoleksi” Zul greget menjelaskan.

Hamma? Anoa ini? Hewan langka ini heh!” Ati gesit mengecek sakunya. Ia ternyata lupa bawa androidnya. Bagaimana mau saya kasih lihat teman gankku, guru sama orang rumah kalau saya pernah selfie sama anoa? Ati dongkol.

Rumah-rumah panggung bermaterial papan yang sebagiannya digrogoti rayap berdiri tegak menghadap timur, tiap rumah memiliki pekarangan luas. Di lantai atas terdiri dari ruang tamu, di kolong rumah berselimutkan tanah, banyak yang menaruh ternak atau tempat jamban instan dari papan-papan yang di bawahnya lubang tanah, tempat itu dibatasi karung panjang sebagai sekat. Warga biasanya beraktivitas di kali kalau ingin buang hajat, mandi, nyuci, dan menangkap ikan. 

Ati bertolak pinggang. Di mana ini? Pakaian mereka nuansa jadoel, tidak ada tv, satu-satunya kendaraan mewah yakni sepeda ontel, itu pun bisa dihitung jari, radio transistor menjadi mesin tercanggih, jangankan android, internet, listrik saja ampun tidak ada! Seperti menonton di layar hitam-putih. Hari mulai gelap. Ia hening menjerit. Jam segini, biasanya dia sudah menguasai TV, memantengin sinetron dambaan, yang ada Aliandonya main filem.

Gadis millennial itu tinggal di rumah kepala desa. Daeng Andi Sultan. Beliau begitu baik hati dan paham agama. Zul, anak kepala desa ba’da subuh selepas sholat, mengaji, sarapan langsung tancap pedal, ia mengayuh sepeda ontel gede milik bapaknya menuju ke sekolah yang jaraknya 3 kilo. Jalan yang luar biasa menanjak dan berbatu, bahkan dari sayap kiri bisa langsung melihat jurang, sedang di sisi kanan kokoh tertancap tebing-tebing. Ati memegangi erat kaos oblong Zul. Zul gagah mengayuh. Sesekali mengusap pelu yang kebanjiran. Ati sampai minder dibuatnya, mengingat ia, minta ampun susah dibangunkan untuk subuhan dan siap ke sekolah, padahal biasanya ia tinggal duduk manis di angkot. Itu pun masih luar biasa mager. Efek begadang! Lihatlah perjuangan bocah ini! Jalanan berbatu dan curam, tetap semangat 45! 

Di Sekolah Rakyat ada 15 siswa untuk kelas 5, mayoritas laki-laki. Mereka semua semangat bersekolah, karena belajar adalah sebuah perjuangan. Perjuangan menguji adrenalin.

Malulah Ati lagi-lagi, ketika anak-anak kelas 5 sama kemampuannya dengan ia, yang sebenarnya sudah kelas 3 SMP. Bahkan ada yang lebih pandai, seperti Zul. Betapa perihnya kebodohan itu! Ati tetiba teringat bapaknya di rumah, ketika nama lengkap Zul dipanggil Pak Guru. Zulkifli. 

Sesekali mereka menantang bebatuan. Zul berpaling arah. Terpisahkan oleh bukit, berdiri sebuah desa yang dikepalai oleh Daeng Amri. Khas beliau berkumis lebat, memiliki 2 istri yang berkilau. Beranak 10 kepala totalnya. Masing-masing istri memiliki 5 anak. Si bungsu dari istri kedua berumur 6 tahun. Ia rajin, imut, matanya bening agak sipit bernama Jumranah. Ia adalah teman main Zul. Orangtua mereka sohib, sehingga Zul dan Jumranah telah dijodohkan sejak kecil. Zul dengan takzim nan sopan membawakan bagea. Kue sagu. Titipan dari mamaknya. Ati menatap Jumranah, saat itu, anak kepala desa itu tidak sendirian, ia bersama temannya. Hasni, anak pelaut. Si tubuh mungil, kulit kuning, mata bulat bening, dan rambut keriting. Ati tiba-tiba memegangi pipi Hasni, sontak anak pelaut itu menggigit jari Ati lantas mengajak lari Jumranah. Ati memaki. Sumpah… anak itu mirip saya! 

***

Di bawah temaram lampu sulo-lampu yang diberi sumbu kain dengan wadah balsem, yang diisi minyak tanah. Zul membolak-balikkan lembar bukunya. Ia belajar dan mengerjakan PR yang akan dikumpulkan 2 minggu kemudian. Sedang, Ati baru saja dari jamban, ditemani mamaknya Zul. Ia nimbrung membolak-balikkan buku. Gadis keriting itu diam. Fokus pada tulisan Zul di pojok kanan tertera: 10/08/1965.
 
Ia menarik napas. Syok! Ternyata ia berada di masa demokrasi terpimpin. Mungkin bapaknya masih bocah. Tetiba dia rindu sangat pada beliau. Tidak ada lagi deretan sejarah yang dikisahkan bapaknya. Ati selalu bohong! Seolah-olah ia mengerti akan kisah-kisah beliau. Mending masuk telinga kanan keluar telinga kiri, berarti masih sempat masuk. Tapi ini beda! Malah terpantul! Setidaknya, ia selalu berpura-pura menyimak untuk menghormati beliau. Ia lebih suka dan paham dengan segala macam sinetron seperti mamak.

Zul biasanya mengaji di Masigi’-Masjid yang diajar olah bapaknya sendiri. Ia juga menjadi asisten bapaknya. Makhrajal hurufnya mantap bagi orang-orang asli bugis-makassar. Daeng Sultan, mirip bapaknya Ati, kalau beliau gendut dan botak. Untuk bulan ini. Daeng Sultan lebih sering digantikan oleh Kak Sun didampingi Zul. Beliau sering ada syuro dengan para ulama dan tokoh masyarakat, menyikapi berita di radio transistor yang sedang beredar. Ati yang tak begitu peduli, tidak mengerti timing. Mengajak Zul masuk ke hutan. Tempat ia kali pertama datang dan bertemu anoa. Tapi si bocah berkulit ranum itu menolak. Mengingat amanah bapaknya. Ati pun peccu. ABG itu berlari. Ia kebingungan. 

Dua setengah bulan sejak kedatangannya, ia begitu rindu rumah. Dalam kesendirian, Ati merenung. Kenapa ini bisa terjadi? Ini bukan mimpi! Ini nyata! Melihat semangat belajar dan perjuangan hidup di desa ini. Ia jadi ingin pulang dan melakukan hal yang sama. Bagaimana cara untuk kembali? Ia bahkan sangat rindu pada bapak, mamak dan ke-empat kakaknya. Ati mulai melukiskan wajah mereka. Bapak bertubuh gempal, kulit ranum, perut buncit, mata bulat, cukup botak, meski bapak sudah berumur, tapi beliau tampak perkasa. Ati pernah melihat album efek monokrom milik beliau. Bapaknya sangat berbeda, waktu beliau masih sekolah, tampak ringkih bertenaga, mata bulat, kulit ranum, rambut banyak. Cakep. Tampak mirip… bukan bahkan sangat mirip dengan Zul? Zulkifli? Sedang, mamak Ati bernama Hasni, bocah nakal yang mirip ia, teman Jumranah. Nama yang sama! Jangan-jangan! Ia tetiba teringat Daeng Andi Sultan. Ati jadi ingin memeluknya. Belum pernah ia melihat kakeknya. Mamanya Zul? Nenek Ati? Terus si jawa Kak Sun? Pak Sunarto?
 
Ati menghapus beningnya. Baru saja ia akan berlari ke desa. Suara gemuruh langkah membelah kasar belukar hutan. Ati langsung bersembunyi di atas pohon. Menyelamatkkan diri. Instingnya berbisik, mereka membawa aroma misterius.

Penghuni hutan berlarian kabur, menyisakan bau amis yang menerbangkan gagak untuk mendekat, “Masih ada 4 desa yang mau ditaklukan. Lumayan berdekatan semua itu desa. Sudah ada orang dalam semua di sana. Ada 3 kelompok kita yang akan turun!” Seorang bertubuh perkasa memulai percakapan. Massa mengangguk menggebu. Apa maksudnya? Siapa sekumpulan massa yang jumlahnya sekitar lebih dari 50 orang dengan senjata? Terlebih lagi, masih ada 3 kelompok. Takut. Ati menggigil layu bersembunyi. Jiwa pengecut tetiba bersemayam. Cukup lama. Tercampur aduk dengan rasa bersalah. Bapak? Mamak? Kakek? Nenek? Ati tahu betul mereka dalam bahaya. Ia mulai bersikeras mengubur takutnya dan memutar otak. Siapa mereka? Mulai menelisik sisa-sisa ingatan saat belajar bersama Bapaknya dan Pak Sunarto. Tetiba teringat tulisan Zul di bukunya tertera: 10/08/1965. Sekarang tahun 1965. Seingatnya ini tahun penting dalam sejarah Indonesia. Sekarang bulan September tahun 1965. Oh iya? Ia tahu! Ini adalah masa di mana terjadi pemberontakan PKI. Ia pun turun dari pohon, semoga ingatan yang sangat sedikit bisa berguna dan menyelamatkan keluarganya dan warga desa. 

Lautan api telah berkobar menelan Masigi’. Beberapa tubuh-tubuh besar tumbang di jejalanan. Banyak rumah yang ambruk. Ternak berlarian. Anak-anak menjerit, sebagian bersembunyi. Bapak mereka dikepung. Sedang ulama, tokoh masyarakat dan orang kaya ditangkap, diserang dengan membabibuta. Untuk revolusi selalu ada pengorbanan. Siapa yang menghalang, saat itu juga denyut jantung dikoyak. Mereka membawa persenjataan yang diimpor dari tanah Jawa. Pemasok utamanya dari kota Surabaya dan Jakarta. PKI menenggelamkan kapal-kapal yang dikirim pemerintah untuk membawa bantuan beras. Salah satu intel dari desa yang dipimpin Daeng Andi adalah seorang guru Sekolah Rakyat. Berasal dari Selatan. Sebelum bekerja di Perpustakaan Negara Ujung Pandang. Dari situ ia mulai mengenal buku-buku kiri dan mengidolakan buku revolusi karya Lenin dan Marxisme. Bertemu PKI yang menawarkan program kapitalis yang lebih baik. Maka dimulailah kudeta. Pecah sudah. Puncaknya di bulan September 1965 ketika 2 partai, Masyumi dan PNI tidak melegalkan karena tak sesuai ideologi pancasila, para petinggi perwira TNI-AD juga berlaku serupa. PKI se-indonesia mulai bergejolak.

Tubuh Ati diseret kasar di buang ke dalam gudang, ia didapati mengintip dibalik pohon. Ada puluhan anak kecil sampai remaja. Mereka shock ketakutan. Mata bulatnya menelisik mencari sosok Zul dan Hasni. Sebelum ia menemukannya. 3 orang laki-laki bersenjata masuk ke dalam gudang. Bertanya usia dan siapa anak dari kepala desa, anak ulama dan anak tokoh masyarakat? Jika bohong, ancamannya langsung ditembak. Lagi-lagi mereka membentak, tidak ada yang mengaku. Salah seorang dari mereka mengambil anak berusia 6 tahun. Ia akan menembak anak di depan mereka jika tidak mengaku. Anak itu ialah Hasni. Patah-patah majulah Zul. Mengaku ia adalah anak kepala desa. Sebelumnya, kloter pertama anak-anak yang di atas 11 tahun akan diajak keluar dari gudang menakutkan ini. Di saat itu, Ati beraksi berbisik pararel ke anak di sampingnya. 

“Kamu harus mengaku, umurmu toh di bawah 11 tahun, bohong saja! Bilang kamu anak buruh tani atau pelaut,” bisikan itu berhasil sampai di 6 anak, selebihnya ketahuan. Pentolan PKI itu memaksa mengaku siapa yang mempengaruhi mereka untuk berbohong. Semua melirik ke Ati. Si pemberontak itu berjalan menyeret Ati ke depan.

“Kalian sengaja toh Tanya umur, karena di atas 11 tahun mau kalian bunuh atau jadikan anggota toh? Kalian tanya Bapak kami, karena mau dijadikan sandera toh?” Zul sigap berteriak. Seakan melayang, ia mendapat tamparan. Tubuhnya terhempas sampai di depan Ati. Zul memang anak cerdas dan pemberani. Tapi, bukan ia yang memegang kendali.

“Kalian! Kalian ini! Kita itu satu suku! Kenapa kalian membunuhi suku kalian sendiri? Tidak malu di depan anak-anak?” ABG itu tajam berteriak. Anak-anak mulai diam. Memberikan sedikit cahaya semangat. Dua dari mereka berpandangan. Anak kecil kampung ini sudah banyak tahu. Tanpa basa-basi, pentolan PKI yang dari tadi diam dan duduk, kini berdiri dan menarik pelatuknya.

Anak-anak berlarian mundur menjauh. Zul berbalik menangkap tubuh Ati. Panas, rembesan cairan pekat mengguyur bagian dada anak perempuan itu. Bersamaan, warga kampung dipimpin para ulama yang selamat telah balas menyerang, untuk menyelamatkan anak-anak dan wanita yang ditahan. Kak Sunlah yang memberi informasi gudang tempat anak-anak ditawan. Saat itu Kak Sun merupakan kloter pertama anak-anak di atas 11 tahun yang keluar dari gudang. Nasib baik. Ia melarikan diri, dengan banyak luka. Para pentolan PKI itu kabur melewati pintu belakang gudang, Zul masih memegangi Ati. Sesak. Semua nampak buram. Sisa tenaga Ati mencengkeram kuat tangan Zul. 

”Zul, kamu adalah bapak terbaik yang pernah saya temui.”

 Anak laki-laki itu menghapus titik bening matanya. Ia sama sekali tak mengerti. Yang ia tahu teman yang disayanginya sekarat. Hasni maju, duduk di samping Ati. Patah-patah Ati mengangkat tangannya hendak memegangi pipi temben Hasni. Tak sampai. Tangan itu jatuh lemah terkulai.

***

Jarum jam di kamar kembali memutari poros. Gadis itu membuka mata, kaget. Tersengal memegangi dadanya. Ia mengatur napas. Lantas berhamburan keluar dari kamar menuju ruang utama rumah. Bapaknya duduk menyeruput kopi hangat sebelum ke masjid, sedang mamaknya lagi menonton tv. Apa kabar ke-empat kakaknya? Sibuk belajar di kamar masing-masing. Ati sontak memeluk mamaknya sambil menangis. Sampai kelimpungan dibuatnya. Ati bak kerasukan. Baru bangun menjelang magrib. Ayam saja sudah bersiap tidur. Ia tidur bak kucing dari siang sampai magrib. Ia berlari kepelukan bapaknya. Ia pikir tidak akan bisa melihat dan bertemu Zul lagi.

***

“Gunakan imajinasi, feel, dan logika seolah-olah kalian mengalami atau menyaksikan secara live terukirnya episode sebuah sejarah. Maka, esok hari takkan ada lagi kesia-siaan hidup ini, takkan ada lagi sesal! Yang hanya ada, proses pembenahan dan ungkapan rasa syukur terima kasih atas semua ketetapanNya. Untuk maju, lihatlah ke belakang. Bagaimana perjuangan mereka. Para Pahlawan. Sehingga kita mampu berpijak dengan jiwa dan raga yang merdeka.”

“Jadilah Pemuda-pemudi aset berharga untuk Indonesia ini. Adek-adek, jadilah penggerak bangsa tidak untuk membebani bangsa. Maka, berikan aku 1 pemuda, akan aku goncangkan seluruh dunia. Jika tak tahan letihnya belajar, maka suatu saat akan merasakan perihnya kebodohan. Pemuda-pemudi yang cerdas adalah yang lebih baik dari hari sebelumnya. Selalulah berbenah diri!”

Gemuruh tepuk tangan membanjiri Aula Gedung di Universitas Negeri di Surabaya. Hari ini adalah hari penyambutan mahasiswa baru dari segala fakultas, berjumlah 3.546 mahasiswa. Aset bangsa yang berharga. Ketua Senat KM, menyampaikan pidatonya. Dengan jilbab merah putihnya yang berkibar, yang gagah almamaternya, Hayati semangat berproklamasi.

Bapak, kau adalah inspirasi dan sebaik-baik kisah. Terima kasih! Ati berbisik.




No comments:

Post a Comment