Ati
selalu mengeluhkan nilai mata pelajaran matematikanya yang selalu dibubuhi
tinta merah. Tampaknya Pak Sun-nama lengkap Sunarto, sudah ciut harapan
mengajarinya. Pelajaran ini sungguh payah dibuatnya. Tapi, jangan tanya
pelajaran lain. Juga sama payahnya! Akhirnya ia mengobarkan aksi politik terselubung,
bahasa sederhananya konspirasi nyontek. Alhasil,
tinta maha agung, tinta hitam diberikan dengan khidmat.
Ketipak
ketipuk pantofel hitam mulai membangunkan kucing yang berserakan di teras
rumah. Delapan kucing sedang menggeliat malas bergantian, bayangkan binatang
kumisan itu bisa molor dari pagi
sampai magrib. Daun pintu menganga terbuka. Ati nyelonong masuk. Tetiba langsung disemprot sama Mamaknya karena
masuk kayak ular, tidak salam, ditambah dia menyontek di kelas. Memang Pak Sun
adalah intel yang luar biasa selalu melapor gerak-gerik Ati.
“Ma,
buah itu toh tak jauh jatuh dari
pohonnya. Kalau Bapak pintar, berarti Mama yang…” belum selesai spekulasi. Ati
sudah kabur ke kamar ketika melihat alis Mamanya kayak Mamak Sinchan. Dalam
hening, ia mendengar sayup suara dari luar kamar. Tampak, Mama lagi memulai
debat kusir dengan Bapak.
Gulita
layar mewarnai ruang kamar. Hening menyambangi jarum jam yang tetiba berhenti.
Lantas, sedetik melaju tegang berporos kiri. Menantang arah semula.
***
Semilir
angin mendayu-dayu, pepohonan meliuk berpisah dengan daun kering, gemericik air
yang terhalang bebatuan memaksa melaju. Kicauan burung berdendang merdu. Remaja
ABG terbangun dari tidur singkatnya. Ia limpung kebingungan. Ini film? Mana kameranya? Ati mulai mengelilingi belukar hutan. Di depan
sungai, berdiri seekor anak sapi dengan tanduk gagah. Ati jail mulai mengendap
hendak mengagetkan sapi itu, seperti yang biasa ia lakukan pada kucing-kucing
malasnya.
Sapi
itu kaget, kakinya sampai terperosok ke dangkal sungai. Anak sapi sontak
berbalik, matanya biru kemerahan, fokus pada tubuh ringkih di depan. Kakinya
menggosok kuat tanah siap menerjang. Alarm
emergency tetiba on di otak kecil
gadis itu. Ia terkentut-kentut memanjat pohon terdekat. Sapi itu mengejar hendak
menyeruduk. Sapi apa segalak banteng ini?
Tingginya 1 m1, dengan tanduk panjang. Anak sapi itu setia
menunggunya. Sesal sudah, ia sering pura-pura mules saat pelajaran biologi bab animalia. Alhasil, tak tahu nama
hewan ini dan solusi tokcer untuk
menghadapinya!
Orange langit
mulai tampak. Kira-kira tak jauh dari TKP. Suara langkah gesit membelah rumput
sayup-sayup terdengar, “Itu jejaknya! Tangkap!” remaja tambun itu berseru.
Kalau tidak salah jumlah mereka sebanyak 3 orang. Remaja pelacak lebih dahulu
sampai, disusul laki-laki dewasa dengan bilah bambu runcing dan parang. Mereka
memojokkan anak sapi ngamuk.
“KEPUNGGG!”
Salah seorang mengalihkan pandangan, selebihnya merobohkan dengan sigap. Dua
pemuda kekar menggotong sapi. Mulut gadis SMP yang bertengger menganga bisu.
Remaja gesit tak sengaja melirik jejak kaki selain bekas pijak mereka, berakhir
di pojok pohon. Ia memandang ke atas.
Zul
mendapati remaja berwajah seri di atas pohon. Ia berisyarat meminta Ati turun.
Ati menatap penuh selidik. Lihatlah orang-orang yang tampak kolot ini! Kulit
mereka sawo terpanggang terik, baju mereka lusuh dan gede, alas kaki seadanya-padahal Ati juga hanya beralaskan kos kaki
kendor dengan seragam.
“Itu
namanya anoa. Mau dimakan. Tanduknya dijual atau dikoleksi” Zul greget menjelaskan.
“Hamma? Anoa ini? Hewan langka
ini heh!” Ati gesit mengecek sakunya.
Ia ternyata lupa bawa androidnya. Bagaimana mau saya kasih lihat teman gankku,
guru sama orang rumah kalau saya pernah selfie sama anoa? Ati dongkol.
Rumah-rumah
panggung bermaterial papan yang sebagiannya digrogoti rayap berdiri tegak
menghadap timur, tiap rumah memiliki pekarangan luas. Di lantai atas terdiri
dari ruang tamu, di kolong rumah berselimutkan tanah, banyak yang menaruh
ternak atau tempat jamban instan dari papan-papan yang di bawahnya lubang
tanah, tempat itu dibatasi karung panjang sebagai sekat. Warga biasanya
beraktivitas di kali kalau ingin buang hajat, mandi, nyuci, dan menangkap ikan.
Ati
bertolak pinggang. Di mana ini?
Pakaian mereka nuansa jadoel, tidak
ada tv, satu-satunya kendaraan mewah yakni sepeda ontel, itu pun bisa dihitung
jari, radio transistor menjadi mesin tercanggih, jangankan android, internet, listrik saja ampun tidak ada! Seperti menonton
di layar hitam-putih. Hari mulai gelap. Ia hening menjerit. Jam segini, biasanya dia sudah menguasai TV, memantengin sinetron dambaan, yang ada
Aliandonya main filem.
Gadis
millennial itu tinggal di rumah
kepala desa. Daeng Andi Sultan. Beliau begitu baik hati dan paham agama. Zul,
anak kepala desa ba’da subuh selepas
sholat, mengaji, sarapan langsung tancap pedal, ia mengayuh sepeda ontel gede milik bapaknya menuju ke sekolah
yang jaraknya 3 kilo. Jalan yang luar biasa menanjak dan berbatu, bahkan dari
sayap kiri bisa langsung melihat jurang, sedang di sisi kanan kokoh tertancap
tebing-tebing. Ati memegangi erat kaos oblong Zul. Zul gagah mengayuh. Sesekali
mengusap pelu yang kebanjiran. Ati sampai minder
dibuatnya, mengingat ia, minta ampun susah dibangunkan untuk subuhan dan siap ke sekolah, padahal
biasanya ia tinggal duduk manis di angkot. Itu pun masih luar biasa mager. Efek begadang! Lihatlah
perjuangan bocah ini! Jalanan berbatu dan curam, tetap semangat 45!
Di
Sekolah Rakyat ada 15 siswa untuk kelas 5, mayoritas laki-laki. Mereka semua
semangat bersekolah, karena belajar adalah sebuah perjuangan. Perjuangan
menguji adrenalin.
Malulah
Ati lagi-lagi, ketika anak-anak kelas 5 sama kemampuannya dengan ia, yang
sebenarnya sudah kelas 3 SMP. Bahkan ada yang lebih pandai, seperti Zul. Betapa perihnya kebodohan itu! Ati
tetiba teringat bapaknya di rumah, ketika nama lengkap Zul dipanggil Pak Guru. Zulkifli.
Sesekali
mereka menantang bebatuan. Zul berpaling arah. Terpisahkan oleh bukit, berdiri
sebuah desa yang dikepalai oleh Daeng Amri. Khas beliau berkumis lebat,
memiliki 2 istri yang berkilau. Beranak 10 kepala totalnya. Masing-masing istri
memiliki 5 anak. Si bungsu dari istri kedua berumur 6 tahun. Ia rajin, imut,
matanya bening agak sipit bernama Jumranah. Ia adalah teman main Zul. Orangtua
mereka sohib, sehingga Zul dan Jumranah telah dijodohkan sejak kecil. Zul
dengan takzim nan sopan membawakan bagea. Kue sagu. Titipan dari mamaknya. Ati
menatap Jumranah, saat itu, anak kepala desa itu tidak sendirian, ia bersama
temannya. Hasni, anak pelaut. Si tubuh mungil, kulit kuning, mata bulat bening,
dan rambut keriting. Ati tiba-tiba memegangi pipi Hasni, sontak anak pelaut itu
menggigit jari Ati lantas mengajak lari Jumranah. Ati memaki. Sumpah… anak itu mirip saya!
***
Di
bawah temaram lampu sulo-lampu yang diberi sumbu kain dengan wadah balsem, yang
diisi minyak tanah. Zul membolak-balikkan lembar bukunya. Ia belajar dan
mengerjakan PR yang akan dikumpulkan 2 minggu kemudian. Sedang, Ati baru saja
dari jamban, ditemani mamaknya Zul. Ia nimbrung
membolak-balikkan buku. Gadis keriting itu diam. Fokus pada tulisan Zul di
pojok kanan tertera: 10/08/1965.
Ia
menarik napas. Syok! Ternyata ia
berada di masa demokrasi terpimpin. Mungkin bapaknya masih bocah. Tetiba dia
rindu sangat pada beliau. Tidak ada lagi deretan sejarah yang dikisahkan bapaknya.
Ati selalu bohong! Seolah-olah ia mengerti akan kisah-kisah beliau. Mending masuk telinga kanan keluar
telinga kiri, berarti masih sempat
masuk. Tapi ini beda! Malah terpantul! Setidaknya, ia selalu berpura-pura
menyimak untuk menghormati beliau. Ia lebih suka dan paham dengan segala macam
sinetron seperti mamak.
Zul
biasanya mengaji di Masigi’-Masjid
yang diajar olah bapaknya sendiri. Ia juga menjadi asisten bapaknya. Makhrajal hurufnya mantap bagi
orang-orang asli bugis-makassar. Daeng Sultan, mirip bapaknya Ati, kalau beliau
gendut dan botak. Untuk bulan ini. Daeng Sultan lebih sering digantikan oleh
Kak Sun didampingi Zul. Beliau sering ada syuro
dengan para ulama dan tokoh masyarakat, menyikapi berita di radio transistor
yang sedang beredar. Ati yang tak begitu peduli, tidak mengerti timing. Mengajak Zul masuk ke hutan.
Tempat ia kali pertama datang dan bertemu anoa. Tapi si bocah berkulit ranum
itu menolak. Mengingat amanah bapaknya. Ati pun peccu. ABG itu berlari. Ia kebingungan.
Dua
setengah bulan sejak kedatangannya, ia begitu rindu rumah. Dalam kesendirian,
Ati merenung. Kenapa ini bisa terjadi?
Ini bukan mimpi! Ini nyata! Melihat semangat belajar dan perjuangan hidup
di desa ini. Ia jadi ingin pulang dan melakukan hal yang sama. Bagaimana cara untuk kembali? Ia bahkan
sangat rindu pada bapak, mamak dan ke-empat kakaknya. Ati mulai melukiskan
wajah mereka. Bapak bertubuh gempal, kulit ranum, perut buncit, mata bulat, cukup
botak, meski bapak sudah berumur, tapi beliau tampak perkasa. Ati pernah
melihat album efek monokrom milik beliau. Bapaknya sangat berbeda, waktu beliau
masih sekolah, tampak ringkih bertenaga, mata bulat, kulit ranum, rambut
banyak. Cakep. Tampak mirip… bukan bahkan sangat mirip dengan Zul? Zulkifli? Sedang, mamak Ati bernama
Hasni, bocah nakal yang mirip ia, teman Jumranah. Nama yang sama! Jangan-jangan! Ia tetiba teringat Daeng Andi Sultan.
Ati jadi ingin memeluknya. Belum pernah ia melihat kakeknya. Mamanya Zul? Nenek Ati? Terus si jawa Kak
Sun? Pak Sunarto?
Ati
menghapus beningnya. Baru saja ia akan berlari ke desa. Suara gemuruh langkah
membelah kasar belukar hutan. Ati langsung bersembunyi di atas pohon.
Menyelamatkkan diri. Instingnya berbisik, mereka membawa aroma misterius.
Penghuni
hutan berlarian kabur, menyisakan bau amis yang menerbangkan gagak untuk
mendekat, “Masih ada 4 desa yang mau ditaklukan. Lumayan berdekatan semua itu
desa. Sudah ada orang dalam semua di sana. Ada 3 kelompok kita yang akan turun!”
Seorang bertubuh perkasa memulai percakapan. Massa mengangguk menggebu. Apa maksudnya? Siapa sekumpulan massa yang
jumlahnya sekitar lebih dari 50 orang dengan senjata? Terlebih lagi, masih ada
3 kelompok. Takut. Ati menggigil layu bersembunyi. Jiwa pengecut tetiba
bersemayam. Cukup lama. Tercampur aduk dengan rasa bersalah. Bapak? Mamak? Kakek? Nenek? Ati tahu
betul mereka dalam bahaya. Ia mulai bersikeras mengubur takutnya dan memutar
otak. Siapa mereka? Mulai menelisik
sisa-sisa ingatan saat belajar bersama Bapaknya dan Pak Sunarto. Tetiba
teringat tulisan Zul di bukunya tertera: 10/08/1965.
Sekarang tahun 1965. Seingatnya ini tahun penting dalam sejarah Indonesia.
Sekarang bulan September tahun 1965. Oh iya? Ia tahu! Ini adalah masa di mana
terjadi pemberontakan PKI. Ia pun turun dari pohon, semoga ingatan yang sangat
sedikit bisa berguna dan menyelamatkan keluarganya dan warga desa.
Lautan
api telah berkobar menelan Masigi’.
Beberapa tubuh-tubuh besar tumbang di jejalanan. Banyak rumah yang ambruk.
Ternak berlarian. Anak-anak menjerit, sebagian bersembunyi. Bapak mereka
dikepung. Sedang ulama, tokoh masyarakat dan orang kaya ditangkap, diserang
dengan membabibuta. Untuk revolusi selalu ada pengorbanan. Siapa yang
menghalang, saat itu juga denyut jantung dikoyak. Mereka membawa persenjataan
yang diimpor dari tanah Jawa. Pemasok utamanya dari kota Surabaya dan Jakarta. PKI
menenggelamkan kapal-kapal yang dikirim pemerintah untuk membawa bantuan beras.
Salah satu intel dari desa yang dipimpin Daeng Andi adalah seorang guru Sekolah
Rakyat. Berasal dari Selatan. Sebelum bekerja di Perpustakaan Negara Ujung
Pandang. Dari situ ia mulai mengenal buku-buku kiri dan mengidolakan buku
revolusi karya Lenin dan Marxisme. Bertemu PKI yang menawarkan program
kapitalis yang lebih baik. Maka dimulailah kudeta. Pecah sudah. Puncaknya di
bulan September 1965 ketika 2 partai, Masyumi dan PNI tidak melegalkan karena
tak sesuai ideologi pancasila, para petinggi perwira TNI-AD juga berlaku
serupa. PKI se-indonesia mulai bergejolak.
Tubuh
Ati diseret kasar di buang ke dalam gudang, ia didapati mengintip dibalik
pohon. Ada puluhan anak kecil sampai remaja. Mereka shock ketakutan. Mata bulatnya menelisik mencari sosok Zul dan
Hasni. Sebelum ia menemukannya. 3 orang laki-laki bersenjata masuk ke dalam
gudang. Bertanya usia dan siapa anak dari kepala desa, anak ulama dan anak
tokoh masyarakat? Jika bohong, ancamannya langsung ditembak. Lagi-lagi mereka
membentak, tidak ada yang mengaku. Salah seorang dari mereka mengambil anak
berusia 6 tahun. Ia akan menembak anak di depan mereka jika tidak mengaku. Anak
itu ialah Hasni. Patah-patah majulah Zul. Mengaku ia adalah anak kepala desa.
Sebelumnya, kloter pertama anak-anak yang di atas 11 tahun akan diajak keluar
dari gudang menakutkan ini. Di saat itu, Ati beraksi berbisik pararel ke anak
di sampingnya.
“Kamu
harus mengaku, umurmu toh di bawah 11
tahun, bohong saja! Bilang kamu anak buruh tani atau pelaut,” bisikan itu
berhasil sampai di 6 anak, selebihnya ketahuan. Pentolan PKI itu memaksa
mengaku siapa yang mempengaruhi mereka untuk berbohong. Semua melirik ke Ati.
Si pemberontak itu berjalan menyeret Ati ke depan.
“Kalian
sengaja toh Tanya umur, karena di
atas 11 tahun mau kalian bunuh atau jadikan anggota toh? Kalian tanya Bapak kami, karena mau dijadikan sandera toh?” Zul sigap berteriak. Seakan
melayang, ia mendapat tamparan. Tubuhnya terhempas sampai di depan Ati. Zul
memang anak cerdas dan pemberani. Tapi, bukan ia yang memegang kendali.
“Kalian!
Kalian ini! Kita itu satu suku! Kenapa kalian membunuhi suku kalian sendiri?
Tidak malu di depan anak-anak?” ABG itu tajam berteriak. Anak-anak mulai diam.
Memberikan sedikit cahaya semangat. Dua dari mereka berpandangan. Anak kecil
kampung ini sudah banyak tahu. Tanpa basa-basi, pentolan PKI yang dari tadi diam
dan duduk, kini berdiri dan menarik pelatuknya.
Anak-anak
berlarian mundur menjauh. Zul berbalik menangkap tubuh Ati. Panas, rembesan
cairan pekat mengguyur bagian dada anak perempuan itu. Bersamaan, warga kampung
dipimpin para ulama yang selamat telah balas menyerang, untuk menyelamatkan
anak-anak dan wanita yang ditahan. Kak Sunlah yang memberi informasi gudang
tempat anak-anak ditawan. Saat itu Kak Sun merupakan kloter pertama anak-anak
di atas 11 tahun yang keluar dari gudang. Nasib baik. Ia melarikan diri, dengan
banyak luka. Para pentolan PKI itu kabur melewati pintu belakang gudang, Zul
masih memegangi Ati. Sesak. Semua nampak buram. Sisa tenaga Ati mencengkeram
kuat tangan Zul.
”Zul,
kamu adalah bapak terbaik yang pernah saya temui.”
Anak laki-laki itu menghapus titik bening
matanya. Ia sama sekali tak mengerti. Yang ia tahu teman yang disayanginya sekarat.
Hasni maju, duduk di samping Ati. Patah-patah Ati mengangkat tangannya hendak
memegangi pipi temben Hasni. Tak sampai. Tangan itu jatuh lemah terkulai.
***
Jarum
jam di kamar kembali memutari poros. Gadis itu membuka mata, kaget. Tersengal memegangi
dadanya. Ia mengatur napas. Lantas berhamburan keluar dari kamar menuju ruang
utama rumah. Bapaknya duduk menyeruput kopi hangat sebelum ke masjid, sedang mamaknya
lagi menonton tv. Apa kabar ke-empat kakaknya? Sibuk belajar di kamar masing-masing.
Ati sontak memeluk mamaknya sambil menangis. Sampai kelimpungan dibuatnya. Ati
bak kerasukan. Baru bangun menjelang magrib. Ayam saja sudah bersiap tidur. Ia tidur bak kucing dari siang sampai magrib. Ia berlari kepelukan bapaknya.
Ia pikir tidak akan bisa melihat dan bertemu Zul lagi.
***
“Gunakan
imajinasi, feel, dan logika
seolah-olah kalian mengalami atau menyaksikan secara live terukirnya episode sebuah sejarah. Maka, esok hari takkan ada
lagi kesia-siaan hidup ini, takkan ada lagi sesal! Yang hanya ada, proses
pembenahan dan ungkapan rasa syukur terima kasih atas semua ketetapanNya. Untuk
maju, lihatlah ke belakang. Bagaimana perjuangan mereka. Para Pahlawan. Sehingga
kita mampu berpijak dengan jiwa dan raga yang merdeka.”
“Jadilah
Pemuda-pemudi aset berharga untuk Indonesia ini. Adek-adek, jadilah penggerak
bangsa tidak untuk membebani bangsa. Maka, berikan aku 1 pemuda, akan aku
goncangkan seluruh dunia. Jika tak tahan letihnya belajar, maka suatu saat akan
merasakan perihnya kebodohan. Pemuda-pemudi yang cerdas adalah yang lebih baik
dari hari sebelumnya. Selalulah berbenah diri!”
Gemuruh
tepuk tangan membanjiri Aula Gedung di Universitas Negeri di Surabaya. Hari ini
adalah hari penyambutan mahasiswa baru dari segala fakultas, berjumlah 3.546
mahasiswa. Aset bangsa yang berharga. Ketua Senat KM, menyampaikan pidatonya.
Dengan jilbab merah putihnya yang berkibar, yang gagah almamaternya, Hayati
semangat berproklamasi.
Bapak, kau adalah
inspirasi dan sebaik-baik kisah. Terima kasih! Ati
berbisik.
No comments:
Post a Comment