Saturday, July 11, 2020

Aku Datang Melamarmu


satujam.com

Pemuda eksekutif itu hendak kembali ke kamar mem-packing barang-barangnya, setelah itu ingin melihat kondisi project yang baru di-meeting-kan tadi pagi di ruang konvensi. Diliriknya bukaan yang menghadap lantai bawah di tempat terbuka. Di situ ada sosok yang asyik dengan gadget-nya. Ia pun berpaling, kemudian melangkah lurus. Gadis itu begitu mirip dengan sosok yang diliriknya di dalam lift. Beberapa saat kemudian dia sadar dan kembali. Ternyata gadis itu telah beranjak. Maka pria berpakaian rapi itu mengikutinya.

Di koridor hotel. Dia mencium bau itu lagi! Bau melati yang dirindukannya. Hatinya pun tak karuan.“Kenapa dia seperti kuntilanak yang muncul terus tiba-tiba hilang?” desisnya cemas. Ia pun mengikuti wangi yang ditinggalkan sosok itu.

Gadis yang ternyata dicari itu berhenti tepat di samping kamarnya. Ia kemudian masuk. Saat menutup pintu sosok itu selintas melirik ke depan. Diam sudah tubuh laki-laki itu macam batu nisan, memandang wajah tetangga kamarnya. Matanya berkaca-kaca tak berkedip masih menatap pintu di depannya. Pria eksekutif itu seperti tercekik napas. Gadis itu, dia? Dia? Dia adalah sosok yang dirindukannya. Ecce, gadis bugis dari timur peta. Gadis yang menggantung mahasiswa jawa kere yang makan saja susah apalagi untuk melamar anak perempuan orang, menggantung macam jemuran selama 6 tahun. Ia pun seperti tertarik ke masa abu-abu.

Dari angkatan Ecce, ada tiga puluh mahasiswa yang wisudanya tertunda, termasuk Joko. Kini laki-laki kurus itu menunggunya setia di depan gedung Soedarto dengan tulisan yang dipegangnya sungguh-sungguh. ‘Untuk yANG PAliNg kusukAI’.

"Apa ini?' tanya Ecce penasaran ketika laki-laki berkulit sawo itu menyerahkan hadiah wisuda teman angkatannya itu. Benar-benar hadiah yang tidak jelas bentuknya!

"Baca sendiri donk," jawab Joko mesem-mesem.

"Huh gombel!" Gadis itu pun mengambilnya.

"Yes, kamu terima!" Joko melompat girang, mengepal kedua tangannya berseru sembari menatap gadisnya yang hari itu benar-benar cantik dengan riasan wajah. Mungkin saat menikah nanti, Ecce akan lebih cantik dari hari ini.

Ecce tertawa. "Iyalah ini hadiah wisuda." Gadis itu tak tahu maksud teman konyolnya itu. Dia masih membolak-balik kertas misterius yang dipegangnya.

"Itu DPnya doank, dua nol rupiahnya akan aku cari, tunggu aku!" sahut laki-laki dengan logat ngapaknya itu menatap serius.

"Apaan sih?" Ecce lagi-lagi membolak-balik tulisan segi-empat yang dihias cantik. Di bagian tersembunyi ia menemukan uang lima puluh ribu yang sudah ditandatangani dengan materai 6000.

 "Apa maksudnya ini?" tanya Ecce. Joko tersenyum manis. Membuat Ecce kikuk. "Kamu pikir aku penjual bakso? Dikasih duit?" Ia tertawa. Dibacanya lamat-lamat tulisan yang dibold dan kapital.  

‘Untuk yANG PAliNg kusukAI’. Uang Panai.

“Hah? Diterima tidak, ya?” desisnya membuang muka.

Senyum gadis itu sendu. "Thanks ya." Ecce mengembalikan hadiah itu. Seketika senyum yang sedari tadi mengambang dari wajah laki-laki itu langsung menghilang seperti buih dalam kisah Mermaid. Mata Ecce berkaca-kaca dibuatnya, merasa bersalah. Joko hanya bisa terdiam, hanyut akan kesetiaannya yang dibawa bersama ombak kepahitan.

Apa Ecce masih menganggapku laki-laki bejat?” desisnya setelah kembali menjelajahi bagian memorinya yang begitu menyakitkan. Paska mempersiapkan semuanya dengan matang. Tangannya yang gemetar dipaksanya untuk menekan tombol dan menempelkan gagang telpon itu ke telinganya.

"Halo … aaa … ass … sa … hmm … assalamu'alaikum? Ecce?”

"Iya … ini siapa?" Suara khas gadis yang teramat sangat dirindukan itu terdengar menjawab. "Oh, wa'alaikumsalam.” 

Joko pun menarik napas.“Ini aku. Coba lihat di samping jendelamu!"

Telepon ditutup. Ecce sungguh bingung, suara laki-laki itu begitu khas seperti Dante, mantan teman SMAnya. Apa penulis itu bersamanya? Ecce tersenyum merona. Lalu dia mengintip dari jendela.

Untuk yANG PAliNg kusukAI.Ini, kan?” Ecce bergumam lirih, menutup mulut tak percaya. Kertas putih A4 telah ditempel di jendela kamarnya, beberapa huruf tertentu dibold dan dikapital. Membentuk dua kata ajaib yakni 'Uang panai'. Tetiba dari kamar sebelah seseorang menyanyikan lagu dangdut berjudul Cinta Suci seperti dalam film Menggapai Cintamu. “Apa-apaan ini? Ada orang gila di samping kamarku!” Ecce tertawa.

Kasihku sayangku
Aku bahagia
Aku datang melamarmu
Kan ku jadikan permaisuri
Oh kasihku oh sayangku

Pria yang mirip Dante itu melirik ke jendela tetangga. Ia tertawa kikuk. Meremas jemarinya. Apakah kali ini gadis bugis itu akan menolaknya lagi, lagi, dan lagi setelah berkali-kali dia meminta? Bahkan laki-laki itu telah meminta Ecce sejak ia masih menjadi mahasiswa baru!

Mengingat perjuangannya yang sangat gagah melebihi laki-laki bugis manapun. Dari berjualan tahu jamur, piscok, freelance menggambar hingga kerja di proyek. Semuanya demi Ecce. Sayangnya, gadis bugis itu tak pernah meliriknya ada di muka bumi. Mungkin bagi Ecce, Joko, seorang laki-laki berkumis lele itu seperti hantu. Sosoknya tidak pernah diperhitungkan. Antara ada dan tiada!

Meskipun begitu, Joko tetap tabah. Dan, jika ada kesempatan, dia akan mencoba terus hingga Ecce dimiliki seseorang. Barulah ia mengerek bendera kekalahan atau menelan pil pahit. Atau bahkan, mungkin Joko akan menunggu Ecce sampai menjanda. Gila memang laki-laki jawa ini! Sukses dalam karir tapi amat payah dalam soal percintaan.

Di balik itu semua, Joko selalu mengemas hal serius menjadi ringan, dan selalu bersikap santai meskipun dia sebenarnya sangat gugup. Karenanya dia dengan kesungguhan hati bernyanyi untuk melamar Ecce meskipun suaranya seperti burung bangau. Pria pemilik kisah cinta yang nyata, mencintai Ecce apa adanya, mencintai seorang gadis bugis yang uang panainya seperti biaya orang naik haji. Bagi orang jawa, apalagi pria sederhana seperti Joko sungguh luar biasa dia mau memiliki seorang Ecce.  

Sayangnya, Joko atau Rama Dana. Laki-laki yang terkenal penyuka dunia malam di Poncol Semarang, sering main perempuan dan minum sejak bergelut di dunia proyek. Dia menjadi seperti itu lantaran patah hati teramat patah sebab gadis yang menjadi cinta pertamanya telah dilamar orang. Apakah kali ini Ecce akan menerimanya?




Singkong dan Keju - Nona Ubi

style.tribunnews.com


"Eh, nona ubi, kenapa kamu gak nerima Juwan?!"

Aku menggeleng tersenyum sembari mematikan lampu dan AC kelas. Eka tetap mengejarku. Lantas bertanya lagi. Kujawab sambil memonyongkan mulut.

"Dia... terlalu kaya."

"Ih, sok banget! Apa salah dan dosanya?" Gadis bertubuh gempal itu lalu menyergapku.

 "Gak ada, sih, tapi coba pikir, bagaimana akhir cerita si kaya dan si kismin di sinetron-sinetron? Kalo gak mati ya sakit, atau dicelakai cewek yang naksir si kaya, cape, deh. Aku sendiri tidak ingin hidupku berakhir tragis seperi itu. Hidupku sudah cukup susah. Sekali-sekali aku ingin bahagia gitu." Aku tertawa. 

Eka pun geram sebagai bentuk protes, dia lebih seram dari massa unjuk rasa yang meneriakkan turunkan harga sembako. Padahal baginya kami bisa kecipratan kayanya Juwan. Sayangnya aku sudah bertobat untuk menjadi cewek matre. Terakhir kali aku matre, hampir nikah aku sama anak juragan kepiting. Dan, hasil porotin si anak juragan aku pakai buat daftar kuliah. Aku berjanji, suatu hari nanti akan mengembalikannya.

Namaku Nariswari, bukan nona ubi! Panggilan nona ubi itu dari Juwan, lantas Eka, teman sependeritaanku itu ikut-ikutan memanggilku, memang dia tidak kreatif! Asli! Ya, Juwan adalah teman angkatanku, dari kota, dia penyuka keju, kalau kalian tahu, Juwan lebih gila dari Gery si tikus, teman Tom, dan sepertinya hal yang paling dicintainya di muka bumi ini ialah keju. Lalu kupanggil ia sang predator keju. Saat itu, aku sedang makan ubi di kelas, sialnya aku duduk di samping Juwan, dan takdir menemukan kami.

"Itu apa?" tanya Juwan di suatu siang. 

"Ubi." Kujawab singkat, malas berkomentar, karena pasti ia akan mengejekku karena makan ubi rebus. Hello, ini tahun berapa?! Lu masih makan ubi?! Aku membayangkan Juwan menjawab seperti itu. Aku tersenyum jahat langsung memberikannya. Dan ... dia menerimanya.

"Kenapa kamu makan ubi?"

Aku tercengang. Pertanyaan maha lugu itu membuatku kikuk. Kenapa, ya?

"Ubi itu bagus untuk kesehatan. Lihatlah nenek-nenek jaman sekarang yang dulunya pemakan ubi, meskipun ompong tapi tetap sehat wal'afiat dan survive."

Juwan tersenyum. Itulah pertamakalinya aku menemukan wajah ramahnya yang tersembunyi begitu dalam, karena biasanya, tampang songong-lah yang disajikannya di kelas, dengan style branded kelas kakap yang dipakainya dari luar negeri. Benar-benar manusia impor!

"Kamu kayak nenekku. Dulu dia suka makan ubi ...."

"Sumprit! Gue kayak nenek-nenek!" Aku berembus di sampingnya, ingin memaki.

"Ah, tidak maksud aku, kebiasaannya bukan usianya."

Sudahlah! Mungkin karena satu-satunya mahasiswa yang makan ubi rebus seantero kampus di dunia ini hanyalah aku. Ah, tidak juga! Justru aku mengenal ubi ini dari salah seorang teman jurusan kesehatan masyarakat bernama Fakhri. Inilah sejarah ubi dalam hidupku. Seorang Nariswari. Artinya Ratu. Ratu ubi.

***

"Mba... Naris...wari?"

Aku mengangguk malas menghentikan makanku lalu memasukkan mi biting extra pedas ke dalam kresek bening.

"Maaf ya, su...sudah lama menunggu?" tanya mahasiswa kurus itu di depanku sembari menyapu wajah payahnya yang berkeringat. Aku berdeham. Dasar mahasiswa! Janjian jam 8 datangnya jam 9! Batinku.

"Ini langsung wawancara?" tanyaku meredam emosi sambil memaksakan diri tersenyum. Mungkin itu kayak seringai. Dia tampak kikuk. Mengajakku ke selasar. Selasar gedung Fakultas Kedokteran ini cukup lebar, kalau tidak salah ukurannya sekitar 7 meter, bangunannya serba putih, bersih, di sana juga ada kursi kayu politur memanjang yang berhadap-hadapan dan di apit meja.

"Sebenarnya, ehm ...." Fakhri pun mengeluarkan sesuatu dari tas punggungnya, berbentuk buntelan dibungkus koran. "Ini monggo, dimakan dulu."

Ada apa ini? Ini bukan acara halal bi halal, kan?

Aku memandang datar bungkusan koran itu dan membukanya, isinya ubi jalar rebus. "Bisa langsung wawancara saja, soalnya habis ini aku ada tugas deadline." Alasanku saja karena takut kentut di depan laki-laki geriting ini, efek makan ubi.

Fakhri menggaruk kepalanya. Lagi-lagi mempersilahkanku makan. Tampaknya dia pemalu. "Anu... ehm, sebenarnya, itu... yang harusnya wawancarai mba Nariswari, teman saya, namanya Tio, tapi dia baru ba---"

"Baru bangun, ya?"

Fakhri tersenyum. Aku menggigit bibir, sudah kuduga. "Terus sambil menunggunya kita makan-makan gitu?"

"Sabar, ya, Mba."

"Iya-iya aku sudah sabar banget, nih!" Aku menyeringai lagi.

"Kalo kita marah, sedikitnya  500 sel syaraf akan mati."

"Oh, ya?" Aku berbalik. Menarik. Dia pun menjelaskan panjang kali lebar tentang dunia kesehatan. Bahkan aku sampai lupa, tujuanku ke sini ialah sebagai relawan narasumber bagi si anak kedokteran yang ternyata suka molor sampai siang itu untuk mengumpulkan sample penelitian Tugas Akhirnya tentang riset mata minus. Awalnya aku ogah untuk membantunya saat melihat info yang tersebar di grup line, karena hidup itu simbiosis dan timbal balik, aku pun iseng menyanggupi pertemuan ini. Jadilah aku di sini, makan ubi bersama Fakhri.

"Jadi, mi biting yang kumakan tadi gak sehat, ya? Terus gorengan, seblak, cilok, cimol itu juga?"
Fakhri mengangguk. "Itu semua adalah substansi, bukan makanan, selama ini kita dijajah oleh makanan siap saji, mi, bubur instan, sarden, semua makanan anak kos, atau sayur buah yang disemprot pestisida juga sangat jahat."

"Micin, pewarna, perasa, beras pemutih, gula pemutih, tepung, minyak sawit, produk dairy milk, itu semua tidak bagus buat kesehatan. Kita makan produk itu bertahun-tahun, penyakit mematikan akan datang beberapa tahun kemudian."

Mahasiswa ganteng tapi sesederhana gembel itu tampak bersemangat, kalau sudah bahas tentang dunia ini, ia pun lupa kalau dia ternyata amat pemalu. Dan, aku sendiri seperti tertampar hebat karenanya. Apa yang dikhotbahkan itulah yang selama ini kulakukan.

"Ubi ini buat kamu saja, kamu harus belajar mengganti snack 100% micin itu jadi makanan rebus."

Aku mengangguk bete. Tapi aku hepi bertemu Fakhri, seorang anak muda kurus tapi amat memperhatikan kesehatan, benar-benar calon suami idaman. Lalu dia seperti akan menutup khotbahnya.

"Wanita itu adalah penguasa dapur, segala isi perut keluarganya ada di tangannya, jadi kalau ibunya sehat, anak dan suaminya sehat."

Aku terbatuk. Tersipu saat membahas rencana berkeluarga. Dia lalu mengeluarkan air keruh seperti bekas kobokan dalam botol, dinamainya infus water, botol satunya ialah rendaman rimpang berupa kayu manis, madu, dan ketumbar, pokoknya sangat mengerikan, dan botol lainnya ialah rendaman buah yang dipotong-potong seperti melon, nanas, semangka, dan madu. Diberikannya aku satu botol yang isinya buah.

"Mas Fakhri gak ada kerjaaan, ya? Bikin beginian."

"Ehm, ini bagus buat kesehatan, tubuh kita kan butuh enzim, detoks, dan anti ejing."

Aku berembus berat. Manusia satu ini penuh dengan aturan. Aturan aneh! Dan mas Tio pun akhirnya datang, dengan membawa buku agak tebal dan alat-alat penelitian yang aku tidak tahu namanya apa. Ia pun memperkenalkan diri, membuka buku dengan penuh kode, aku disuruh menebak gambarnya, yang tiap lembarnya memiliki bentuk warna yang semakin kecil dan hampir tidak terlihat.
***

"Eh, desainnya Juwan bagus banget, ya?" goda Eka. Ia membawakan tugas Perancangan Arsitektur 3 Juwan ke depanku.

"Tidak terpengaruh!" Aku membalas sembari menyelesaikan rendering 3D dengan pensil 2B dan drawing pen berukuran 0,5 dan 0,1.

"Lihat dulu, napa?"

Aku mendengus kesal mendongak kepala. Aku terhenti. Memandang lamat lalu menyentuh gambar itu. Sebuah desain mewah khas arsitektur Eropa modern tergoreskan di kertas A3 itu. Pewarnaannya sangat selaras, gambarnya begitu detail, sampai kitchen setnya pun tergambar jelas, si predator keju ini mengambar keju di atas piring putih.

"Cie, pegang-pegang!"

"Apa, sih?!"

"Wah... nona ubi, kamu belum selesai, ya?"

Suara agak serak itu membangunkanku. "Ngek! Siapa itu nona ubi? Dasar predator keju!"

Kulirik Juwan tersenyum tipis. Dia ternyata mengamati gambarku. "Ini desain apa?"

"Kenapa? Kayak sarang babi, ya?" tanyaku asal.

"Bukan. Tapi kayak rumah tarzan." Juwan komentar tanpa berpikir panjang. Aku mengangguk dongkol. Sangat jelas dia mengomentari desainku. Mentang-mentang desainnya paling unik dan beda sendiri. Apa hipotesis Eka selama ini benar, kalau Juwan itu menyukaiku? 

"Ini konsepnya seperti apa?" Dia duduk di sampingku sembari menopang pipi di tangan kanannya.

"Ini arsitektur ekologi!" Aku menyeringai. Emang kamu yang desainnya high class tanpa sebiji pohon sekalipun, sekalinya naruh pohon, pohonnya sintetis, bagaimana mau sejuk rumahnya, rumah kaca begitu, pake AC, material mewah impor, desainnya mahal, jasa arsitek jadinya hanya bisa dirasakan kaum elit."

"Itulah gunanya kita kuliah, kan?" Juwan menunjuk otaknya, "Ini kan, mahal!"

"Iya sih, tapi kita terlalu asyik membangun, mendesain karya fenomenal, dan kita melupakan potensi alam, tahu gak, kita sudah menghabiskan 10 tahun cadangan energi untuk anak cucu kita."

"Hah?! Anak cucu kita?" Juwan mengulang kalimatku. "Kita?" Dia tampak kikuk. Aku tidak peduli. Lalu lanjut cerita.

"Iyaaa. Karenanya kita harus menggunakan potensi alam, kita harus menyiapkan lahan terbuka hijau sebesar 30%, bahkan menurut aku 40%, kalo gak ya kita bisa bikin vertikal garden, juga buat rumah banyak bukaan, kita bisa menghemat dengan menggunakan matahari untuk lighting, dan angin untuk sirkulasi udara alami, oh ya, gunakan panel surya, untuk menghemat kebutuhan listrik, kita bisa buat biofori untuk pengelolaan sampah organik dan daya resap air, juga sediakan penyimpanan air hujan yang bisa dipake untuk menyirami tumbuhan." Teman-teman angkatan memandangiku, juga Eka dan Juwan. Aku terdiam malu.

Juwan tertawa lalu bertepuk tangan, "Cocok jadi anggota DPR, kamu kalo nyaleg pasti kepilih. Sekalipun gak ada yang milih, nanti aku yang pilih."

"Cieee." Eka tampak mesem-mesem.

"Makasih, ya." Aku tertawa miris. Asem-asem, aku menjelaskan sampai berkumur-kumur, dia kelihatannya tidak tertarik dengan frame peduli lingkungan yang aku gigit. Dasar anak orang kaya! 

Juwan pun bangkit, "Jangan lupa datang di Architeria, ya, ada yang spesial nanti." Laki-laki flamboyan itu pun pergi. Bahkan jarak 25 meter dari pengajaran atau bahkan dia sudah pulang ke rumahnya, di Semarang kota, minyak wanginya seperti enggan pergi dariku. Mungkin kalau aku tidak mandi 3 hari sekalipun. Aku tetap ketularan wanginya. Ya, begitulah Juwan!

Dibanding Juwan, aku lebih konek berbicara dengan Fakhri. Menurutku Fakhri adalah spesialis pangan, kupanggilnya menteri ketahanan pangan, saat melihatnya aku sering memanggilnya seperti itu, membuatnya malu.

"Ngapain Mas di sini?" sapaku. Fakhri pun mempersilahkan grupnya masuk duluan.

"Oh, ini kami mau menggalang dana untuk adek-adek rumah angker, eh, kanker. Mumpung di kampusmu ada acara ulangtahun jurusan, nah, kami sekalian, ini bawa makanan anti kanker." Fakhri berkomentar polos. Aku pun mengangguk, "Bukannya ini acaranya masih, ya?"

"Iya, tapi cuman nyanyi-nyanyi doank, ya biasa sekarang acara hiburan, itu masih ada pameran kok."

Fakhri mengangguk. Aku pun memberikan Fakhri semua isi dompetku, yang hanya ada uang 15 ribu dan itu pun buat ngeprint tugas Tata Ruang Luar, paling setelah ini aku pinjam Eka. Sembari bertransaksi, Fakhri memberiku buah dan rimpang yang bagus untuk kanker, seperti jahe, kunyit, dan potongan kecil buah apel, manggis, dan alpukat seperti biasa, ia menjelaskannya dengan penuh gairah. Dan dia lagi-lagi memberiku ubi. Semuanya sempurna ditambah suara nyanyian syahdu dari acara architeria, mendendangkan lagu akad payung teduh. Kami pun beranjak setelah Fakhri selesai ceramah. 

"Nona Ubi!" Kami berbalik. "Ternyata kamu di sini! Sudah kubilang kan, kemarin?"

"Apa?"

"Ada acara Architeria."

"Aku tadi sudah ke sana, terus karena cape, aku nyari udara segar." Dan aku beneran menemukan udara segar! Aku melirik Fakhri, "Emang kenapa?"

"Tadi aku nyanyi."

"Oh pantas, kupingku keselek." Aku tertawa. Kulihat wajah Juwan serius, sembari melototin menteri ketahanan pangan di sampingku, "Terus?"

"Kamu gak ada!"

"Oh!" Aku bingung. Apa hubungannya? Fakhri pun segera pamit. Aku ingin mengikuti Fakhri, tapi aku tidak enak hati, apa mau si predator keju ini?

"Aku... aku... akhir-akhir ini sudah makan singkong, dan ubi rebus."

"Oh, kenapa? Apa kamu gak dikasih jajan mami papimu?"

"Gak! Karena kamu."

"Loh, kok karena aku?" Aku menggaruk kepala.

"Kamu bilang, lebih sehat makan singkong dan ubi rebus, daripada makan makanan siap saji."

"Iya, itu betul."

"Tapi masih makan keju, singkong campur keju. Singkong keju"

"No! Produk dairy milk kayak keju itu gak baik! Tinggi kalori dan kolestrol."

"Oh!"

"Terus intinya apa? Kok jadi bahas singkong keju?"

"Ikut aku!"

Tibalah kami di rumah yang desainnya futuristik. Gerbang dan dindingnya tinggi menjulang, pagarnya juga mewah, rumah 2 lantai ini putih, gagah dan luas. Pun tamannya selaras. Dan aku jatuh hati melihat keindahan ini. Seperti di surga.

"Ini Nariswari, teman angkatanku, dia yang sering aku ceritain itu, Om." 

Aku kikuk menyalami seorang laki-laki tua bertampang galak tapi berwibawa. Apa maksudnya ini? Anehnya, aku merasa tersanjung dengan semuanya.

Laki-laki pemilik rumah ini ternyata om Juwan. Aku pikir ayahnya. Dan, Juwan tampak seperti anak angkat, karena om Juwan tidak memiliki anak, atau istri. Omnya juga baik sekali, hangat, dan penuh cinta, betapa bahagianya bisa tinggal di rumah ini. Astaga! Apa yang kupikirkan? Dodol! Segera aku singkirkan imajinasi liar itu. Tapi, aku suka, mereka menerimaku apa adanya.

Kini, gelar predator keju yang tersematkan pada Juwan pun hilang, karena dia telah meninggalkan keju. Ini memang mustahil. Sebenarnya dia tak harus melakukannya. Tapi, katanya mau memberikan pembuktian kalau rasa cintanya ke keju tidak ada apa-apanya. Prettt! Dasar alay! Awas saja kalo kita menikah terus dia menyetok segudang keju!

***

"Kamu mau lanjut S2?" 

"Ah, kalo bisa sih, iya om."

"Uhm, baguslah! Tapi si Juwan pengen segera menikah, sedangkan dia masih sangat muda dan labil, skillnya juga terlalu bagus untuk disia-siakan." Om Juwan mengusap bibir.

Aku terdiam. "Tapi bukannya sambil menikah pun bisa berkarir, Om?"

Om terkekeh, "Untuk anak muda jaman sekarang, Om ragu, pasti gak fokus, sekarang ini saja bisa dilihat, dia rela hidup sederhana yang tidak sesuai dengan dirinya. Dia bahagia tapi sebenarnya sengsara, dan Om takut kalo dia menjalaninya setengah-setengah. Kau tahu kan, apa yang ada di sini akan kuhadiahkan untuk Juwan."

Aku meneguk saliva.

"Dan setelah Om lama menimbang-nimbang, kalian berkarirlah dulu, mungkin Om akan berubah pikiran setelah melihat kalian dewasa."

"Jadi, maksudnya?"

"Kamu tentu tahu... sebenarnya kamu itu suka sama mahasiswa dari jurusan kesehatan masyarakat yang suka bawa ubi, kan? Sudahlah! Kalo kamu butuh sesuatu tidak apa-apa minta sama Om. Nanti Om bantu, sekalipun kamu nantinya bukan sama keponakan Om. Om tahu, selama ini kamu hanya dipaksa Juwan, kan. Om tahu, sejak dengar pertamakali bahkan ketemu kamu, kamu mirip sekali tantenya Juwan. Daripada menyesal di akhir, mending dari sekarang ambil keputusan."

Aku mengangguk kelu. Entah apa yang sekarang aku rasakan! Sekolah S2? Kembali pada Fakhri? Aku tidak tahu perasaan Fakhri! Dan, meninggalkan Juwan? Ini begitu rumit. Kukira Omnya menerimaku, jadi dia hanya menunggu waktu yang pas. Ah!

***

"Nariswariiii!"

Aku berbalik. Juwan mengejarku. Ia menghapus pelu. "Aku tahu kenapa kamu menjauh. Aku melihatnya di CCTV, dan juga mendengarkan semuanya ."

"Oh." Aku tersenyum kaku, "Tapi betul kata ommu, kita terlalu muda."

"Justru karena kita masih muda, kita pasti akan kompak banget, tentang skill lingkunganmu dan skill design futurisktikku."

"Oh, ya? Meskipun selama ini kita terus berbeda pendapat?"

"Aku tidak peduli!"

"Lupakan soal ini, anggap saja aku hanya teman angkatanmu yang hanya duduk di sampingmu. Makan ubi,  terus say hai dan good bye, semuanya biasa---"

"Ayok kita kawin lari!"

"Gilaaa!"

"Iya, aku sudah gila!"

"Begini saja kita tak mampu menjalaninya, bagaimana kedepannya?"

"Tidak! Aku tidak bisa menerima ini semua!"

Aku menggigit bibir, berembus berat, "Juwan! Jujur... aku suka Fakhriii... dan selama ini aku cuman ingin memamfaatkanmu, harusnya kamu sadar, ubi yang selama ini kita makan pun dari Fakhri! 
Sekarang ini, aku hanya ingin tobat...." Aku terdiam. Ia pun juga. Dia tidak mengejarku lagi.

Kalau aku mengabulkan pintanya, semua yang diberikan Omnya, bantuan keuangan untuk orangtua Juwan yang terlilit hutang karena bangkrut, akan hilang. 

"Terima kasih, sudah berbohong!" Juwan berteriak.

"Iyaaa." Aku melambaikan tangan. Juga berteriak.

"Nanti, aku pengen punya anak lima. Rasanya seru, kayak makan ubi."

Aku tersenyum tipis melirik Juwan, "Emang kamu amoeba, yang bisa membelah diri!" Episode manis itu kembali menjelajahi memoriku. Dan aku membencinya.

Negeri Para Binatang dan Negeri di Atas Awan

mojok.co

Tahun 900 masehi. Pernah hidup lima juta manusia di sebuah negara yang paling indah di atas awan. Bangunan-bangunan arsitektur yang menawan dibangun di seluruh penjuru kota tersebut, tidak hanya itu, kemajuan-kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan lantaran semangat atas tuntutannya kepada ilmu pengetahuan menjadi warisan yang kuat digigitnya. Mereka belajar, bekerja dan melakukan pekerjaan yang hebat seperti bertarung dengan negara-negara yang juga berdiri di kaki awan, menunggangi kuda-kuda perkasa putih, memanah hingga berenang.

Binatang-binatang yang merangkak dan tinggal di kolong langit pun ikut belajar kepada mereka. Tidak hanya dari kolong langit, sejarah mencatat, dua negara terbesar di langit tertinggi pun yang semuanya dikuasai binatang mengarungi kabut putih hanya untuk belajar di negeri ini.

Di sana mereka belajar tentang membuang kotoran di tempat yang tepat, bagaimana caranya untuk mandi, menutupi tubuh mereka dengan pakaian hingga memakai parfum. Para binatang begitu tergila-gila akan pelajaran ini. Hingga berdampak pada kondisi fisik mereka. Lama kelamaaan para binatang yang awalnya merangkak menjadi mampu berjalan dan berbicara layaknya manusia di negeri ini. Manusia-manusia sungguh bahagia dibuatnya.

Tidak mau kalah, untuk berterimakasih kepada para manusia-manusia itu, perlahan tapi pasti, binatang-binatang itu mengajarkan mereka meraih kebahagiaan dengan sebuah hidangan istimewa yang belum pernah dicicipi para manusia itu, nama masakan-masakan itu bernama nyanyian, musik, dan drama. Karena manusia-manusia di atas awan ini tak pernah mencicipi nyanyian hingga memakan music, dan drama. Juga, mereka memiliki keinginan kuat untuk tahu cita rasa menu tersebut yang didengung-dengungkan para binatang di seluruh penjuru kolong langit, akhirnya manusia-manusia itu mencicipinya dengan sungguh-sungguh. Siang malam. Bahkan mereka sampai hampir ditelan oleh sang waktu, matahari dan bulan.

Di balik cita rasa nyanyian, musik, dan drama yang nikmat tiada tara, ternyata menyimpan efek samping yang jika dikonsumsi terlalu banyak. Akhirnya kecintaan manusia pada lezatnya permainan menjadikan mereka lambat laun berubah. Tubuh agung mereka yang dibalut kulit kemudian sedikit demi sedikit dipenuhi bulu, sisik, dan corak, tangan kaki mereka bertambah, dan memiliki ekor, kain-kain yang menutup tubuh-tubuh perkasa mereka kini terlalu longgar kemudian jatuh hingga mereka kini telanjang bulat sebagaimana para binatang yang dulunya merangkak.

Melihat hal itu, para binatang sungguh bersukacita atas penampakan manusia-manusia di negeri atas awan ini. Menyaksikan manusia-manusia lapar itu tak pernah kenyang. Para binatang terus memberi makan dengan permainan-permanian lezat yang pernah ada di dunia. Bahkan manusia yang tak suka sekalipun akan mati kelaparan, percuma mereka memberontak, tak ada satupun yang mendengarkan mereka. Karena efek hidangan ini bukan main sangat menggoda dan melenakan seperti anggur merah.

Berbeda dengan binatang-binatang yang berubah 180 derajat yang kini tegak, bertubuh agung hingga menggunakan pakaian, mereka kini tampak menjadi manusia seutuhnya, bahkan orang-orang tidak akan tahu bahwa manusia-manusia itu dulunya hanya binatang merangkak, karena mereka telah mengambil otak-otak mereka. Siapapun yang hendak mencicipi makanan hendaknya rela menyerahkan satu-satunya barang yang paling berharga dimilikinya ialah otak mereka. Akhirnya anak keturunan mereka pun lahir tak berotak dan begitu tergila-gila oleh lezatnya menu hidangan yang diberikan orangtuanya.

“Beginilah cara kita untuk berterimakasih pada manusia-manusia itu,” sahut petinggi yang memakai pakaian kebesaran, tidak ada yang ingat lagi bahwa dahulu dia adalah seekor babi.

“Masakan kita sungguh lezat hingga mereka sendiri tak sadar dan kini kita berhasil merebut posisi mereka,” timpa petinggi lainnya, yang dahulunya hanya seekor monyet.

“Akan kita tunjukan pada dunia, kitalah manusia-manusia agung itu!” Manusia yang dahulunya adalah seekor ular berkomentar.

“Tak ada satu pun yang tahu bahwa dulu kita hanya bintang-binatang merangkak.”

“Aku tidak menyangka. Makanan-makanan lezat itu mampu menghadiahi kita negeri yang hebat ini. Kini kita bisa berjalan di atas tubuh-tubuh payah mereka.”

“Dunia tidak akan tahu, kalau-kalau otak-otak mereka kita ambil, sebagaimana bayaran mereka untuk cita rasa makanan yan lezat.”

Tahun 2020 masehi. Aku menyambangi negeri di atas awan. Berlinang air mataku hanya bisa menyaksikan manusia-manusia agung itu kini menjadi budak para binatang. Kepala-kepala mereka dengan congkak diinjak dengan sepatu-sepatu mengkilap. Dan tanpa kusadari, aku pun salah satu dari mereka. Hanya seekor binatang yang merangkak, yang hanya bisa menyelamatkan sedikit sisa-sisa otakku yang kini kujaga dengan penuh hati-hati.