![]() |
mojok.co |
Tahun 900 masehi. Pernah hidup lima juta manusia di sebuah negara yang paling indah di atas awan. Bangunan-bangunan arsitektur yang menawan dibangun di seluruh penjuru kota tersebut, tidak hanya itu, kemajuan-kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan lantaran semangat atas tuntutannya kepada ilmu pengetahuan menjadi warisan yang kuat digigitnya. Mereka belajar, bekerja dan melakukan pekerjaan yang hebat seperti bertarung dengan negara-negara yang juga berdiri di kaki awan, menunggangi kuda-kuda perkasa putih, memanah hingga berenang.
Binatang-binatang yang merangkak dan tinggal di kolong langit pun ikut belajar kepada mereka. Tidak hanya dari kolong langit, sejarah mencatat, dua negara terbesar di langit tertinggi pun yang semuanya dikuasai binatang mengarungi kabut putih hanya untuk belajar di negeri ini.
Di sana mereka belajar tentang membuang kotoran di tempat yang tepat, bagaimana caranya untuk mandi, menutupi tubuh mereka dengan pakaian hingga memakai parfum. Para binatang begitu tergila-gila akan pelajaran ini. Hingga berdampak pada kondisi fisik mereka. Lama kelamaaan para binatang yang awalnya merangkak menjadi mampu berjalan dan berbicara layaknya manusia di negeri ini. Manusia-manusia sungguh bahagia dibuatnya.
Tidak mau kalah, untuk berterimakasih kepada para manusia-manusia itu, perlahan tapi pasti, binatang-binatang itu mengajarkan mereka meraih kebahagiaan dengan sebuah hidangan istimewa yang belum pernah dicicipi para manusia itu, nama masakan-masakan itu bernama nyanyian, musik, dan drama. Karena manusia-manusia di atas awan ini tak pernah mencicipi nyanyian hingga memakan music, dan drama. Juga, mereka memiliki keinginan kuat untuk tahu cita rasa menu tersebut yang didengung-dengungkan para binatang di seluruh penjuru kolong langit, akhirnya manusia-manusia itu mencicipinya dengan sungguh-sungguh. Siang malam. Bahkan mereka sampai hampir ditelan oleh sang waktu, matahari dan bulan.
Di balik cita rasa nyanyian, musik, dan drama yang nikmat tiada tara, ternyata menyimpan efek samping yang jika dikonsumsi terlalu banyak. Akhirnya kecintaan manusia pada lezatnya permainan menjadikan mereka lambat laun berubah. Tubuh agung mereka yang dibalut kulit kemudian sedikit demi sedikit dipenuhi bulu, sisik, dan corak, tangan kaki mereka bertambah, dan memiliki ekor, kain-kain yang menutup tubuh-tubuh perkasa mereka kini terlalu longgar kemudian jatuh hingga mereka kini telanjang bulat sebagaimana para binatang yang dulunya merangkak.
Melihat hal itu, para binatang sungguh bersukacita atas penampakan manusia-manusia di negeri atas awan ini. Menyaksikan manusia-manusia lapar itu tak pernah kenyang. Para binatang terus memberi makan dengan permainan-permanian lezat yang pernah ada di dunia. Bahkan manusia yang tak suka sekalipun akan mati kelaparan, percuma mereka memberontak, tak ada satupun yang mendengarkan mereka. Karena efek hidangan ini bukan main sangat menggoda dan melenakan seperti anggur merah.
Berbeda dengan binatang-binatang yang berubah 180 derajat yang kini tegak, bertubuh agung hingga menggunakan pakaian, mereka kini tampak menjadi manusia seutuhnya, bahkan orang-orang tidak akan tahu bahwa manusia-manusia itu dulunya hanya binatang merangkak, karena mereka telah mengambil otak-otak mereka. Siapapun yang hendak mencicipi makanan hendaknya rela menyerahkan satu-satunya barang yang paling berharga dimilikinya ialah otak mereka. Akhirnya anak keturunan mereka pun lahir tak berotak dan begitu tergila-gila oleh lezatnya menu hidangan yang diberikan orangtuanya.
“Beginilah cara kita untuk berterimakasih pada manusia-manusia itu,” sahut petinggi yang memakai pakaian kebesaran, tidak ada yang ingat lagi bahwa dahulu dia adalah seekor babi.
“Masakan kita sungguh lezat hingga mereka sendiri tak sadar dan kini kita berhasil merebut posisi mereka,” timpa petinggi lainnya, yang dahulunya hanya seekor monyet.
“Akan kita tunjukan pada dunia, kitalah manusia-manusia agung itu!” Manusia yang dahulunya adalah seekor ular berkomentar.
“Tak ada satu pun yang tahu bahwa dulu kita hanya bintang-binatang merangkak.”
“Aku tidak menyangka. Makanan-makanan lezat itu mampu menghadiahi kita negeri yang hebat ini. Kini kita bisa berjalan di atas tubuh-tubuh payah mereka.”
“Dunia tidak akan tahu, kalau-kalau otak-otak mereka kita ambil, sebagaimana bayaran mereka untuk cita rasa makanan yan lezat.”
Tahun 2020 masehi. Aku menyambangi negeri di atas awan. Berlinang air mataku hanya bisa menyaksikan manusia-manusia agung itu kini menjadi budak para binatang. Kepala-kepala mereka dengan congkak diinjak dengan sepatu-sepatu mengkilap. Dan tanpa kusadari, aku pun salah satu dari mereka. Hanya seekor binatang yang merangkak, yang hanya bisa menyelamatkan sedikit sisa-sisa otakku yang kini kujaga dengan penuh hati-hati.
No comments:
Post a Comment