Sunday, November 25, 2018

Filosofi IPK

Filosofi IPK

"Bu, cepet! Aku mau masuk, nih!" Langit begitu cemas menyerahkan beberapa lembar kertas tugas.

"Sabar, Nduk, ini juga masih fotokopi punya orang."

"Bu ini urgent!"

"Iya-iya." Bu warung pun mengambil kertas Langit. Langit tersenyum puas, tidak peduli beberapa mahasiswa melirik gemes pengen menggigit dirinya karena asal nyerobot. Sebelum beranjak, Langit membeli beberapa wafer coklat dengan bungkus merah menggiurkan. Lalu segera kabur.

"Teman saya tadi kenapa, Bu, kayak kebelet gitu?" tanya seorang mahasiswi berwajah bulat sepeninggal Langit.

"Dia minta difotokopiin duluan, katanya mau masuk."

"Masuk gimana, Bu? Aku sama dia, kan, sekelas, Bu, hari ini dosennya gak masuk. Ibu kena jebakan batman lagi, loh, Bu!"

TWEWEWENGGG....
***

Embun membeli dua gelas air mineral. Lalu duduk di samping mahasiswa yang bertampang malas, di bawah pohon beringin, belakang open theater kampus.

"Ini buat kamu satu!" Langit menyodorkan sebungkus wafer, "kok lama sih? Haus, nih!" Mahasiswa yang tampak urakan itu segera mengambil air mineral Embun.

"Padahal aku belum ngasih, loh! Sudah kamu serobot aja!" Embun menggigit wafer coklat, yang coklatnya luar dalam, "tadi tuh ngantri, jadi lama! Memang kamu yang suka nipu Bu warung karena malas antri!"

Langit menggaruk kepala karena ketombean, ia pun membuang bungkus coklat itu di depan Embun, setelah menelan bulat-bulat wafer nikmat itu, macam tanpa dikunyah.

"Ih buang sampah sembarangan!"

"Cerewet banget, sih! Hidup-hidup aku, lagipula aku gak usah diceramahi pun sudah tahu."

"Mentang-mentang IPK cumlaude!"

Langit pun mencair, "Syirik lu! Itu kamu juga tahu!"

"Kasihan."

"Loh kok kasihan? IPKku itu murni karena kepintaranku, ya kadang aku memang sedikit nyontek, sih. Daripada kamu? Stagnan diangka 2.75 terus! Gak pernah naik!"

Mahasiswi itu pun menghela napas berat, "Memangnya IPK tinggi buat apa, sih?"

Bodoh! Masak gitu aja gak tahu. Batin Langit. Langit tersenyum mengejek, "Ya banyaklah, itu, tuh buat kita kerja, jadi dosen, dapat beasiswa, dikenal dosen, digelari, jadi kebanggaan, dihormati, kamu, sih, gak pernah jadi mahasiswa berprestasi jadi gak pernah ngerasain, kan?"

"Iya-iya." Embun mengembus lirih, gadis itu bangkit mengambil sampah plastik Langit, "kalau kamu pintar kenapa buang sampah sembarangan?"

"Kan, gak ada aturannya? Memang ini Singapura, Jepang, Inggris? Atau luar negeri lainnya? Lagipula biar Pak Dun ada kerjaan, kalau bersih, kan, dia bakal nganggur. "

"Kalau 44.932 mahasiswa berpikir hal yang sama, kita sudah gak kuliah Ngit, kita ditelan sampah."

"Kamu kenapa,sih? Mentang-mentang habis training jadi sok bijak gitu, aku aja yang biasa ikut, biasa aja tuh."

Embun tidak peduli sikap sok Langit, ia pun melanjutkan pembahasannya, "Kelihatannya, itu memang persoalan kecil, belum lagi soal antri, percuma, kan, wajib sekolah 12 tahun tapi gak tahu yang namanya antri atau buang sampah pada tempatnya! Antri itu bagaimana kita juga menghargai orang-orang, dan belajar sabar."

"Iya-iya." Langit tampak malas. Embun memperlihatkan androidnya, diliriknya smartphone sahabatnya itu, rupanya Embun sibuk membaca berita korupsi terbaru di sosmed, "heh, korupsi lagi, bisa miskin nih negara kita!"

"Kamu aja enek, kan, baca berita korupsi lagi?" Embun melirik, Langit menggaruk malas, "mereka yang korupsi ini orang pintar, loh, pendidikannya tinggi, di luar negeri lagi, IPKnya juga selangit."

"Terus?"

"Aku akui, mereka berhasil mendapat nilai tinggi, dan banyak guru berhasil mencetak murid berprestasi, tapi lupa mengajarkan kebiasaan kecil, yang bila tidak dilakukan akan menulis sejarah yang telah berulangkali, seperti menciptakan koruptor macam mereka."

"Ini karena mereka, pas seumuran kita bahkan sedari kecil, mengabaikan hal kecil, semisal nyontek, antri, buang sampah sembarangan, meminta izin mengambil atau memakai barang teman, tidak hormat pada orangtua dan teman-teman, hal kecil saja diabaikan, apalagi hal besar seperti korupsi, mengambil hak orang."

JLEB! Langit terbatuk karenanya, "Ehm gimana, ya? Emang, sih, ada benarnya juga, tapi aku gak yakin kalau kamu yang sampein." Mahasiswa berambut kusut itu tertawa.

"Dengarkanlah apa yang disampaikan bukan siapa yang menyampaikan, itu hanya pikiranku." Embun mengutip kalimat cerdas seorang cendekiawan, "tidak semua orang memiliki kebenaran, tapi kebenaran itu hanya dimiliki orang-orang yang mencarinya."

Dan aku tidak ingin kamu, Langit. menjadi salah satu di antara orang-orang pintar itu! Embun berdesis.

Thursday, November 22, 2018

Hari Yang Baik Untuk Es Krim


Hasil gambar untuk ice cream and child
Hari Yang Baik Untuk Es Krim

Hampir tidak ada manusia yang tidak menyukai makanan lembut meleleh di lidah, berwarna warni yang membuat menelan ludah, dengan cita rasa beraneka ragam, mulai dari rasa susu hingga bebuahan, followernya adalah bocah ingusan bahkan sampai bocah kumisan. Dia adalah es krim.

Bagiku, itu adalah makanan eklusif yang hanya bisa dinikmati anak pejabat dengan pulus yang mulus, sedang bagi anak bungsu dari delapan bersaudara, dengan gaji PNS Bapak yang pas-pasan, itu adalah takdir yang paling menakjubkan untuk terjadi!

Usiaku saat itu 8 tahun, hanya bisa melirik es krim yang dikemas menarik dengan gambar tokoh kartun. Jangankan untuk es krim, beli bakso saja harus ada adegan seperti ini!

"Mas-mas, banyakin kuahnya, ya!" Saat itu, tahun 2003, aku ingat kami sekeluarga menghabiskan momen romantis tuk bermalam minggu dengan membeli bakso seharga 5 ribu rupiah, dengan kuahnya sebaskom dan bakso kecil 10 butir.

"Ikaaaa! Sana beli mie instant 3!" titah Mamak memberiku uang 1500 rupiah. Aku pun berlari sekuat kuda, sembari membayangkan bakso yang akan dibagi 10 dengan mie, kuah, bakso daging sapi ditambah sambel, saus dan kecap. Aku menelan ludah.

Lamunanku terhenti ketika mendengar Bapak memanggilku, aku pun beranjak dari mini market, meninggalkan es krim yang berdiri indah di dalam etalase kaca. Dan berbalik sendu. Beliau mulai menstater motor dinasnya, meninggalkan kantor DEPAG.

Dengan jajan 300 rupiah--awalnya 200 rupiah, lalu ditambahkan 100 rupiah karena aku naik kelas, aku pun menabung setiap hari 100 rupiah, yang 100 rupiah kubelanjakan di sekolah, dan 100nya dikasih ke temanku bernama Sunarti, anak orang Makassar yang orangtuanya bekerja jadi tukang ojek.

Aku bertekad untuk makan es krim bersama Bapak!

Tabungan itu kutaruh di bawah kasur Mamak. Aku mencoba berhitung, sepertinya butuh 40 hari menyisihkan jajan untuk membeli es krim seharga 2000, dan jika beli 2 jadi 4000. Tak apalah!

"Tunggu saja es krim! Kalau tabunganku cukup aku akan beli kamu!" bisikku padanya, memandang etalase kaca toko, sembari menunggu Bapak di kantornya. Aku tak bisa membayangkan senyum cerah beliau yang meskipun ompong, tapi tetap gagah. Iyalah! Beliau kan Bapakku! Aku pun bertekad, "aku mau kaya biar bisa beli es krim!" Berbicara pada es krim seperti pembebasan tahanan seumur hidup, yang ingin kujilati dan lahap tanpa dikunyah, langsung telan.

Tak terasa hampir 2 bulan kumenabung, waktu itu hari minggu, aku pun berdebar membuka tabunganku di bawah kasur. Seperti kesetrum colokan, aku berteriak macam serigala yang meratap.

"ADA APA INI?" Mamak berhambur masuk.

"Uangku, Mak? Uangku?"

"Kenapa uangmu?"

"Uang yang kutabung setiap hari di sini sisa 1000 padahal kan harusnya 4000!" Aku pun mengerang menangis, "SIAPA YANG CURI UANGKU?" beberapa Kakakku yang sering membullyku berkumpul di depan kamar, bahkan mereka tertawa. Aku mengambil uang seribu receh itu kulemparkan ke wajah mereka, dan berlari sembunyi di atas pohon jambu batu di belakang rumah.

Mereka baku rebut uang di lantai. Tapi Bapak yang datang meminta kembali uang tabungan adik mereka yang sering kena bully-karena aku anak bungsu dan manja.

"Siapa yang ambil uang adekmu?"

"Bukan aku!"

"Aku juga bukan!"

"Ini mungkin!"

"Enak aja! Bukan!"

"Oh ini mungkin!"

Yang ditunjuk pun menelan ludah, "Aku pikir itu tidak ada yang punya!" Arif menggaruk kepala, "sudah kubelikan bakso!" dia bersendawa mengeluarkan wangi daging bakso beserta cabe dan sausnya.

"Huh makan sendiri!" Yanti mendorong kepala di depannya.

Sejak saat itu, aku tak pernah lagi menabung! Impianku makan es krim bersama Bapak telah punah! Bahkan sampai sekarang, tapi kini aku berdiri di depan etalase toko yang beraksitektur modern, kulihat es krim yang kudambakan telah berubah kemasan dan harga, kini seharga 7000 rupiah, dan Aku tentu bisa membelinya! Setelah 15 tahun lamanya!

Aku bahagia bisa membelinya, sungguh aku bisa memegang kemasannya, membuka bungkusnya, mencium aroma vanila susu, merasakan dinginnya es krim ini sampai mengepul asap es. Gerimis diujung mataku segera kusapu.

 Dahulu, waktu kecil aku meminta pada Tuhan untuk bisa ke sorga, biar bisa makan es krim bersama Bapak. Kini, kulakukan hal yang sama sembari menikmati manisnya es krim di hari yang baik.

Wednesday, November 21, 2018

Hantu SOSMED

Image result for hantu cantik
Hantu SOSMED

1/4 abad umurku, tapi aku takut hantu! Waktu masih bau kencur, aku adalah korban bully. 

Saat bangun jam 00.00 WIB pada malam jumat untuk menunaikan hajat, tetiba di belakang, kulihat kain putih tanpa kepala bergerak horor, tak sengaja, aku histeris teriak, kaki pun kena air seni, dan ternyata itu masku yang juga bangun lalu memakai mukena ibuk, yang lebih parahnya ia pun tak luput dari cipratan air, urea, garam dan materi organik lainnya yang dinamai air kencing.

Sejak saat itu, segala bau horor di depan, aku musnahkan! Wajahku bertekuk tiga melihat kiriman cerpen beberapa peserta yang berbau-bau misteri. Pengen rasanya aku delete aja tuh berkas, tapi kasihan! Itu namanya tidak profesional!

Beberapa hari kemudian, aku sengaja melakukan siaran langsung di sosmed, memberikan tips menulis cerpen bagi penulis pemula, berkumur-kumur di depan laptop, tanpa memperlihatkan wajah antikku, hanya suara, kedua tangan pun mengetik. Tak disangka fansku banyak juga, banyak yang memuji suaraku yang asyik dan ganteng. 

*** 
Pukul 00.00 WIB aku terbangun, karena kebanyakan ditraktir kopi di kantor tadi sore, aku pun  iseng, kumelirik email kantor di androidku, "Ada pesan baru!" gumamku. Aku bernapas lega, untung bukan cerita horor lagi, peserta kali ini namanya cantik, nama penanya Luna Maya, kumulai baca karyanya. Kupegang perutku, ujung mata langsung berembun. "Gila nih cewek, koplak banget cuk!"

Bahkan sampai sad ending, aku tetap ngakak. Asyik banget rasanya ini cewek, sayangnya, yang dikirim itu beberapa fiksi mini, tapi yang disebutnya cerpen. Aku pun berniat melakukan siaran langsung lagi di sosmed. Untuk menjelaskan kembali aturan mainnya.

Beberapa cerpen yang dikirim Maya masih menggentayangiku, gadis berumur 20 tahun itu menulis cerita tentang penderitaannya yang mengasyikkan dan dibawa santai. Meski gaya cerita koplak, tapi selalu ada pesan tipis yang disampaikan. Kutatap fotonya, nampak rambut panjang Maya tergerai, asal dia jangan keluar malam-malam dengan rambut panjang terurai, susah bedainnya! Di foto, kulitnya putih pucat, dia cantik tapi horor, untungnya karakter kepenulisannya asyik dan hidup. 

Bahkan aku sebagai salah satu tim penyeleksi karya pun dibuat terbayang, dan menebak apakah ini kisah nyata, dan pengalaman penulis? Sumpah aku penasaran!

Aku mulai menjelajahi beberapa tulisan peserta, mulai dari karya penulis pemula dan senior, memiliki karakter dan kekhasan sendiri. Ada yang begitu romantis, menambah gairah, membuat melo, atau sad ending, terbawanya aku kedalam cerita-cerita mereka, berarti berhasil menciptakan tulisan yang hidup, tapi, tidak semua tulisan mampu diterima, dilihat dari kesesuaian tema dan pesan!

Pukul 00.00 WIB kuterbangun, tapi tak menemukan email dari Maya, mungkin gadis timur itu sudah berbahagia dengan hidupnya, sehingga tidak mengirimkan cerpen lagi. Dan jujur aku penasaran setiap karyanya, meski hanya sedikit karya yang bisa tembus, tapi aku suka karakternya, dari gaya penulisan, sudah mampu kubayangkan sang penulis seperti apa, kesehariannya, pengalamannya, sifatnya, karena secara tak langsung penulis itu akan mencipta karakter dan cara pandang sesuai dengan dirinya.

"Kamu pernah naksir cewek gak?"

Aku tersedak, kemeja putihku kesembur kopi mocca, "Ancuk! Apa maksudmu nanya begituan? Aku tuh normal!"

"Jangan marah, loh, ya! Itu aku loh yang traktir!" Adi tersenyum meneguk kopi susunya, "tapi aku
gak pernah tuh lihat kamu lirik-lirik ciwik."

"Malas! Takut dosa!" Aku tertawa. Entah tetiba aku mengingat sosok itu, Luna Maya, begitu menggentayangi ruang hatiku, seperti hantu. Kadang aku ingin menghubunginya, tapi malu!n Gak profesional! Ini kan masalah kotroversi hati, bukan pekerjaan!

Hingga, jam 00.00 malam jumat, aku membuka email, mangap mulutku melihat kiriman cerpen darinya, kulahap habis itu cerpen tanpa kedip, sampai sakit perutku terobok, saking kocaknya.

Aku siap menghubungimu, mengatakan dari 7 cerpen yang kamu kirim, hanya 2 yang lolos, tapi tak apalah, aku yakin dengan karaktermu yang kuat dan unik, pasti banyak yang akan menyukai karyamu, seperti aku, yang telah jatuh hati.

"Halo selamat malam?" Kupilih waktu di luar jam kantor, biar tidak dibully Adi dan kawan-kawan. Apalagi sebenarnya tidak harus calling, bisa pake email untuk konfirmasi.

"Iya, ini siapa ya?" 

Aduhai Ibuk, aku bisa mendengar suara itu, suara bahagia dan seperti lagi tersenyum. Terbayang wajah ceria Luna Maya di foto.

"Ini Luna Maya?" tanyaku penasaran. Di sana senyap, hanya berdeham kecil jawabnya, "saya Jaka, tim redaksi, mau mengkonfirmasi kalau cerpen yang mbak kirim, dari 7 cerpen, kami menerima 2, dan honornya sudah ditransfer di rekening mba Luna," Aku merona, gugup rasanya. Mataku membesar, kudengar di sana, hanya ada suara isakan, mungkin Maya begitu bahagia, karyanya bisa lolos.

"Terima kasih banyak, ya, Mas."

"Sama-sama Mba Luna," jawabku malu, seperti berbicara pada kekasih yang dirindu.

"Maaf, mas, sebenaranya saya bukan Luna, saya kakaknya, Lunanya sudah... gak ada sejak setengah tahun yang lalu, dia kecelakaan." Gadis itu mengatur napas, "adik saya Luna, suka banget menulis, tapi gak sempat ngirim tulisannya, nah, saat itu saya lagi kerja dan ngebuka tulisannya di laptop yang biasa Luna pinjam buat nulis, nah, saya kirim deh tulisannya setelah nyelesain tugas, maaf, ya, Mas, kalo ngirimnya tengah malam."

Aku tak tahu cara bernapas! Tubuhku beku, mataku berputar, kulirik ke samping, sosok putih di antara remang-remang berdiri mematung. Melihat ke arahku!

Aku pingsan. 

Sayup-sayup kudengar hantu-hantu itu mengobrol.

"Woi Jakaaa!"

"Sudah kubilang, kan? Jaka itu penakut banget, lepas, tuh, mukenaku, ntar kotor!"

Adi begitu bingung, ia menyuruh Sri menaruh kue ulang tahunku ke meja, dan membantu menyeret tubuh kurusku yang terkapar di atas lantai.

Tuesday, November 20, 2018

Beauty and the Bear

Hasil gambar untuk beauty and the beast
Beauty and the Bear
Kupikir dia akan berubah menjadi pangeran tampan. Ternyata si buruk rupa itu menjadi tambah jelek dari sebelumnya. Menjadi pangeran dengan perut berlipat tiga seperti beruang hamil!

"Kamu ingin memesan apa, Belle?" tanya Papa mempersiapkan Philips sebelum berangkat.

"Pisang lagi?"

"No, Papa!" sahutku menjerit.

"Oh iya, Papa ingat, kamu sampai tujuh kali ke kamar kecil karena--"

"Mawar!" Aku menutup wajah memerah. "Aku mau mawar, Pa!" kataku tegas melirik tetangga yang menonton kami.

Papa maju menepuk pipi merahku, "Wah, anakku yang cantik, tidak biasanya kamu memesan yang manis-manis, terakhir kali Papa ingat ... kamu meminta dibawakan jodoh berupa pangeran tampan kaya raya, satu peti emas, dan mumi fir'aun."

"Cukup, Papa!" Aku menahan malu. "Lihatlah kuda Papa yang hampir kering menunggu Papa. Berangkatlah!"

Aku melambai tangan. Aku tahu pertanyaan tadi hanya alasan untuk mencari muka tetangga. Nyatanya Papa begitu kikir, bahkan biasanya hanya membawakan pakaian kotor yang harus aku cuci.

"Oh Tuhan ... kapan hidupku akan berubah?" Lamunanku terhenti mendengar lonceng pada menara jam dinding, memunjukkan pukul 08.00 a.m. Aku pun berlari sembunyi di rumah. Kukunci pintu rapat-rapat. Karena, ini adalah waktunya dia ....

"Halo? Belle?" Suara di balik pintu itu terdengar kuat memanggil. "Belle!" 

Aku menghela napas berat. "Waktunya tepat, ini waktu Gaston untuk bertamu," bisikku. "Menjadi cantik itu merepotkan." Aku mengipas diri, menunggu Gaston mengering suaranya memanggilku. Aku tersenyum tipis. Meskipun laki-laki berotot itu hendak mendobrak, aku sudah memanggil pandai besi untuk melapisi pintu itu dengan palang besi, dan beruntung, tukang besi itu bekerja dengan tidak meminta upah, karena aku cantik.

***

Suara gedoran pintu itu membangunkanku, kuintipnya dari lubang kecil di pintu. Berdiri laki-laki tua yang tampak menyedihkan. Dia?

"Papa?!"

Tubuh Papa gemetar memberikanku setangkai mawar berduri. Aku terkejut sedih. Kututup mulut mungilku rapat-rapat mendengar cerita Papa. Aku menangis, "Papa mencuri mawar di taman istana, lalu menukarku sebagai ganti masa tahanan Papa?" Laki-laki berambut putih itu mengangguk, membelai rambut coklatku. "Baru kemarin aku berdoa agar hidupku berubah."

"Terkabullah sudah. Kalau kamu tidak betah, melarikan dirilah dengan satu peti emas, Papa melihat, makhluk itu menimbun harta rampasan perang yang bernilai mahal." Aku mengangguk paham. Aku akan pergi menunggangi Philips.

***

Pintu raksasa di depanku itu terbuka lebar, betapa mewahnya bangunan ini, ditumbuhi pilar-pilar marmer menawan. Ketakjubanku lenyap saat mendapati sebuah lilin, jam, gelas, teko menyapaku.

"Jangan kaget, nona," kata sebuah lilin. "karena tuan kami lebih menyeramkan dari kami." Lalu sebuah jam berwarna keemasan memukul kepala lilin karena telah menghina tuannya. Mereka saling memukul.

"Abaikan saja mereka," kata teko yang bersuara keibuan. Lalu cangkir kecil juga menyahut sama.

"Betul-betul-betul."

"Mana tuanmu?" tanyaku ramah mengangkat cangkir porselen kecil.

"Itu! Di belakangmu."

Baru kusadari bayang gelap yang daritadi membungkus tubuhku berasal dari makhluk di belakangku. Aku mengumpulksn nyali untuk bisa menatap sosok itu. Lalu berbalik. Kukatupkan bibir agar tidak berteriak. Kutelan teriakan yang berujung sendawa ke arah makhluk buas itu. "Ups, sorry ...."

Matanya yang hijau pun menyalang, tubuhnya yang kekar dipenuhi bulu lebat dengan dua tanduk di kepala mulai bergerak. "Anak pencuri!"

Aku menelan ludah. Aku berlari menjauh dari makhluk buru rupa itu. Dia tahu rencanaku.
"Jangan keluar! Bahaya!" Teriak teko porselen.

Aku tidak peduli. Aku tetap lari menuruni anak tangga, menunggangi Philips, berlari ke arah hutan yang diselimuti salju. Salju di bulan Juni. Aneh. Aku berbalik mendengar suara, bukan Beast yang mengejarku melainkan serigala-serigala lapar.

"Ayok Philips! Cepat!" seruku panik.

Philips melompat tinggi, tapi salah seekor serigala besar berhasil menjangkau kaki kiri Philips sehingga aku terjatuh dari Philips. Kuda putih itu mengerang kesakitan. Kematiannya di depan mata.

Beginikah akhir kisah Belle si beauty? Batinku menutup mata.

Lalu serigala-serigala itu mulai berjatuhan, terpelanting di atas pohon, masuk ke dalam lubang atau menabrak batu.

Makhluk itu yang melakukannya?

Dia menolongku. Aku pun bangkit berlari menuju Philips. Saat si buruk rupa itu berbalik melihatku, seekor serigala abu-abu berhasil menggigit bokongnya. Dia melonglong. Longlongan yang menyakitkan membuat semua serigala berlarian. Makhluk itu tersenyum, giginya yang panjang membuatku terkejut. Dia pun terjatuh.

"Kamu tidak apa-apa?" tanyaku khawatir. Napas makhluk itu naik turun. Bulu-bulunya mulai rontok. Daun mawar yang terakhir pun jatuh dari tangan makhluk itu. Sinar mata itu pun menghilang. Dan anehnya aku menangis. Makhluk itu lalu berubah.

Kupikir dia akan berubah menjadi pangeran tampan. Ternyata si buruk rupa itu menjadi tambah jelek dari sebelumnya. Menjadi pangeran dengan perut berlipat tiga seperti beruang hamil!

Pangeran itu membuka mata. "Aku kembali," tawanya berseri. Semuanya bahagia kecuali aku. Para penghuni istana berkumpul, bersuka cita. Pangeran masih tertawa, dengan perutnya yang naik turun.

"Jangan bahagia dulu Psngeran! Kamu harus membayar semuanya!"

Kami berbalik kaget. Seekor beruang hitam berdiri di depan.

"Bukankah kutukan itu sudah berakhir?" Pangeran tampak ketakutan.

"Kamu baru membayar bunganya, kamu harus membayar darah untuk keserakahan yang telah membunuh bangsaku, mencuri harta, dan mendirikan istana di tanah kami!" Mata itu menyalang.

“Sudah bukan?” tanyaku.

Kulihat di belakang beruang, Gaston berdiri tersenyum nyalang.

Wednesday, November 14, 2018

When I Marry You

Hasil gambar untuk menikah
When I Marry You

Cinta pandangan pertama selalu mengejutkan, seperti gempa tektonik 7 skala ritcher yang membuat terkaget-kaget!

Cinta pertamaku begitu aneh, tangkapan mataku pertama kali saat kau duduk di kursi tamu mengambil porsi paling sedikit, dan kamu tampak tersiksa oleh menu pesta itu. Kalau boleh jujur, aku ingin duduk di sampingmu. Bertanya nama bapakmu, bersyukur karena melahirkanmu, maksudnya beliau ikut andil akan keberadaanmu, yang tentu ibumulah yang mengeluarkanmu seperti permainan sirkus yang penuh kejutan dan resiko.

Aku ingin di sampingmu, tapi mustahil, karena aku duduk di pelaminan bersama pasangan yang telah 10x berganti musim, dan berending di pernikahan. Kenapa aku baru bertemu denganmu di acara pesta pernikahanku?

"Kita beneran menikah, Cal." Gadis yang tampak begitu mempesona itu tersenyum, gigi kelincinya setengah tampak.

"Iya." Kuikut tersenyum, entah meskipun Cia bak bidadari di hari ini pun, aku tetap merasa kosong, mungkinkah aku jenuh pada gadis cantik selama 5 tahun kami berkasih? Aku melirik kaku, kutatap tetamu yang hadir, sekedar memberi selamat, doa, wejangan, mengisi kotak dengan amplop atau menumpang mengisi lambung.

Pandanganku tertunduk, kutatap salah seorang tamu dengan sandal ninja hitam, anehnya kamu memakai gaun merah maron dan pasmina peach. Stylemu saat itu begitu kontras! Aku tertegun ketika melihat kamu tidak berselera makan, bahkan membagi menumu dengan kucing kurus yang menerobos ke tenda pelaminan.

Alunan melodi yang dinyanyikan membuat di sini begitu cengeng, berharap aku ingin bertemu denganmu lebih dulu. Kamu antik! Kamu berbeda! Apa adanya, dan sederhana. Siapa namamu?

"Ical, lihat siapa?"

"Hah?"

Seketika aku menggeleng. Hanya memberi Cia senyum penuh kebohongan. Tiba-tiba, sahabatku Wahyu beserta rombongannya mengagetkanku dengan dekapan salam dan doa, "HEY! FOTO-FOTO!"

Aku kikuk, kamu pun juga ikut berfoto, dan berdiri di sampingku, di saat tetamu bergaya elegan nan formal, hanya kamu yang berpose bebas dengan model tangan 2 jari diangkat, aku tersenyum kecil. Kamu menangkap mataku, hanya anggukan basa-basi yang kamu beri. Situasi apa ini ya Tuhan?

 ***

"Siapa ini?" tanyaku pada Wahyu, foto gadis antik yang ke pestaku sebulan yang lalu.

"Kamu jauh-jauh datang ke sini hanya untuk menanyakan ini?" Wahyu tampak kaget. Aku hanya mengangguk patah-patah, "harusnya, tuh, kalian honeymoon!" godanya.

"Wahyu, siapa ini?"

"Iya-iya Cal, sabar donk! Dia temanku, ya kayak teman organisasi gitu, namanya---"

Aku segera menutup mulut besar Wahyu, "Stop! Jangan sebut namanya!"

"Hey kenapa sih? Kamu aneh! Jangan bilang kalau kamu naksir, loh, ya!" Aku terdiam lama, tapi Wahyu sahabatku begitu tahu karakterku, "nah, betul! Sudah kubilang, kan, jangan pacaran lama-lama, bosen Cal! Pas nikah sudah gak greget lagi! Apalagi ujiannya rumput tetangga seringnya lebih ijo, tuh." 

Aku hanya bisa menelan ludah. Susah, Wahyu! Aku, kan, cakep, banyak yang naksir, gak sama sepertimu! Wajarlah aku pacaran! Tapi... kadang-kadang betul juga apa yang dikatakannya.

Wahyu merobek foto yang ada kamu di dalamnya, aku terperangah, "Ical, waktu akan menjadi penawar untuk hatimu yang melorot!" Aku memandangnya sedih. Hanya foto itu yang bisa membuatku mengingatmu! Dan aku harap sobeknya foto kamu, ruang yang penuh kamu di hatiku pula lama-lama habis.