Monday, December 10, 2018

Dua Pemuda dari Kota

Gambar terkait
Dua Pemuda dari Kota

"Siapa itu?" tanya Mei terpukau.

"Itu Yusril," jawab Ara tersenyum, mereka memperhatikan sosok yang baru bergabung di pesta, dari cara berjalan pria itu, Mei yakin sosok itu pastilah bukan orang miskin yang menyamar, caranya menyambut senyum, gaya pakaiannya khas orang kota dengan setelan jas, juga bau parfumnya. "Kata orang-orang, Yusril itu pengusaha muda, penghasilannya bisa nyampe ratusan juta lebih," lanjut Ara. Mei tersenyum kagum.

"Kalau yang di sampingnya itu?" tanya Mei penasaran. Sesekali ia tertawa.

"Yang mana?" Ara fokus melirik. "Oh yang itu!" Ara melihat pemuda berambut tebal, bergaya elegan.

"Yang mukanya kayak orang lagi nahan kentut."

"Hei, jangan begitu!" Ara tersenyum. "Barusan aku dengar dari kepala desa. Namanya Jaya, yang kamu bilang lagi nahan kentut itu pengusaha muda juga, loh, penghasilannya setahun bisa nyampe M."

"M beneran? Bukan ember?"

"Iya, Maimanah sayang." Ara lagi-lagi tersenyum tipis, membuatnya tampil semakin mempesona, sedang Mei tak bisa menahan diri untuk tertawa. Ia melirik dua pemuda dari ibu kota itu. Menurutnya Yusril berperangai menyenangkan, laki-laki kaya, tampan, baik hati dan tidak sombong. Sungguh mangsa menarik bagi calon mertua yang sudah menetapkan buruannya, sedang Jaya, adalah pemuda yang lebih tampan dan kaya dari Yusril, ia juga merupakan sasaran yang paling empuk, tapi sayang, saat gadis-gadis mencuri perhatiannya, bahkan para orangtua mereka, Jaya bersikap congkak. Dan mereka langsung bubar jalan lalu membenci Jaya, menjadikannya topik hangat, meski tetap bermuka dua di depannya.

"Mei, kamu ngapain di situ? Sana ajak Yusril kenalan! Barangkali dia jodohmu!" seru perempuan tua yang masih memperlihatkan keelokkannya.

"Malu, Ma!"

Maimanah pun langsung ditarik Mamaknya mendekati dua pemuda kota itu, mereka sedang menonton tarian lulo acara pesta botting mewah. Ara, sahabat Mei pun juga ikut. Mamaknya dengan mulut keibuannya yang khas mampu mensukseskan rencananya. Sudah lama ia bercita-cita untuk menikahkan segera si perawan ting-ting ini yang tidak kunjung laku, apalagi Mei mempunyai enam adik perempuan, beliau begitu berhajat anaknya berjodoh dengan pria kaya, hampir 24 jam beliau berdoa nonstop untuk hajatnya. Dan saat pesta pernikahan bagi orang bugis adalah waktu yang tepat untuk mencari jodoh. Apalagi dengan kedatangan tetangga baru mereka yang maskulin.

Mei dan Ara bisa mencium minyak wangi mereka, sungguh berbeda sekali aromanya dengan bau lelaki di kampung yang selera parfumnya tidak bermerek dan murahan. Mei cukup terpikat dengan Yusril yang begitu sopan dan ramah, sangat berbanding terbalik dengan Jaya yang sok keren dengan tatapan tajam dan sombong.

"Kenapa Yusril malah dekat sama Munawara? Kenapa bukan sama kamu?" tanya Mamak galak.

"Lha, gimana, Ma? Wajarlah, Ara, kan, cantik dan baik hati, meski sering dengar gosip." Mei tertawa kecut.

"Ya Allah, jangan-jangan anakku ini nanti jadi perawan tua? Padahal umur 18 kayak kamu, Mamak sudah punya 2 anak!" Mamak melotot. Mei bergaya tampak iba, untuk menghormati Mamaknya yang cerewet.

Dari jauh Mei bisa melihat Ara menari bersama Yusril. "Ah, Ara memang orangnya baik, cantik lagi, pantas saja dia cepat dapat jodoh." Mei tertawa. Ia tak sengaja melirik teman Yusril yang berdiri mematung di dekatnya menonton tarian lulo. Tak sengaja Jaya menangkap ekor mata gadis bermata bulat itu, untuk bersopan santun, dengan terpaksa Mei pun ramah menyapa Jaya. "Gak ikut menari?"

Laki-laki itu menatap tajam sejenak lalu menggeleng tegas. "Tidak!"

Mei mengangguk dan tertawa akan sikap aneh pemuda dari ibu kota itu. Ia pun beranjak. Sementara Jaya sangat tersinggung atas sikap lancang Mei yang tampak jelas mengejeknya. Gadis ramping yang bergerak gesit itu menabrak tubuh di depannya. Sosok itu kaget dan berbalik. 

"Mau menari?" ajak laki-laki itu ramah.

Mei mengangguk mantap menyambut tangan sosok yang baru ditemuinya, tidak pernah ia melihat pemuda setampan Arsyil di desa. Mereka pun bergabung dalam tarian, berputar ke kanan, mengayunkan kaki ke depan belakang, lalu berputar lagi ke kiri. 

Arsyil pandai menari, perangainya pun menyenangkan, bahkan bisa dibilang begitu amat menyenangkan dan juga baik hati nan sopan.

"Kenapa kamu tidak ikut menari, Jay?" tanya Yusril sumringah, di sampingnya berdiri si cantik Ara.

"Aku tidak bisa menari!"

"Ya Belajarlah!"

Mereka berbalik, Mei yang tiba-tiba bergabung langsung menghakimi. Ia pun gugup dan malu karena sikapnya kurang adab. Diliriknya Jaya tampak begitu jengkel. 

Tak lama kemudian. Jaya dan Yusril pun hendak pamit. Mei juga pergi mencari adik-adiknya yang tentu sibuk cari jodoh dan memenuhi perut mereka.

"Seperti biasa, kalau keramaian begini, kamu suka tersiksa." Yusril tersenyum mengejek Jaya.

"Sebaliknya dengan kamu!"

"Iya, Jay, aku happy banget."

"Bagaimana tidak, kamu menari dengan satu-satunya gadis cantik di desa ini!" Jaya berkomentar.

"Wah, selera kita sama. Bukannya, sahabatnya juga cantik, kenapa tidak ajak menari?" tanya Yusril penasaran.

"Mukanya pas-pasan." Jaya serius komentar. Yusril tertawa. Mereka pun menaiki mobil silver yang terpakir tak jauh dari sarapo. Tersedak, Mei segera mencari dan meminum air. Hampir saja ia mati kehabisan napas. Gadis itu begitu kesal dengan sikap congkak Jaya yang menjudge wajahnya pas-pasan. Kalau saja boleh, Mei hendak menyumpahi Jaya agar menelan kata-katanya, atau setidaknya laki-laki sombong itu yang meskipun gagah dan kayanya minta ampun itu tidak mampu menikah dengan gadis cantik di seluruh jagat raya. 

***

Saat Mei menjemur coklat di halaman samping rumahnya yang luas, Ara segera menghampirinya, sembari membantu meratakan biji coklat yang akan dijemur, sesekali Mei terperanjat kaget ketika ia mendapati biji coklatnya bercampur dengan kotoran kambing. Tapi bukan itu yang Munawara ingin bahas, melainkan tentang Yusril, pemuda flamboyan itu akan ke rumahnya, berkenalan dengan keluarganya.

"Wah, secepat itu?" Mei girang erat memegang tangan gadis cantik di depannya, ia lupa kalau Mei habis bersentuhan dengan kotoran kambing. Maimanah berseru semangat. Baginya kebahagiaan sahabat baiknya adalah kebahagiaannya juga, ditambah pertemuannya dengan Arsyil, pemuda tampan yang pernah ditemuinya seumur hidup di desa kecil. Satu-satunya hal buruk sepanjang ia bernapas adalah, jika dia harus bertemu dengan sahabat Yusril, yakni Jaya, si pemuda kaya yang bertampang susah, kayak sedang menahan kentut.

Malam itu tiba, mobil angkuh memaksa masuk ke jejalan berbatu dengan latar pematang sawah di sisi kiri, sedang di sampingnya diisi pepohonan coklat. Ara dan Mei mengintip dari balik jendela. Merona seketika wajah Ara melihat sosok berwibawa itu. Mei tertawa bahagia, lalu seketika kebahagiaannya terhenti melihat sahabat Yusril serta merta ikut.

Keluarga Ara begitu kikuk menyambut tamu mereka, rasanya mereka seperti mimpi, untungnya putrinya mempesona dan baik hati, sehingga mimpi itu nyata, bukan fiksi. Yusril tampak sangat ramah, ia cepat berbaur, sementara Jaya seperti biasa, berlagak congkak dan dingin. Menjawab seperlunya jika ditanya.

Setelah acara makan malam seadanya--yang cukup mewah bagi orang desa, mereka pun bercengkrama ditemani pisang goreng, teh pekat, dan permainan domino. Yusril pun larut dalam aktivitas bersama Ara dan keluarganya. Tinggallah Jaya mematung dikerumuni nyamuk. Mei melirik dan menahan tawa.

Mei lalu beranjak mengambil teko yang berisi teh pekat manis di atas meja. Kini ia persis di dekat laki-laki sombong itu. Mei meliriknya kesal, tidak percaya bahwa di rumah sahabatnya pernah duduk bahkan tertidur pemuda berpenghasilan M yang Meski gagah tapi congkak!

"Kamu suka ketawain orang!"

Mei hampir menjatuhkan teko itu, lalu segera menguasai diri, gadis itu memandang bulat, menertawakan sikapnya. "Kamu sendiri? Somb ... eh, maksudku pendiam.” Mei masih mengingat jelas ketika Jaya mengatakan wajahnya pas-pasan, ia seperti ingin menyeduh air teh ke kepala pemuda kaya di depannya itu biar botak. 

"Kamu juga merasa hebat sendiri!" Mei berdesis.

"Jadi begitu pendapatmu?" Jaya menatap dingin.

"Iya," jawab Mei berwajah ketus, tapi ia sengaja menyembunyikannya. Jaya berpaling darinya.

"Seumur hidup baru kali ini aku bertemu makhluk sesombong itu." Mei datang menaruh teko lalu berbisik ke Ara. Gadis cantik itu mengelus tangan di pundaknya lalu tersenyum menghibur.

***

"Di sini tempat kerjaku dulu!" Laki-laki kampung itu menunjuk pabrik besar berdiri gagah yang jauh dari jalan beraspal. Mei terpukau. Arsyil hanya bisa menatap pasrah. Saat itu, Mei berjalan kaki pulang dari rumah keluarganya yang sakit, melewati pabrik, ia penasaran dan akhirnya bertemu Arsyil setelah beberapa bulan lamanya.

Mobil silver berjalan lambat kemudian berhenti di depan, turunlah pemuda dengan kardigan gelap dipadu baju kaos, dan celana jeans, baunya mewangi elegan, membuat ingin betah berlama-lama bersamanya. Ia melirik mereka. Arsyil terkejut, lalu melempar senyum. Mei menatap mereka bergantian. Gadis bugis itu pun penasaran. Jaya memandang dingin, lebih dingin dari biasanya.

"Ada apa?" tanya Mei penasaran, sembari memperhatikan langkah cepat Jaya yang masuk ke dalam pabrik pengolahan coklat.

"Dia pemilik pabrik ini."

"Hah? Pemilik Pabrik ini?"

"Pak Jaya membelinya beberapa bulan lalu, sebelum kedatangannya, aku sudah lebih dulu kerja. Dan aku dipecat." Arsyil menunduk dalam-dalam, "karena aku tidak dapat dipercaya katanya, kesalahan kecil pun tidak akan dimaafkannya."

"Kesalahan apa itu?" tanya Mei iba.

"Aku meminjam uang Pak Jaya, mamakku sakit, tiba-tiba dia minta kembali, uangnya sudah kupake, dan aku dipecat."

Mei begitu sedih mendapati penuturan Arsyil, ia melihat kejujuran yang tulus dari tatapannya, dan itu membuatnya semakin memupuk kebencian mendalam pada si sombong Jaya.

***

Undangan itu tiba, ternyata Yusril begitu serius, keluarga dan tetangga pun diundang ke rumah mewah Yusril untuk acara pertunangan. Bagi masyarakat desa, mereka tidak terbiasa dengan istilah itu, tapi karena sang calon adalah pemuda langka, dan ada acara makan-makan, semuanya tampak antusias. Mei juga begitu, meski Mamak selalu merongrong untuk mengikuti jejak sahabatnya yang beruntung.

"Tuh! Semua laki-laki sudah laku semua, habislah bagianmu!"

Mei cuman tertawa seperti biasanya, saat itu ia mengingat Arsyil. Tak sengaja kerlingan matanya menangkap sosok yang berdiri menjauh dari keramaian, sosok itu diapit dua perempuan yang dari tampilannya sudah pasti bukan orang kampung. Jaya meliriknya dingin. Mei kaget, dan menghindar dari pandangan menyebalkan itu. Mei gesit mencari Arsyil. Sayang, Arsyil tentu tak datang.

Mengikuti budaya di desa, iringan musik pun dimainkan, orang-orang di sana pun berpegangan hendak menari. Mei bertepuk tangan, daridulu ia sebenarnya lebih senang menonton dan tertawa melihat pemandangan menyenangkan di depannya.

"Mau menari?" tangan itu terulur.

"Iya." Mei menyambutnya gegap gembita. Dan ia baru sadar, nyatanya tangan itu milik Jaya, pemuda yang dibencinya. Mereka pun bergabung dalam lingkaran tarian lulo itu. Syok Mei dibuatnya, ia telah bersumpah untuk menghindari sosok itu selama dia hidup di dunia, kini Mei harus menari bersamanya dan pura-pura bahagia.

Patah-patah Jaya mengikuti tarian lincah orang-orang desa. Mei melirik para tamu yang menatap heran nan takjub ke arahnya, seperti melihat seorang ratu, dengan pasangan raja yang gagah.

"Aku sudah memikirkan ini dengan keras, bahkan sampai berbulan-bulan, keputusan ini lebih berat dari persoalan bisnis. Aku kini tidak mempermasalahkan kamu yang hanya orang desa, juga statusmu. Apalagi sikapmu yang sembrono. Sekarang juga aku tidak mau berlama-lama menderita. Aku suka lihat kamu ketawa meskipun gigimu jarang-jarang! Aku... aku... ingin kamu jadi pasanganku, maksudku menikah, kamu tentu mau, kan?" tanya Jaya dengan percaya diri.

Mei terbatuk karenanya, seperti tersedak. Menatap Jaya yang meminta padanya. Gadis berambut ikal itu hampir kehabisan napas. Tiba-tiba selepas menari, Mei pamit lalu berlari keluar, dan Jaya diam-diam mengikutinya. Lantas bersaksi atas kemustahilan yang pernah ada di muka bumi.

"Maaf karena membuatmu menderita, aku... aku... ehm, sebenarnya kita itu pasangan yang buruk!"

"Jadi ini jawabanmu?" tanya Jaya getir. Mei mengangguk mantap. "Kamu menolakku?" Jaya tak percaya, ia begitu yakin bahwa dirinya akan diterima, bahkan menurutnya, gadis itu pasti telah lama menantikan perasaannya. "Kamu marah karena aku menghinamu?"

Mei tertawa kecut. "Ada banyak hal Jaya, banyak sekali! Pertama, kamu telah mendzolimi banyak orang dengan sikap sombongmu, yang kedua kamu menghinaku dengan mengatakan wajahku pas-pasan dan sikapku buruk, yang ketiga kamu mendzolimi pekerja setiamu!"

"Maksudmu Arsyil?" Jaya melotot dingin. "Dia pantas mendapatkannya!"

Jaya pun menghilang dan tak pernah muncul dari permukaan. Andai Mamak Mei tahu kalau ia menghancurkan mimpi 24 jam beliau, mungkin Mei sudah diusir dari rumah, meratapi calon menantu berpenghasilan miliaran itu. 

***

"Apa jawabanmu masih tetap sama?" Laki-laki itu harap-harap cemas. Ia tampak ragu. Berpaling muka.

Mei syok dibuatnya. Ia tak percaya. Kesempatan yang maha mustahil itu akan datang. Banyak yang terjadi setengah tahun lalu, tentang Mei begitu lancang menolak lamaran pemuda berpenghasilan M karena tabiat buruknya, tentang si ganteng Arsyil yang nyatanya tukang tipu berakhir di penjara kabupaten, dengan dalih meminjam uang untuk mamaknya tapi dipakai buat minum ballo pahit dan pasang lotere, dan tentang pernikahan Yusril dan Ara kini sedang berlangsung.

Jaya mengusap tangannya. Mengangkat wajah. Laki-laki berumur 25 tahun itu tersenyum tipis. Menggadai malu dan kehormatannya hanya untuk meminang gadis kampung yang suka menertawakan, bahkan mengolok di depannya--yang tak pernah dilakukan oleh gadis normal manapun. Tapi Mei gadis baik, dia begitu sayang sahabatnya, juga rela berjalan kaki berkilo-kilo untuk menjenguk keluarga yang sakit. Soal wajahnya yang pas-pasan, nyatanya setelah mengatakan itu, ia menjadi gadis tercantik yang pernah ditemukan Jaya dengan wajah ceria bahagia dan tawa manisnya.

Mei hanya bisa tertawa. Ia tertunduk merona. Untuk pertanyaan mustahil yang pernah ada menurutnya, tapi itu ternyata hanya fatamorgana! Ia terbangun dari khayalannya. Jaya masih mengabaikannya. 

Kenapa cinta tiba di saat telah dielaknya?



(Cerita ini diadaptasi dari novel Pride and Prejudice yang diangkat ke layar lebar dengan judul yang sama)

Monday, December 3, 2018

09.30 WITA

Gambar terkait
09.30 WITA

09.30 WITA. Aku menunggu untuk menemuimu di depan rumah. Seperti biasa, kau selalu tepat waktu. Berdiri gagah di sana, berpakaian rapi dan mewangi.

"Daeng, tabe, ini uang ta." Aku menyerahkan uang sepuluh ribuan untuk ikan lure yang dibeli Mamak. Beliau memang sering menyuruhku membayar apa yang diambilnya dari penjual yang lewat depan rumah.

"Iya makasih di'," jawabmu tersenyum kecil, "gak sekolah ki?"

Aku terhenti. Baru kali ini kamu mengajak aku bicara selain ucapan terima kasih. Aku menggeleng. "Sudah lulus mi!" Kamu pun mengangguk tersenyum kikuk. Beranjak pergi menggunakan motor terkentut-kentut dengan sekeranjang ikan amis. 

Kenapa, sih, kamu harus jadi penjual ikan?

***

"Sebenarnya toh... saya suka mbe' sama itu orang Raha, tapi...."

"Tapi apa, Ris?"

"Saya tidak mau diajak menderita, sa bayangkan kalo sama dia, kayak film Mr. Bones mbe', yang hidup kolot primitif." Aku mengeluh, mengadu nasib.

"Ulala, begitulah cinta!" Ecce komentar.

"Iya, tapi saya itu orang bugis, Ce! Orang bugis itu selera tinggi, tidak bisa hidup kere, dan makan seadanya, saya nda bisa makan jagung kering keriting yang digantung di atas kuda-kuda rumah, atau ubi yang menghitam, lalu dijemur dan dimakan. Tidak bisa kasihan!"

"Belagunya dirimu ededeh!" Ecce menghakimi.

"Biar belagu, yang penting sombong!" Aku berlipat tangan.

***

Aku menemani kakak--yang bekerja di dinas perikanan dan kelautan. Ia mengunjungi perkampungan Bajo, sementara kakak memberikan penyuluhan, aku keluar dari rumah panggung di atas air laut ini. 

Rumah-rumah suku Bajo bermaterialkan kayu bakau bersusun-susun di atas air, juga ada jembatan penghubung yang panjang.

Aku tertarik melirik kapal-kapal pencari ikan melewati jembatan yang aku berpijak di atasnya, topi bundar merah pun kuturunkan, di atas perahu itu, ada dua orang nelayan, seorang tua hitam dan beruban, dan di belakang ada--

Kamu?!

"Sakit kepalaku lihat kita di atas." Laki-laki itu mengeluh pegal mendapatiku berdiri di atas jembatan saat ia melintas dengan katintingnya. Lalu segera merapatkan perahu. Kamu pun menemuiku.

"Iye, bagaimana tidak? Perahu jalan terus, kita masih lihat saya ke jembatan." Aku tersenyum.

"Saya memastikan itu benar kita," jawabmu malu-malu.

Usiamu ternyata lebih muda dariku, kalau kamu sekolah, mungkin kamu sudah kelas 3 SMA, sedang, aku baru lulus kuliah, dan kini mencari kerja alias pengangguran. 

Dia berondong ternyata! 

"Apa kita bikin di sini?" Kamu bertanya kenapa aku di sini. Aku menggaruk kepala.

"Saya lagi temani kakakku kerja." Aku tersenyum simpul. "Eh, bukannya kita orang Raha, toh? Terus tinggal di perkampungan Bajo?"

"Iye, sa tinggal sama kakek, dia suku Bajo, kalo saya sebenarnya tinggal di gunung, lalu sa tinggal di laut, dan bantu kakek juga!"

Aku mengangguk melirik, tampak urat di tanganmu membuktikan bahwa kamu hidup keras dan susah, juga kulit yang menghitam disiram matahari. Otot-otot kekar tidak menandakan kalau kamu ternyata seumuran siswa SMA, aku mulai membayangkan teman cowok SMAku yang ringkih krempeng.

"Jam setengah sepuluh, kita sering datang tepat waktu di depan rumahku." Aku berkomentar penasaran.

Kamu tersenyum kikuk, lalu terdiam lama. "Kayaknya, saya tidak bisa lagi jualan ikan di rumah ta."

"Kenapa?" Aku memandang sendu.

"Da bilang kakekku terlalu jauh, nanti langsung dijual saja sama penjual ikan yang juga akan jualan di kota ta." Laki-laki itu lirih berkomentar. Aku tertunduk kecewa. Lalu dia mengatakan sesuatu yang membuatku hampir meledak, "Saya... sa-saya... sebenarnya mau dijodohkan sama sepupuku, saya tidak punya pilihan lain...."

"Hah?" Aku melongo. Kenapa dia malah curhat?! Kenapa juga secepat itu? Aku tahu, budaya di sini adalah menikah dini. Dan bodohnya... kenapa aku sesak? dia, kan, hanya pabbalu bale. Penjual ikan. Pabbalu bale lure. Penjual ikan teri kesukaanku ....

"Tapi kalau kita mau." Dia mulai bertanya padaku. Lalu berembus berat, mengambil napas macam orang kehabisan napas. "Sebenarnya kalau kita ada rasa, mungkin saja... tidak akan terjadi itu ...."

***

Aku menuangkan teh pekat manis ke gelas mug Ecce. "Begitu awal ceritanya, Ce. Ternyata, toh, itu pabbalu bale, dia naksir juga saya."

"Percuma! Kamu itu, selera tinggi ekonomi lemah! Terima saja dia apa adanya!"

"Malu! Apa kata tetangga?"

"Halah! Dongo! Apa urusannya sama tetangga, memangnya itu tetangga yang mau ngasih makan kamu? Atau bayarkan listrik sama air? Enak mbe' hidup sama La Pili, entar kamu punya perahu pribadi, tidak usah beli ikan lagi, punya rumah di atas air, memasak pake tungku, makan kambose, kabuto dan kawan-kawan." Ecce tertawa memperlihatkan giginya yang kuning.

"Kamu mengejek, toh?"

Ecce menggeleng. "Temanku Risda, yang baik hati dan tidak ompong, bahagia itu, toh, bukan karena materi, tapi karena kamu mau bersyukur atau tidak? Bahagia itu, toh, kamu damai bisa hidup dengan orang yang kamu cinta dan mencintaimu, terus mengacuhkan orang-orang yang memicingkan mata atau bergunjing tentang kamu!"

"Huh, sok bijak!" Aku menjentik jidat lebar Ecce. Ia tak peduli, dia malah asyik menghabiskan doko-doko lima buah yang daun pisangnya dia buat tercecer di atas keramik. Aku pun diam. Ada benarnya juga apa yang dikatakan Ecce, meski dia orangnya plin plan.

***

Kini aku berdiri di pelelangan ikan, kulirik android yang menunjukkan jam 09.30 WITA, aktivitas di pagi hari ini cukup sepi, para penjual ikan mulai berteriak memanggil pembeli, mereka mengipas-ngipas lalat yang mengerumuni jualannya, bau amis bertebaran, anak-anak penjual ikan berlarian tanpa baju celana juga alas kaki, ingusnya melorot, tapi mereka gembira memainkan kucing yang dipencet-pencetnya di tanah yang berlumpur.

"Assalamu'alaikum." 

"Wa'alaikumsalam." Aku memandang haru, kulihat kamu tampil beda, untuk pertama kalinya kamu tidak memakai kaos oblong penuh keringat dan lombeng, atau kainnya pun macam sering digerogoti tikus, kini kamu mengenakan kemeja kotak-kotak, dan mewangi minyak wangi, bukan lagi bau amis yang keluar dari tubuhmu. Semuanya oke. Tapi, kenapa bertemunya harus di pelelangan ikan?!

"Jadi bagaimana mi?"

Aku berembus napas. "Sudah kuputuskan!" Lalu menelan ludah. Kamu memandang cemas, penuh harap, aku memberimu senyum penuh makna, kulempar pandanganku ke arah penjual ikan dan sayur yang sibuk, juga anak-anak mereka yang bermain ala kadarnya. "Saya mau kita menikah saja sama sepupu ta."

"Hah?"

"Maaf... sa-saya... tidak bisa melihat anak-anakku nanti hidup kayak mereka." Aku lagi-lagi melirik beberapa penjual ikan dan sayur. "Atau bekerja jadi penjual ikan, membuka sisik-sisik ikan, dan kena bau ikan...."

"Saya pikir kita berbeda, Ris...." bisikmu getir, lalu menelan ludah pahit. "Saya sudah berani mi, membuang malu biar bisa jujur, tapi ternyata... mana mungkin juga cinta penjual ikan miskin diterima sama sarjana muda yang cerah masa depannya, bodohnya saya!"

"Maaf... tujuan menikah itu, toh, kan, untuk bahagia!"

"Kalau kita pikir bahagia itu dilihat dari status berarti kita harus belajar baik-baik, Ris, bahkan kami penjual ikan itu tahu, arti bahagia itu." Ia menatap sendu. Aku mendengus, sebagai mahasiswa dengan IPK tiga koma, kenapa aku bisa digurui sama penjual ikan brondong yang belum tentu tahu arti baca tulis? Dia berembus berat. "Padahal saya baru mau bilang, kalau saya baru diangkat jadi tenaga kerja di tambang dengan gaji yang cukup untuk kita hidup, tapi sudah mi saja pale!" Kamu pun patah-patah beranjak, dan mengucapkan salam. 

Astaga! Apa yang kulakukan? Kulirik anak-anak yang hidup prihatin, tergelak tawa, dan bahagia menyambut gendongan orangtua mereka.

Kembali! Tolong! 

Dan Sampai sekarang, aku masih suka melirik jam 09.30 di mana pun aku berada. Sialnya, aku juga mengingatmu!

Sunday, November 25, 2018

Filosofi IPK

Filosofi IPK

"Bu, cepet! Aku mau masuk, nih!" Langit begitu cemas menyerahkan beberapa lembar kertas tugas.

"Sabar, Nduk, ini juga masih fotokopi punya orang."

"Bu ini urgent!"

"Iya-iya." Bu warung pun mengambil kertas Langit. Langit tersenyum puas, tidak peduli beberapa mahasiswa melirik gemes pengen menggigit dirinya karena asal nyerobot. Sebelum beranjak, Langit membeli beberapa wafer coklat dengan bungkus merah menggiurkan. Lalu segera kabur.

"Teman saya tadi kenapa, Bu, kayak kebelet gitu?" tanya seorang mahasiswi berwajah bulat sepeninggal Langit.

"Dia minta difotokopiin duluan, katanya mau masuk."

"Masuk gimana, Bu? Aku sama dia, kan, sekelas, Bu, hari ini dosennya gak masuk. Ibu kena jebakan batman lagi, loh, Bu!"

TWEWEWENGGG....
***

Embun membeli dua gelas air mineral. Lalu duduk di samping mahasiswa yang bertampang malas, di bawah pohon beringin, belakang open theater kampus.

"Ini buat kamu satu!" Langit menyodorkan sebungkus wafer, "kok lama sih? Haus, nih!" Mahasiswa yang tampak urakan itu segera mengambil air mineral Embun.

"Padahal aku belum ngasih, loh! Sudah kamu serobot aja!" Embun menggigit wafer coklat, yang coklatnya luar dalam, "tadi tuh ngantri, jadi lama! Memang kamu yang suka nipu Bu warung karena malas antri!"

Langit menggaruk kepala karena ketombean, ia pun membuang bungkus coklat itu di depan Embun, setelah menelan bulat-bulat wafer nikmat itu, macam tanpa dikunyah.

"Ih buang sampah sembarangan!"

"Cerewet banget, sih! Hidup-hidup aku, lagipula aku gak usah diceramahi pun sudah tahu."

"Mentang-mentang IPK cumlaude!"

Langit pun mencair, "Syirik lu! Itu kamu juga tahu!"

"Kasihan."

"Loh kok kasihan? IPKku itu murni karena kepintaranku, ya kadang aku memang sedikit nyontek, sih. Daripada kamu? Stagnan diangka 2.75 terus! Gak pernah naik!"

Mahasiswi itu pun menghela napas berat, "Memangnya IPK tinggi buat apa, sih?"

Bodoh! Masak gitu aja gak tahu. Batin Langit. Langit tersenyum mengejek, "Ya banyaklah, itu, tuh buat kita kerja, jadi dosen, dapat beasiswa, dikenal dosen, digelari, jadi kebanggaan, dihormati, kamu, sih, gak pernah jadi mahasiswa berprestasi jadi gak pernah ngerasain, kan?"

"Iya-iya." Embun mengembus lirih, gadis itu bangkit mengambil sampah plastik Langit, "kalau kamu pintar kenapa buang sampah sembarangan?"

"Kan, gak ada aturannya? Memang ini Singapura, Jepang, Inggris? Atau luar negeri lainnya? Lagipula biar Pak Dun ada kerjaan, kalau bersih, kan, dia bakal nganggur. "

"Kalau 44.932 mahasiswa berpikir hal yang sama, kita sudah gak kuliah Ngit, kita ditelan sampah."

"Kamu kenapa,sih? Mentang-mentang habis training jadi sok bijak gitu, aku aja yang biasa ikut, biasa aja tuh."

Embun tidak peduli sikap sok Langit, ia pun melanjutkan pembahasannya, "Kelihatannya, itu memang persoalan kecil, belum lagi soal antri, percuma, kan, wajib sekolah 12 tahun tapi gak tahu yang namanya antri atau buang sampah pada tempatnya! Antri itu bagaimana kita juga menghargai orang-orang, dan belajar sabar."

"Iya-iya." Langit tampak malas. Embun memperlihatkan androidnya, diliriknya smartphone sahabatnya itu, rupanya Embun sibuk membaca berita korupsi terbaru di sosmed, "heh, korupsi lagi, bisa miskin nih negara kita!"

"Kamu aja enek, kan, baca berita korupsi lagi?" Embun melirik, Langit menggaruk malas, "mereka yang korupsi ini orang pintar, loh, pendidikannya tinggi, di luar negeri lagi, IPKnya juga selangit."

"Terus?"

"Aku akui, mereka berhasil mendapat nilai tinggi, dan banyak guru berhasil mencetak murid berprestasi, tapi lupa mengajarkan kebiasaan kecil, yang bila tidak dilakukan akan menulis sejarah yang telah berulangkali, seperti menciptakan koruptor macam mereka."

"Ini karena mereka, pas seumuran kita bahkan sedari kecil, mengabaikan hal kecil, semisal nyontek, antri, buang sampah sembarangan, meminta izin mengambil atau memakai barang teman, tidak hormat pada orangtua dan teman-teman, hal kecil saja diabaikan, apalagi hal besar seperti korupsi, mengambil hak orang."

JLEB! Langit terbatuk karenanya, "Ehm gimana, ya? Emang, sih, ada benarnya juga, tapi aku gak yakin kalau kamu yang sampein." Mahasiswa berambut kusut itu tertawa.

"Dengarkanlah apa yang disampaikan bukan siapa yang menyampaikan, itu hanya pikiranku." Embun mengutip kalimat cerdas seorang cendekiawan, "tidak semua orang memiliki kebenaran, tapi kebenaran itu hanya dimiliki orang-orang yang mencarinya."

Dan aku tidak ingin kamu, Langit. menjadi salah satu di antara orang-orang pintar itu! Embun berdesis.

Thursday, November 22, 2018

Hari Yang Baik Untuk Es Krim


Hasil gambar untuk ice cream and child
Hari Yang Baik Untuk Es Krim

Hampir tidak ada manusia yang tidak menyukai makanan lembut meleleh di lidah, berwarna warni yang membuat menelan ludah, dengan cita rasa beraneka ragam, mulai dari rasa susu hingga bebuahan, followernya adalah bocah ingusan bahkan sampai bocah kumisan. Dia adalah es krim.

Bagiku, itu adalah makanan eklusif yang hanya bisa dinikmati anak pejabat dengan pulus yang mulus, sedang bagi anak bungsu dari delapan bersaudara, dengan gaji PNS Bapak yang pas-pasan, itu adalah takdir yang paling menakjubkan untuk terjadi!

Usiaku saat itu 8 tahun, hanya bisa melirik es krim yang dikemas menarik dengan gambar tokoh kartun. Jangankan untuk es krim, beli bakso saja harus ada adegan seperti ini!

"Mas-mas, banyakin kuahnya, ya!" Saat itu, tahun 2003, aku ingat kami sekeluarga menghabiskan momen romantis tuk bermalam minggu dengan membeli bakso seharga 5 ribu rupiah, dengan kuahnya sebaskom dan bakso kecil 10 butir.

"Ikaaaa! Sana beli mie instant 3!" titah Mamak memberiku uang 1500 rupiah. Aku pun berlari sekuat kuda, sembari membayangkan bakso yang akan dibagi 10 dengan mie, kuah, bakso daging sapi ditambah sambel, saus dan kecap. Aku menelan ludah.

Lamunanku terhenti ketika mendengar Bapak memanggilku, aku pun beranjak dari mini market, meninggalkan es krim yang berdiri indah di dalam etalase kaca. Dan berbalik sendu. Beliau mulai menstater motor dinasnya, meninggalkan kantor DEPAG.

Dengan jajan 300 rupiah--awalnya 200 rupiah, lalu ditambahkan 100 rupiah karena aku naik kelas, aku pun menabung setiap hari 100 rupiah, yang 100 rupiah kubelanjakan di sekolah, dan 100nya dikasih ke temanku bernama Sunarti, anak orang Makassar yang orangtuanya bekerja jadi tukang ojek.

Aku bertekad untuk makan es krim bersama Bapak!

Tabungan itu kutaruh di bawah kasur Mamak. Aku mencoba berhitung, sepertinya butuh 40 hari menyisihkan jajan untuk membeli es krim seharga 2000, dan jika beli 2 jadi 4000. Tak apalah!

"Tunggu saja es krim! Kalau tabunganku cukup aku akan beli kamu!" bisikku padanya, memandang etalase kaca toko, sembari menunggu Bapak di kantornya. Aku tak bisa membayangkan senyum cerah beliau yang meskipun ompong, tapi tetap gagah. Iyalah! Beliau kan Bapakku! Aku pun bertekad, "aku mau kaya biar bisa beli es krim!" Berbicara pada es krim seperti pembebasan tahanan seumur hidup, yang ingin kujilati dan lahap tanpa dikunyah, langsung telan.

Tak terasa hampir 2 bulan kumenabung, waktu itu hari minggu, aku pun berdebar membuka tabunganku di bawah kasur. Seperti kesetrum colokan, aku berteriak macam serigala yang meratap.

"ADA APA INI?" Mamak berhambur masuk.

"Uangku, Mak? Uangku?"

"Kenapa uangmu?"

"Uang yang kutabung setiap hari di sini sisa 1000 padahal kan harusnya 4000!" Aku pun mengerang menangis, "SIAPA YANG CURI UANGKU?" beberapa Kakakku yang sering membullyku berkumpul di depan kamar, bahkan mereka tertawa. Aku mengambil uang seribu receh itu kulemparkan ke wajah mereka, dan berlari sembunyi di atas pohon jambu batu di belakang rumah.

Mereka baku rebut uang di lantai. Tapi Bapak yang datang meminta kembali uang tabungan adik mereka yang sering kena bully-karena aku anak bungsu dan manja.

"Siapa yang ambil uang adekmu?"

"Bukan aku!"

"Aku juga bukan!"

"Ini mungkin!"

"Enak aja! Bukan!"

"Oh ini mungkin!"

Yang ditunjuk pun menelan ludah, "Aku pikir itu tidak ada yang punya!" Arif menggaruk kepala, "sudah kubelikan bakso!" dia bersendawa mengeluarkan wangi daging bakso beserta cabe dan sausnya.

"Huh makan sendiri!" Yanti mendorong kepala di depannya.

Sejak saat itu, aku tak pernah lagi menabung! Impianku makan es krim bersama Bapak telah punah! Bahkan sampai sekarang, tapi kini aku berdiri di depan etalase toko yang beraksitektur modern, kulihat es krim yang kudambakan telah berubah kemasan dan harga, kini seharga 7000 rupiah, dan Aku tentu bisa membelinya! Setelah 15 tahun lamanya!

Aku bahagia bisa membelinya, sungguh aku bisa memegang kemasannya, membuka bungkusnya, mencium aroma vanila susu, merasakan dinginnya es krim ini sampai mengepul asap es. Gerimis diujung mataku segera kusapu.

 Dahulu, waktu kecil aku meminta pada Tuhan untuk bisa ke sorga, biar bisa makan es krim bersama Bapak. Kini, kulakukan hal yang sama sembari menikmati manisnya es krim di hari yang baik.

Wednesday, November 21, 2018

Hantu SOSMED

Image result for hantu cantik
Hantu SOSMED

1/4 abad umurku, tapi aku takut hantu! Waktu masih bau kencur, aku adalah korban bully. 

Saat bangun jam 00.00 WIB pada malam jumat untuk menunaikan hajat, tetiba di belakang, kulihat kain putih tanpa kepala bergerak horor, tak sengaja, aku histeris teriak, kaki pun kena air seni, dan ternyata itu masku yang juga bangun lalu memakai mukena ibuk, yang lebih parahnya ia pun tak luput dari cipratan air, urea, garam dan materi organik lainnya yang dinamai air kencing.

Sejak saat itu, segala bau horor di depan, aku musnahkan! Wajahku bertekuk tiga melihat kiriman cerpen beberapa peserta yang berbau-bau misteri. Pengen rasanya aku delete aja tuh berkas, tapi kasihan! Itu namanya tidak profesional!

Beberapa hari kemudian, aku sengaja melakukan siaran langsung di sosmed, memberikan tips menulis cerpen bagi penulis pemula, berkumur-kumur di depan laptop, tanpa memperlihatkan wajah antikku, hanya suara, kedua tangan pun mengetik. Tak disangka fansku banyak juga, banyak yang memuji suaraku yang asyik dan ganteng. 

*** 
Pukul 00.00 WIB aku terbangun, karena kebanyakan ditraktir kopi di kantor tadi sore, aku pun  iseng, kumelirik email kantor di androidku, "Ada pesan baru!" gumamku. Aku bernapas lega, untung bukan cerita horor lagi, peserta kali ini namanya cantik, nama penanya Luna Maya, kumulai baca karyanya. Kupegang perutku, ujung mata langsung berembun. "Gila nih cewek, koplak banget cuk!"

Bahkan sampai sad ending, aku tetap ngakak. Asyik banget rasanya ini cewek, sayangnya, yang dikirim itu beberapa fiksi mini, tapi yang disebutnya cerpen. Aku pun berniat melakukan siaran langsung lagi di sosmed. Untuk menjelaskan kembali aturan mainnya.

Beberapa cerpen yang dikirim Maya masih menggentayangiku, gadis berumur 20 tahun itu menulis cerita tentang penderitaannya yang mengasyikkan dan dibawa santai. Meski gaya cerita koplak, tapi selalu ada pesan tipis yang disampaikan. Kutatap fotonya, nampak rambut panjang Maya tergerai, asal dia jangan keluar malam-malam dengan rambut panjang terurai, susah bedainnya! Di foto, kulitnya putih pucat, dia cantik tapi horor, untungnya karakter kepenulisannya asyik dan hidup. 

Bahkan aku sebagai salah satu tim penyeleksi karya pun dibuat terbayang, dan menebak apakah ini kisah nyata, dan pengalaman penulis? Sumpah aku penasaran!

Aku mulai menjelajahi beberapa tulisan peserta, mulai dari karya penulis pemula dan senior, memiliki karakter dan kekhasan sendiri. Ada yang begitu romantis, menambah gairah, membuat melo, atau sad ending, terbawanya aku kedalam cerita-cerita mereka, berarti berhasil menciptakan tulisan yang hidup, tapi, tidak semua tulisan mampu diterima, dilihat dari kesesuaian tema dan pesan!

Pukul 00.00 WIB kuterbangun, tapi tak menemukan email dari Maya, mungkin gadis timur itu sudah berbahagia dengan hidupnya, sehingga tidak mengirimkan cerpen lagi. Dan jujur aku penasaran setiap karyanya, meski hanya sedikit karya yang bisa tembus, tapi aku suka karakternya, dari gaya penulisan, sudah mampu kubayangkan sang penulis seperti apa, kesehariannya, pengalamannya, sifatnya, karena secara tak langsung penulis itu akan mencipta karakter dan cara pandang sesuai dengan dirinya.

"Kamu pernah naksir cewek gak?"

Aku tersedak, kemeja putihku kesembur kopi mocca, "Ancuk! Apa maksudmu nanya begituan? Aku tuh normal!"

"Jangan marah, loh, ya! Itu aku loh yang traktir!" Adi tersenyum meneguk kopi susunya, "tapi aku
gak pernah tuh lihat kamu lirik-lirik ciwik."

"Malas! Takut dosa!" Aku tertawa. Entah tetiba aku mengingat sosok itu, Luna Maya, begitu menggentayangi ruang hatiku, seperti hantu. Kadang aku ingin menghubunginya, tapi malu!n Gak profesional! Ini kan masalah kotroversi hati, bukan pekerjaan!

Hingga, jam 00.00 malam jumat, aku membuka email, mangap mulutku melihat kiriman cerpen darinya, kulahap habis itu cerpen tanpa kedip, sampai sakit perutku terobok, saking kocaknya.

Aku siap menghubungimu, mengatakan dari 7 cerpen yang kamu kirim, hanya 2 yang lolos, tapi tak apalah, aku yakin dengan karaktermu yang kuat dan unik, pasti banyak yang akan menyukai karyamu, seperti aku, yang telah jatuh hati.

"Halo selamat malam?" Kupilih waktu di luar jam kantor, biar tidak dibully Adi dan kawan-kawan. Apalagi sebenarnya tidak harus calling, bisa pake email untuk konfirmasi.

"Iya, ini siapa ya?" 

Aduhai Ibuk, aku bisa mendengar suara itu, suara bahagia dan seperti lagi tersenyum. Terbayang wajah ceria Luna Maya di foto.

"Ini Luna Maya?" tanyaku penasaran. Di sana senyap, hanya berdeham kecil jawabnya, "saya Jaka, tim redaksi, mau mengkonfirmasi kalau cerpen yang mbak kirim, dari 7 cerpen, kami menerima 2, dan honornya sudah ditransfer di rekening mba Luna," Aku merona, gugup rasanya. Mataku membesar, kudengar di sana, hanya ada suara isakan, mungkin Maya begitu bahagia, karyanya bisa lolos.

"Terima kasih banyak, ya, Mas."

"Sama-sama Mba Luna," jawabku malu, seperti berbicara pada kekasih yang dirindu.

"Maaf, mas, sebenaranya saya bukan Luna, saya kakaknya, Lunanya sudah... gak ada sejak setengah tahun yang lalu, dia kecelakaan." Gadis itu mengatur napas, "adik saya Luna, suka banget menulis, tapi gak sempat ngirim tulisannya, nah, saat itu saya lagi kerja dan ngebuka tulisannya di laptop yang biasa Luna pinjam buat nulis, nah, saya kirim deh tulisannya setelah nyelesain tugas, maaf, ya, Mas, kalo ngirimnya tengah malam."

Aku tak tahu cara bernapas! Tubuhku beku, mataku berputar, kulirik ke samping, sosok putih di antara remang-remang berdiri mematung. Melihat ke arahku!

Aku pingsan. 

Sayup-sayup kudengar hantu-hantu itu mengobrol.

"Woi Jakaaa!"

"Sudah kubilang, kan? Jaka itu penakut banget, lepas, tuh, mukenaku, ntar kotor!"

Adi begitu bingung, ia menyuruh Sri menaruh kue ulang tahunku ke meja, dan membantu menyeret tubuh kurusku yang terkapar di atas lantai.

Tuesday, November 20, 2018

Beauty and the Bear

Hasil gambar untuk beauty and the beast
Beauty and the Bear
Kupikir dia akan berubah menjadi pangeran tampan. Ternyata si buruk rupa itu menjadi tambah jelek dari sebelumnya. Menjadi pangeran dengan perut berlipat tiga seperti beruang hamil!

"Kamu ingin memesan apa, Belle?" tanya Papa mempersiapkan Philips sebelum berangkat.

"Pisang lagi?"

"No, Papa!" sahutku menjerit.

"Oh iya, Papa ingat, kamu sampai tujuh kali ke kamar kecil karena--"

"Mawar!" Aku menutup wajah memerah. "Aku mau mawar, Pa!" kataku tegas melirik tetangga yang menonton kami.

Papa maju menepuk pipi merahku, "Wah, anakku yang cantik, tidak biasanya kamu memesan yang manis-manis, terakhir kali Papa ingat ... kamu meminta dibawakan jodoh berupa pangeran tampan kaya raya, satu peti emas, dan mumi fir'aun."

"Cukup, Papa!" Aku menahan malu. "Lihatlah kuda Papa yang hampir kering menunggu Papa. Berangkatlah!"

Aku melambai tangan. Aku tahu pertanyaan tadi hanya alasan untuk mencari muka tetangga. Nyatanya Papa begitu kikir, bahkan biasanya hanya membawakan pakaian kotor yang harus aku cuci.

"Oh Tuhan ... kapan hidupku akan berubah?" Lamunanku terhenti mendengar lonceng pada menara jam dinding, memunjukkan pukul 08.00 a.m. Aku pun berlari sembunyi di rumah. Kukunci pintu rapat-rapat. Karena, ini adalah waktunya dia ....

"Halo? Belle?" Suara di balik pintu itu terdengar kuat memanggil. "Belle!" 

Aku menghela napas berat. "Waktunya tepat, ini waktu Gaston untuk bertamu," bisikku. "Menjadi cantik itu merepotkan." Aku mengipas diri, menunggu Gaston mengering suaranya memanggilku. Aku tersenyum tipis. Meskipun laki-laki berotot itu hendak mendobrak, aku sudah memanggil pandai besi untuk melapisi pintu itu dengan palang besi, dan beruntung, tukang besi itu bekerja dengan tidak meminta upah, karena aku cantik.

***

Suara gedoran pintu itu membangunkanku, kuintipnya dari lubang kecil di pintu. Berdiri laki-laki tua yang tampak menyedihkan. Dia?

"Papa?!"

Tubuh Papa gemetar memberikanku setangkai mawar berduri. Aku terkejut sedih. Kututup mulut mungilku rapat-rapat mendengar cerita Papa. Aku menangis, "Papa mencuri mawar di taman istana, lalu menukarku sebagai ganti masa tahanan Papa?" Laki-laki berambut putih itu mengangguk, membelai rambut coklatku. "Baru kemarin aku berdoa agar hidupku berubah."

"Terkabullah sudah. Kalau kamu tidak betah, melarikan dirilah dengan satu peti emas, Papa melihat, makhluk itu menimbun harta rampasan perang yang bernilai mahal." Aku mengangguk paham. Aku akan pergi menunggangi Philips.

***

Pintu raksasa di depanku itu terbuka lebar, betapa mewahnya bangunan ini, ditumbuhi pilar-pilar marmer menawan. Ketakjubanku lenyap saat mendapati sebuah lilin, jam, gelas, teko menyapaku.

"Jangan kaget, nona," kata sebuah lilin. "karena tuan kami lebih menyeramkan dari kami." Lalu sebuah jam berwarna keemasan memukul kepala lilin karena telah menghina tuannya. Mereka saling memukul.

"Abaikan saja mereka," kata teko yang bersuara keibuan. Lalu cangkir kecil juga menyahut sama.

"Betul-betul-betul."

"Mana tuanmu?" tanyaku ramah mengangkat cangkir porselen kecil.

"Itu! Di belakangmu."

Baru kusadari bayang gelap yang daritadi membungkus tubuhku berasal dari makhluk di belakangku. Aku mengumpulksn nyali untuk bisa menatap sosok itu. Lalu berbalik. Kukatupkan bibir agar tidak berteriak. Kutelan teriakan yang berujung sendawa ke arah makhluk buas itu. "Ups, sorry ...."

Matanya yang hijau pun menyalang, tubuhnya yang kekar dipenuhi bulu lebat dengan dua tanduk di kepala mulai bergerak. "Anak pencuri!"

Aku menelan ludah. Aku berlari menjauh dari makhluk buru rupa itu. Dia tahu rencanaku.
"Jangan keluar! Bahaya!" Teriak teko porselen.

Aku tidak peduli. Aku tetap lari menuruni anak tangga, menunggangi Philips, berlari ke arah hutan yang diselimuti salju. Salju di bulan Juni. Aneh. Aku berbalik mendengar suara, bukan Beast yang mengejarku melainkan serigala-serigala lapar.

"Ayok Philips! Cepat!" seruku panik.

Philips melompat tinggi, tapi salah seekor serigala besar berhasil menjangkau kaki kiri Philips sehingga aku terjatuh dari Philips. Kuda putih itu mengerang kesakitan. Kematiannya di depan mata.

Beginikah akhir kisah Belle si beauty? Batinku menutup mata.

Lalu serigala-serigala itu mulai berjatuhan, terpelanting di atas pohon, masuk ke dalam lubang atau menabrak batu.

Makhluk itu yang melakukannya?

Dia menolongku. Aku pun bangkit berlari menuju Philips. Saat si buruk rupa itu berbalik melihatku, seekor serigala abu-abu berhasil menggigit bokongnya. Dia melonglong. Longlongan yang menyakitkan membuat semua serigala berlarian. Makhluk itu tersenyum, giginya yang panjang membuatku terkejut. Dia pun terjatuh.

"Kamu tidak apa-apa?" tanyaku khawatir. Napas makhluk itu naik turun. Bulu-bulunya mulai rontok. Daun mawar yang terakhir pun jatuh dari tangan makhluk itu. Sinar mata itu pun menghilang. Dan anehnya aku menangis. Makhluk itu lalu berubah.

Kupikir dia akan berubah menjadi pangeran tampan. Ternyata si buruk rupa itu menjadi tambah jelek dari sebelumnya. Menjadi pangeran dengan perut berlipat tiga seperti beruang hamil!

Pangeran itu membuka mata. "Aku kembali," tawanya berseri. Semuanya bahagia kecuali aku. Para penghuni istana berkumpul, bersuka cita. Pangeran masih tertawa, dengan perutnya yang naik turun.

"Jangan bahagia dulu Psngeran! Kamu harus membayar semuanya!"

Kami berbalik kaget. Seekor beruang hitam berdiri di depan.

"Bukankah kutukan itu sudah berakhir?" Pangeran tampak ketakutan.

"Kamu baru membayar bunganya, kamu harus membayar darah untuk keserakahan yang telah membunuh bangsaku, mencuri harta, dan mendirikan istana di tanah kami!" Mata itu menyalang.

“Sudah bukan?” tanyaku.

Kulihat di belakang beruang, Gaston berdiri tersenyum nyalang.

Wednesday, November 14, 2018

When I Marry You

Hasil gambar untuk menikah
When I Marry You

Cinta pandangan pertama selalu mengejutkan, seperti gempa tektonik 7 skala ritcher yang membuat terkaget-kaget!

Cinta pertamaku begitu aneh, tangkapan mataku pertama kali saat kau duduk di kursi tamu mengambil porsi paling sedikit, dan kamu tampak tersiksa oleh menu pesta itu. Kalau boleh jujur, aku ingin duduk di sampingmu. Bertanya nama bapakmu, bersyukur karena melahirkanmu, maksudnya beliau ikut andil akan keberadaanmu, yang tentu ibumulah yang mengeluarkanmu seperti permainan sirkus yang penuh kejutan dan resiko.

Aku ingin di sampingmu, tapi mustahil, karena aku duduk di pelaminan bersama pasangan yang telah 10x berganti musim, dan berending di pernikahan. Kenapa aku baru bertemu denganmu di acara pesta pernikahanku?

"Kita beneran menikah, Cal." Gadis yang tampak begitu mempesona itu tersenyum, gigi kelincinya setengah tampak.

"Iya." Kuikut tersenyum, entah meskipun Cia bak bidadari di hari ini pun, aku tetap merasa kosong, mungkinkah aku jenuh pada gadis cantik selama 5 tahun kami berkasih? Aku melirik kaku, kutatap tetamu yang hadir, sekedar memberi selamat, doa, wejangan, mengisi kotak dengan amplop atau menumpang mengisi lambung.

Pandanganku tertunduk, kutatap salah seorang tamu dengan sandal ninja hitam, anehnya kamu memakai gaun merah maron dan pasmina peach. Stylemu saat itu begitu kontras! Aku tertegun ketika melihat kamu tidak berselera makan, bahkan membagi menumu dengan kucing kurus yang menerobos ke tenda pelaminan.

Alunan melodi yang dinyanyikan membuat di sini begitu cengeng, berharap aku ingin bertemu denganmu lebih dulu. Kamu antik! Kamu berbeda! Apa adanya, dan sederhana. Siapa namamu?

"Ical, lihat siapa?"

"Hah?"

Seketika aku menggeleng. Hanya memberi Cia senyum penuh kebohongan. Tiba-tiba, sahabatku Wahyu beserta rombongannya mengagetkanku dengan dekapan salam dan doa, "HEY! FOTO-FOTO!"

Aku kikuk, kamu pun juga ikut berfoto, dan berdiri di sampingku, di saat tetamu bergaya elegan nan formal, hanya kamu yang berpose bebas dengan model tangan 2 jari diangkat, aku tersenyum kecil. Kamu menangkap mataku, hanya anggukan basa-basi yang kamu beri. Situasi apa ini ya Tuhan?

 ***

"Siapa ini?" tanyaku pada Wahyu, foto gadis antik yang ke pestaku sebulan yang lalu.

"Kamu jauh-jauh datang ke sini hanya untuk menanyakan ini?" Wahyu tampak kaget. Aku hanya mengangguk patah-patah, "harusnya, tuh, kalian honeymoon!" godanya.

"Wahyu, siapa ini?"

"Iya-iya Cal, sabar donk! Dia temanku, ya kayak teman organisasi gitu, namanya---"

Aku segera menutup mulut besar Wahyu, "Stop! Jangan sebut namanya!"

"Hey kenapa sih? Kamu aneh! Jangan bilang kalau kamu naksir, loh, ya!" Aku terdiam lama, tapi Wahyu sahabatku begitu tahu karakterku, "nah, betul! Sudah kubilang, kan, jangan pacaran lama-lama, bosen Cal! Pas nikah sudah gak greget lagi! Apalagi ujiannya rumput tetangga seringnya lebih ijo, tuh." 

Aku hanya bisa menelan ludah. Susah, Wahyu! Aku, kan, cakep, banyak yang naksir, gak sama sepertimu! Wajarlah aku pacaran! Tapi... kadang-kadang betul juga apa yang dikatakannya.

Wahyu merobek foto yang ada kamu di dalamnya, aku terperangah, "Ical, waktu akan menjadi penawar untuk hatimu yang melorot!" Aku memandangnya sedih. Hanya foto itu yang bisa membuatku mengingatmu! Dan aku harap sobeknya foto kamu, ruang yang penuh kamu di hatiku pula lama-lama habis.